Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32.
"Mami, pulang. Aku mau bobok," ucap Anan yang sudah mulai mengantuk.
Setelah perutnya kenyang, mata pun ingin segera di tutup dan tidur dengan nyamannya.
"Baiklah, kita pulang sekarang." Fadila meraih tubuh Anan dan menurunkannya dari kursi.
"Sini, Daddy gendong." Arnan mengulurkan kedua tangannya pada Anan.
Tentu saja dengan senang hati Anan menerima uluran tangan daddy nya. Memeluk ayah sambungnya dengan manja, Anan mengalungkan kedua tangannya di leher Arnan. Sedangkan kepalanya di sandarkan di pundak.
"Mau kemana, Bos?" Tanya Jack mendekat.
"Pulang."
Jack mengangguk dan mengikuti langkah atasannya.
Sampai di tempat mobil mereka berada, tiba-tiba saja tubuh Arnan limbung dan hampur terjatuh jika saja Fadila tidak cepat menahan tubuh besar itu.
"Mas! Kamu kenapa?" Tanya Fadila khawatir.
"Tiba-tiba kepala Mas pusing." Arnan menyentuh pangkal hidungnya dan memijit pelan.
Fadila mengambil alih tubuh Anan yang sudah tertidur.
"Kamu masuk duluan, di luar dingin. Kasihan Anan nanti kedinginan," ucap Arnan menatap Fadila dengan pandangan yang mulai berubah.
Fadila masuk ke dalam mobil tanpa membantah lagi.
Jack mendekati Bosnya dan bertanya. "Ada apa, Bos? Apa Anda kurang sehat? Perlukah kita ke Dokter?"
"Gak perlu, kamu hanya perlu minta orang selidiki siapa yang sudah campurkan sesuatu ke dalam minuman botol di acara. Dan tangkap pelakunya secepat mungkin kalau sudah di ketahui."
Jack membulatkan kedua matanya sata sadar akan sesuatu yang salah. Merasa menyesal karena sudah lalay hingga menyebabkan atasnanya seperti ini.
"Maaf, Bos. Saya lalay dan kurang waspada, perintah Bos akan segera saya laksanakan. Sekarang sebaiknya Anda masuk dulu."
Jack membukakan pintu mobil di belakang supir untuk Arnan. Setelah bosnya masuk, Jack menutup pintu dan menghubungi keamanan dan penanggung jawab acara.
Selesai dengan telponnya, Jack masuk ke dalam mobil dan langsung melajukan kendaraan roda empat itu.
"Mas! Kita ke Dokter sekalian, ya? Kamu kelihatan kurang sehat," ucap Fadila menatap suaminya khawatir.
Arnan yang sedang duduk menyandarkan tubuh dan kepalanya di kursi mobil menoleh. Mendapati wajah khawatir Fadila, membuat Arnan tersenyum di tengah-tengah perasaannya yang berkrcamuk.
"Gak perlu ke Dokter, di rumah ada obatnya." Pria itu tersenyum untuk meyakinkan Fadila.
"Baiklah." Pandangan Fadila beralih ke depan. "Lebih cepat sedikit, Jack." Pinta Fadila pada Jack.
"Baik, Nyonya."
Jack menaikkan kecepatan mobilnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Pandangan pria itu begitu fokus pada jalanan yang di laluinya.
Arnan membuka jas dan dasi yang di kenakan, tak lupa pula dua kancing kemeja bagian atasnya .
"Kenapa di buka, Mas? Nanti kamu masuk angin, udaranya cukup dingin saat ini," ucap Fadila yang melihat apa yang di lakukan Arnan.
"Mas, kepanasan. Udara dingin saat ini gak bisa dinginin tubuh, Mas." Kening Fadila mengkerut. "Maksudnya?" Tanyanya.
Arnan tersenyum manis menatap Fadila, lalu memejamkan kedua matanya menahan sesuatu yang semakin bergejolak.
Fadila menggigit bibir bawahnya melihat pemandangan luar biasa di sampingnya. Entah apa yang terjadi dengan Arnan, wajah pria itu kini berkeringat.
