NovelToon NovelToon
Aku Masih Normal

Aku Masih Normal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / TKP / Kontras Takdir / Bercocok tanam
Popularitas:954
Nilai: 5
Nama Author: Ruang Berpikir

Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.

Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6_Perkenalan

Anz melihat sisi kiri dan kanannya yang kemudian menunjuk dirinya sendiri “a a akuuu,” ujarnya gagapnya.

Bratokaz mengangguk mengiyakan “pakaian apa yang jenis apa yang kau gunakan? Menyemakkan mata.”

“Pakaian jenis kain,” jawab Anz polos dan kedua tangannya berusaha menutupi dadanya sendiri.

Albert dan rekan menunduk, menahan senyum mendengar dan melihat raut wajah Anz yang polos, sedangkan yang bertanya malah menghembus napas panjang.

“Anda itu, gak pake baju, gosong nanti baru tahu,” ujar Anz setalahnya, mendongakkan sedikit pandangannya keatas melihat matahari yang mulai terik.

Dilain sisi Albert menatap Anz tajam  dan mulut yang komat kamit tidak jelas.

Anz yang melihat itu langsung terdiam tidak melanjutkan kata dengan mulut berbeda dengan hatinya terus mengomentari “berkeliaran dengan celana pendek, transparan lagi, gak tahu malu. Yang ada, orang yang lihat malu.”

“Ngomong apa kamu” Tanya salah satu orang itu namun dengan cepat Anz menggeleng. “Kami tidak suka pakaian tertutup seperti kalian,” melirik Albert dan rekan, berpakaian kaos hitam lengan pendek dan celana hitam panjang yang kemudian beralih menatap Anz yang menatap Anz yang memakai celana kain panjang, baju kaos berlengan panjang yang Anz gunakan dan yang terakhir jilbab hitam menutupi kepala Anz.

“Ini arahan dari kepercayaan saya,” ujar Anz.

“Kepercayaan,” meludah “bodoh. Kepercayaan perbudakan apa yang kalian anut.”

Albert, Anz dan rekan saling berpandangan, menatap bingung satu sam lain.

“Aku,” menunjuk diri sendiri “adalah ketua dari budak-budak ini. Aku adalah orang terkaya di pulau ini. Kalian,” menunjuk Albert dan Anz yang sudah berdiri berdampingan “tidak ada ruang bagi kalian untuk bernapas di pulau ini. Satu kesalahan kalian perbuat, silahkan ucapkan selamat tinggal pada diri kalian masing-masing,” berbalik badan, pergi dan diikuti oleh rekan-rekannya itu.

“Apalah orang itu, baru juga orang terkaya di pulau ini, sudah berlagak dia yang punya dunia,” ujar peserta tujuh yang bernama Kaisybaim.

“Jangan ngasal ngomong Kasy,” peringat Albert “Ayo, kita harus segera sampai ke lapas,” Anz dan rekannya itu segera memakai tas ransel dan menyeret koper mereka masing-masing.

Enam jam berlalunya waktu, jalan pendakian dan penurunan bukit mereka lalui, pohon-pohon besar tumbuh berserakan, binatang buas berkeliaran bebas “lingkungan mereka sama seperti penampilan mereka, berantakan,” ujar Kasy lagi dengan matanya yag sibuk memandang sisi kiri dan kanannya.

Napas Albert terengah, kelelahan dengan pendakian, perjalanan, yang mereka lakukan membuat detak jantungnya berdetak lebih cepat. Dan lagi saat berada dalam lembah hutan itu, kerap kali mereka berpapasan dengan binatang buas, harimau, serigala, anjing, dan binatang-binatang buas lainnya, sehingga membuat perjalanan mereka terjeda, diharuskan bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Ditambah lagi dengan perkataan Kays, membuat Albert menatap Kays tajam.

“Maaf,” ujar Kays berdiam diri dan menunduk sejenak yang kemudian melanjutkan perjalanan kembali mengikuti rekan-rekannya yang mulai berjalan lagi.

Sepuluh pasang langkah kaki itu, kini berhenti di sebuah bangunan gedung besar yang dilingkari pagar tembok kawat besi tinggi. Terdapat satu menara tinggi, sekitaran tiga puluh meter, yang di atasnya terdapat satu sound besar dan satu alat teropong jumbo.

“Waw, menakjubkan, gedung klasik,” ujar takjub Ainsley peserta sepuluh.

