Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Cindy, yang tengah sibuk menyeruput minumannya, melirik Rey dengan ekspresi yang aneh. Ada sesuatu dalam pertanyaan Rey yang membuatnya merasa yakin, percakapan ini akan segera menjadi menegangkan kembali. Ia bisa merasakan atmosfer yang mulai berubah, dan dia tahu bahwa Rey tidak akan berhenti bertanya sampai mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
“Kamu yang dijodohin, Sie?” Rey akhirnya bertanya, menodong Siera dengan tatapannya yang penasaran.
Siera, yang sedang memainkan sedotan di dalam gelasnya, menghela napas kasar sebelum menjawab. “Hmm… bisa dikatakan begitu,” jawabnya, suara lembutnya sedikit berat.
Rey terdiam sejenak. Matanya menyipit, mencoba mencerna jawaban yang barusan ia dengar. Usahanya untuk mendekati Siera belum dimulai, tapi sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa wanita yang diam-diam ia kagumi itu telah dijodohkan dengan orang lain. Sebuah fakta yang baginya terasa seperti pukulan keras.
“Serius, Sie?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih berat. Tatapannya penuh rasa tidak percaya, seolah-olah ia berharap Siera akan membantah ucapan itu. Ia masih berharap jawaban itu hanya sekadar lelucon atau kesalahpahaman.
Siera hanya mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyuman kecil yang lebih menyerupai sebuah kepasrahan. “Iya, Rey.”
Cindy, yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Rey dengan seksama, berusaha mencairkan suasana. Ia tahu betul bagaimana Rey bisa sangat tertarik pada Siera, dan juga tahu bahwa percakapan ini bisa berlanjut dengan ketegangan yang semakin meningkat. “Belum tentu jadi juga, kan. Siera masih bisa nolak kalau dia mau,” ujarnya dengan nada yang terdengar lebih ringan, meskipun terdengar agak dipaksakan.
Rey menoleh ke arah Cindy, mencari sedikit harapan dalam kalimat itu. Walau sedikit melegakan, namun rasa penasaran yang mengganjal di dadanya tak juga hilang. “Tapi, kalau udah dijodohin, bukannya berat buat nolak, Sie?”
Siera mengangkat bahunya. "Kadang, ada hal yang susah untuk bisa kita tolak, Rey," jawabnya pelan, suaranya hampir terdengar seperti mengandung kepasrahan yang dalam. “Kalau sudah takdir, apa bisa kita menolaknya?” pikirnya dalam hati.
Rey menunduk, mengepalkan jari-jarinya di atas paha, merasakan betapa canggungnya suasana. “Maaf, Sie. Kalau aku boleh tahu… kamu dijodohkan dengan siapa?” Rey memberanikan diri bertanya, meskipun ia tahu jawabannya mungkin akan lebih menyakitkan daripada yang bisa ia bayangkan.
Siera terdiam sejenak, menunduk dan memainkan ujung jaket denim yang dikenakannya. Sebelum suasana menjadi semakin canggung, Cindy membuka suara.
“Siera’s childhood sweetheart,” jawab Cindy dengan nada ringan, meskipun nada itu terasa terlalu santai untuk sebuah topik yang begitu berat bagi Siera.
Rey tertegun. “Oh, sahabat yang ninggalin kamu itu?” Ia sedikit tahu tentang kisah masa lalu Siera dari cerita-cerita yang pernah didengarnya dari Cindy.
Siera tetap diam, ada keheningan panjang yang menggantung di antara mereka, sebelum akhirnya ia mengangguk pelan, memberikan jawaban tanpa kata-kata.
“Loh, bukannya dia nggak di sini, yah?” tanya Rey, alisnya berkerut dalam kebingungan.
“Dia udah di sini satu bulan, tapi kita baru tahu seminggu lalu pas reuni angkatan,” jawab Cindy dengan nada santai.
Rey kembali menatap sepupunya itu dengan penuh tanda tanya. Mengapa Cindy tidak memberitahunya tentang hal sepenting ini? Bagaimana mungkin? Sejak kapan? Apa tujuannya? Beragam pertanyaan memenuhi benaknya, jelas tergambar dari ekspresi wajahnya saat menatap Cindy.
***
Sepulang dari Cofeeshop, Siera disambut bundanya yang sedang menonton sinetron favoritnya di ruang tengah rumah mereka.
