Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumbuh bersama
Joko dan Vina sudah melewati banyak hal bersama, namun tetap saja, setiap kali ada momen baru, ada saja hal yang bisa membuat hubungan mereka semakin rumit dan lucu. Hari itu, mereka duduk di kafe kampus, meminum kopi sambil menikmati kebersamaan mereka. Namun, tidak seperti biasanya, Joko tampak termenung. Matanya tertuju pada cangkir kopi di depannya, dan tatapannya kosong.
"Lo kenapa sih, Jok? Dari tadi kayak mikirin hal berat aja," tanya Vina, sambil menyedot cappuccino-nya.
Joko menghela napas panjang, matanya yang tadinya kosong kini mulai terlihat bingung. "Gue cuma mikir... gimana kalau hubungan kita mulai jadi bahan omongan orang? Lo tahu kan, kampus ini penuh dengan gossip."
Vina menatap Joko dengan pandangan agak lucu. "Serius lo? Lo kok jadi mikirin hal-hal kayak gitu sih? Kita ini pacaran, bukan bikin penelitian yang harus dipertanggungjawabkan."
Joko berusaha tertawa, tapi candaannya lebih terdengar canggung. "Iya, iya... cuma gue takut kalau orang mulai mikir aneh tentang kita. Gue nggak sepopuler lo, Vin. Gue cuma... Joko, yang gak punya banyak temen, yang sering ngelamun tentang Socrates dan fisika itu... kayaknya aneh deh."
Vina terkekeh mendengar penuturan Joko. "Aduh, Jok! Lo tuh nggak ngerti, ya? Gue suka sama lo bukan karena lo terkenal atau gimana, tapi karena lo beda. Gue gak mau pacaran sama orang yang semua orang kenal, gue mau lo yang jadi diri lo sendiri."
Joko mendengus, sedikit tersipu mendengar kata-kata Vina. "Tapi tetep aja, gue kayak bukan siapa-siapa gitu dibanding lo," ujarnya sambil mengusap wajahnya, merasa nggak nyaman.
"Joko, lo ini aneh banget deh," kata Vina, sambil menatap Joko dengan tatapan manis. "Lo nggak usah jadi orang lain buat gue. Justru gue suka lo karena lo Joko yang punya cara sendiri buat mikir dan ngelakuin segala hal. Jangan sampai lo malah berubah jadi orang lain buat supaya 'nyaman' di mata orang."
Joko tersenyum canggung. "Tapi kan kadang orang tuh suka ngomentarin hubungan orang, Vin. Takutnya kalau kita keliatan deket banget, mereka bakal berpikir aneh-aneh."
Vina meletakkan gelasnya dan mengusap punggung tangan Joko dengan lembut. "Yaudah gini aja, kita bikin orang-orang penasaran, deh. Kita jalanin hubungan ini dengan cara kita. Kalau orang nggak ngerti, ya biarin aja. Kita kan bukan pacaran buat mereka."
Joko tersenyum, namun ada sedikit rasa cemas yang masih terasa. "Gue yakin lo bisa ngadepin segala hal, Vin. Tapi... kadang gue takut kalau semua ini malah bikin lo jenuh. Lo tahu kan, gue tuh bukan tipe cowok yang gampang nyenengin orang."
Vina tertawa ringan, kemudian mencubit pipi Joko. "Lo tuh, Jok. Gue justru suka lo karena lo jujur dan apa adanya. Kadang kita butuh orang yang bisa bikin kita merasa nggak tertekan dan ngerasa nyaman. Jadi, jangan khawatir soal itu."
Suasana jadi semakin hangat. Joko merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia mulai belajar bahwa memang nggak semua harus sesuai dengan harapan orang, yang terpenting adalah bagaimana mereka berdua merasa nyaman dengan diri mereka sendiri.
Namun, ketegangan itu tak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian, ketika mereka sedang duduk di kantin kampus, mereka bertemu dengan teman-teman Vina. Dita, teman sekelas Vina, tampak lebih memperhatikan Joko dari biasanya, seakan-akan dia sedang mengamati sesuatu.
"Jadi ini pacar lo, Vin?" tanya Dita, memandang Joko dari atas ke bawah. "Hmm, Joko ya? Gue kira lo bakal pacaran sama cowok yang... lebih keren, gitu."
Vina, yang merasa sedikit tersinggung, langsung membela Joko. "Dita, lo nggak ngerti kan? Joko tuh keren banget dengan cara dia sendiri, lo nggak usah bandingin dia sama orang lain."
Joko, yang merasa tidak nyaman, hanya tersenyum canggung. "Ah, nggak apa-apa kok. Gue udah biasa dibilang kayak gitu."
Tapi Dita dan teman-temannya seakan tidak mau berhenti. "Emang lo nggak takut ya pacaran sama Joko? Kan dia nggak kaya atau sepopuler yang lain. Gue pikir lo lebih cocok sama cowok yang... lebih punya apa-apa."
Vina langsung melepaskan tatapan tajamnya. "Lo tau apa, Dit? Joko itu punya hal-hal yang lo nggak ngerti. Gue pilih dia bukan karena dia kaya atau terkenal, tapi karena dia Joko. Dan itu cukup buat gue."
Joko merasakan dadanya sedikit berdegup lebih kencang. Di satu sisi, dia ingin menyembunyikan rasa canggungnya, tapi di sisi lain, dia merasa sedikit tersentuh oleh pembelaan Vina. Dia menatap Vina yang tampak berani dan percaya diri.
Namun, Vina tidak membiarkan suasana menjadi tegang lebih lama. Dia menggenggam tangan Joko dan mengajaknya pergi dari situ. "Ayo, Jok, kita nggak usah dengerin mereka. Kita punya dunia kita sendiri."
Setelah keluar dari kantin, Vina menatap Joko dengan senyuman lebar. "Nih, buat lo," katanya, mencubit pipi Joko dengan manja. "Kita jadi target omongan orang, berarti hubungan kita semakin keren kan?"
Joko tertawa pelan, rasa canggungnya sedikit hilang. "Gue nggak tahu, Vin. Tapi yaudah deh, kalau itu bikin lo bahagia, gue ikutin aja."
Vina tertawa keras, senang melihat Joko akhirnya bisa rileks. "Ya, itu yang gue mau. Kadang kita emang perlu sedikit drama buat nambah keseruan, kan?"
"Drama? Gue pikir ini lebih ke... komedi romantis," jawab Joko, setengah bercanda.
Vina mendekatkan wajahnya ke Joko dan berbisik pelan. "Bener juga. Kita kan udah kayak karakter utama di film komedi romantis yang penuh liku-liku."