Sembilan peserta lainnya melihat Ainsley dari atas kebawah dari bawah keatas dikarenakan sibuk meloncat-loncat di tempat dan tangannya yang menepuk-nepuk kegirangan. “Oh Ainsley, naik dan turun bukti baru saja kita lakukan, rintangan dan halangan binatang buas membuat nyawa kita hampir meregang bebas. Oh Ainsley, dengan melihat bangunan ini dikau sudah kegirangan seperti ini,” ujar Sulaiman, bibir yang tertarik sedikit keatas dan tangan yang terlipat didepan dada.

Anz dan rekan berdiri menghadap pintu besi panjang lima meter dan lebar empat meter. Mata mereka menatap bingung pintu besi raksasa itu.

“Yank,” panggil Anz pada Albert.

Albert mendongak kepalanya singkat bermaksud bertanya kenapa?

“Kok, tidak ada penyambutan?”

Albert mengangkat bahunya acuh tak acuh “mana kutahu,” memutar bola matanya malas.

Dilain sisi, peserta tiga bernama Abiram, berdiri paling belakang di antara rekan-rekannya. Bibirnya mengatup rapat, matanya sibuk mengamati. Dibagian tengah pintu besi terdapat satu kotak besi berukuran sepuluh cm kali sepuluh cm. Bagian sudut sisi kiri terdapat gelang besi seukuran telapak tangan yang menempel satu sisi dari gelang tersebut ke pintu besi. Abiram melangkah mendekati pintu, menarik gelang tersebut yang kemudian ia hentakkan gelang itu ke pintu besi.

Perpaduan suara besi padat dengan papan besi menghasilkan suara khas, membuat siapapun yang mendengar akan merasakan degungan hebat pada telinga mereka.

“Bi, kau ngapain sih,” melangkah mendekat dan memukul keras kepala Abiram “sakit telinga gue,” mengusap kasar telinganya sendiri.

Abi diam dan matanya melihat sekilas Felix. “Ketua tolong beri laporan,” menatap Anz dan Albert yang berada di sisi kanannya.

Albert, Anz dan yang lain kecuali Felix menaikkan sebelah alisnya menatap Abi kompak.

Abi menunjuk pada bagian tengah tengah pintu.

Albert dan rekan melihat kemana arah telunjuk Abi mengarah. Keheningan menguasai, kesenyapan mengiringi dan pandangan mata bingung mengikuti arah telunjuk mengarah. Lompatan dan teriakan terjadi dikarenakan kotak besi ditengah-tengah pintu besi berukuran sepuluh kali sepuluh cm terbuka tanpa suara dan sekarang menampilkan orang berperawakan laki-laki, mata melotot, hidung mancung dan kumis disertai dagu yang ditumbuhi rambut lebat berwarna hitam bercampur putih di beberapa bagian.

Degupan dan guncangan jantung terpompa cepat, terjadi masing-masing mereka.

“Tunjukan identitas kalian!” ujar laki-laki berjenggot itu.

“Ka mi,” gagap Albert “ utusan dari negara Aljazar seberang lautan Samudera Akratik.

Percikan api keluar seketika dari hantaman tutupan keras kotak kecil itu pada pintu besi. Kotak besi lain terbuka lebar dari sisi kiri tepat dibawah gelantungan gelang besi bergantung. Pintu itu berukuran sempit, hanya satu meter tinggi dan lebar enam puluh cm. “Masuk,” terdengar suara dari dalam.

Albert dan disusul yang lain masuk kedalam pintu sempit itu satu per satu dengan membawa serta barang-barang mereka. Mereka berdiri, berbaris, lima baris dan dua saf dengan berpatokan danton Albert dan penghujung Ainsley.

“Perkenalkan diri kalian masing-masing.”

“Siap. Peserta satu, Marcell Albertoprazz.”

“Peserta dua, Anzela Rasvatham.”

“Peserta tiga, Abiram Hasyim Brazz.”

“Peserta empat, Anto Karna Halviosk.”

“Peserta lima, “Sulaiman Ahmad.”

“Peserta enam, Irwin Howards.”

“Peserta tujuh, Kaisybaim.”

“Peserta delapan, Will Robert.”

“Peserta Sembilan, Felix Nahtan Max.”

“Peserta sepuluh, Ainsley Ezra Yard.”

Laki-laki bertubuh atletis, wajah brekon, dan badan yang dibaluti seragam berwarna gelap dan membaluti tubuhnya kuat, mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Pandangan menelisik memperhatikan satu persatu peserta “kamu,” menunjuk.

1
Không có tên
Ceritanya bikin merinding, ga bisa lepas ya!
_Sebx_
Seneng banget nemu cerita sebaik ini, terus berkarya thor!
AcidFace
Jangan tinggalkan aku bersama rasa penasaran, thor! 😩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!