“Baru pulang, sayang?” sambut Bunda Anin begitu Siera memasuki rumah. Senyumnya lembut, seperti biasa.
“Iya, Bun. Singgah di Cofee shop bareng Cindy dulu tadi,” jawab Siera pelan sambil melepas tasnya dan meletakkannya di sofa.
“Oh ya, Sie. Tante Arumi udah kasih kabar kalau mereka mau balik ke Aussie lagi,” ujar Bunda Anin tiba-tiba.
“Hah? Kapan, Bun? Kok Siera baru tahu?” Siera langsung mengangkat wajahnya, terkejut mendengar kabar mendadak itu.
“Baru aja tadi, Tante Arumi ngabarin Bunda. Katanya ada pekerjaan Papa Arka yang mendesak, jadi mereka harus segera pulang,” jelas Bunda Anin sambil duduk di samping Siera.
Siera menggigit bibirnya, pikirannya langsung melayang ke pertanyaan Tante Anin yang belum ia jawab.
“Hmm… Sie,” suara Bunda Anin melembut, nada bicaranya penuh perhatian. “Gimana, sayang? Udah ada jawaban buat pertanyaan Tante Arumi?”
Siera menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. “Siera… masih mikir, Bun,” jawabnya jujur.
Bunda Anin mengangguk perlahan, wajahnya tetap lembut dan penuh pengertian. “Sie, Bunda sama Tante Arumi nggak mau maksa kamu. Kalau memang kamu nggak mau, nggak apa-apa, sayang. Yang penting, Siera sampaikan dengan jujur ke Tante Arumi, ya.”
Siera mengangkat matanya, menatap bundanya. Ada rasa lega sekaligus tekanan yang masih ia rasakan. “Bunda, kok semuanya jadi terasa berat ya?” bisiknya, hampir tak terdengar.
Bunda Anin tersenyum lembut, lalu meraih tangan Siera dan menggenggamnya erat. “Sayang, nggak apa-apa kalau kamu butuh waktu lebih. Keputusan ini sepenuhnya ada di tangan kamu. Bunda cuma mau kamu bahagia, apapun pilihanmu.”
Siera tersenyum tipis, meski pikirannya masih berputar. Dukungan bundanya sedikit meringankan bebannya, tapi keputusan besar ini tetap terasa seperti gunung yang harus ia daki.
Siera tersenyum tipis, tapi hatinya masih bergemuruh. Meski dukungan Bunda Anin sedikit meringankan beban di dadanya, keputusan besar ini tetap terasa seperti puncak gunung yang tak terlihat ujungnya.
Dengan langkah gontai, Siera menuju kamarnya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah keraguan di hatinya semakin menumpuk dengan waktu. Begitu tiba di ruang tidur pribadinya, ia menjatuhkan diri di tepi ranjang. Tarikan napas panjang keluar dari bibirnya, mencoba menenangkan diri meski pikirannya terus berputar.
Tangannya meraih ponsel, jemarinya dengan ragu mulai mengetik pesan.
"Ka, Mama dan Papa lo udah mau balik ke Aussie?" tulisnya.
Pesan itu terkirim, namun Siera tetap memegang ponsel erat-erat, tatapannya terpaku pada layar. Waktu terasa melambat. Beberapa detik yang berlalu seperti menit panjang yang menguras kesabarannya.
“Duh, kenapa lama banget sih?” gerutunya dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Akhirnya, notifikasi yang ditunggu pun muncul.
"Iya, Sie. Dua hari lagi mungkin."
Siera menatap layar, menghela napas sebelum mengetik balasan dengan cepat. "Kok lo nggak bilang ke gue?"
Pesan terkirim, dan lagi-lagi ia menunggu, kali ini lebih sabar. Tak butuh waktu lama, balasan Arka pun datang.
"Maaf, Sie. Aku juga baru tahu tadi pas pulang kantor. Kepulangan mereka mendadak soalnya."
Siera terdiam, menatap layar dengan tatapan kosong. Dadanya terasa penuh, bercampur antara, cemas, dan bingung. Ia belum sempat membalas, ketika pesan lain dari Arka masuk.
"Kata Mama kalau kamu ada waktu, Mama mau ketemu dulu."
Jantung Siera berdegup kencang. Pesan itu membuat pikirannya melayang. Tante Arumi mau bertemu? Untuk apa? Apakah beliau akan meminta jawabannya secepat mungkin? Atau mungkin, ada hal lain yang ingin disampaikan?