Dan itu terlihat begitu seksi di mata Fadila, belum lagi jakun suaminya yang naik turun. Ah, rasanya Fadila akan gila melihat pemandangan itu.
Beberapa saat kemudian, mobil yang di bawa Jack tiba di parkiran apartemen.
"Pergilah duluan, tidurkan Anan sebelum dia terbangun." Arnan menatap Fadila sembari mengelus kepala Anan yang terkolek di dekapan Fadila.
"Tapi, Mas bagaimana?" Tanya Fadila.
"Jack, yang akan membantu Mas masuk ke dalam."
"Obat apa yang Mas perlukan? Biar aku siapkan sekalian," ucap Fadila yang kembali mendapatkan senyuman dari Arnan.
"Sudah, kamu masuk saja duluan. Pastikan Anan tidur dengan baik dan tidak akan terbangun sampai besok pagi," ucap Arnan misterius.
Fadila mengangguk lalu turun dari mobil dan berjalan lebih dulu. Sedangkan Arnan di bantu Jack keluar dari mobil dan di papah menuju lantai di mana apartemen mereka berada.
Jack juga tinggal di salah satu unit yang ada di gedung tinggi itu. Bahkan bertetanggaan dengan Arnan yang berada tepat di depan unit Jack.
"Apa sudah ada kabar siapa yang berbuat ulah?" Tanya Arnan saat mereka sudah memasuki lift yang berbeda dengan yang di naiki Fadila.
"Saya belum melihat ponsel, Bos. Tapi kalau menurut perkiraan saya, mungkin mereka sudah menemukan pelakunya. Atau mungkin ... Perempuan itu pelakunya?" Jack mulai menebak.
"Perempuan siapa?" Tanya Arnan.
"Tadi sewaktu saya mengambilkan minum untuk, Bos. Salah satu Desainer perhiasan yang berasal dari perusahaan yang bekerja sama dengan kita memberikan botol minuman. Karena terburu-buru saya menerima begitu saja botol itu tanpa curiga. Mungkin botol minuman yang di berikannya sudah di beri obat sebelumnya."
Jack mengutarakan semua prasangkanya pada sang atasan.
"Jangan gegabah, Jack. Tunggu hasil penyelidikannya dulu. Kalau memang dia pelakunya, dan melakukan itu semua dengan sengaja. Balas seperti biasa kita menghabisi penghianat." Jack mengangguki ucapan Arnan.
Sesampainya di unit milik Arnan, pria itu tidak mau di papah lagi oleh Jack. Arnan masuk sendiri dan membaringkan tubuhnya di sofa.
Fadila yang sudah memastikan Anan aman di tempat tidur dan tertidur nyenyak seperti yang di ucapkan suaminya. Kini wanita itu berjalan keluar menggunakan baju tidur berlengan pendek dan celana selutut.
"Mas! Kamu sudah sampai?" Fadila memanggil suaminya karena tadi mendengar suara pintu terbuka lalu tertutup kembali.
"Mas!" Panggilnya lagi.
Akhirnya Fadila mendapati Arnan yang telentang di sofa ruang tengah dengan kancing kemeja yang terbuka sepenuhnya.
"Mas! Kamu baik-baik saja? Di mana obat yang kamu maksud tadi?" Fadila mendekat setelah mengambil segelas air.
Arnan membuka kedua matanya setelah merasakan Fadila yang mendekat. Duduk dan mengambil gelas berisi air. Meminum isinya hingga habis lalu menatap Fadila.
Pandangan Arnan kini sudah berubah, seperti seseorang yang sedang menahan gejolak jiwa lelakinya.
"Kamu obatnya, apa kamu bersedia jadi obat untuk, Mas?" Tanya Arnan.
Kedua mata Fadila melotot saat baru menyadari apa yang terjadi pada suaminya. "Jangan bilang kalau, Mas ..." Wanita itu menggantung kalimatnya, menatap sang suami tak percaya.
"Bagaimana bisa, Mas?" Tanyanya lagi.
"Mas, gak bisa jawab sekarang. Yang Mas butuhkan cuma obatnya dan itu kamu, Fa."
Hati Fadila bergetar mendengar Arnan menyebut namanya. Selama pernikahan mereka, Arnan baru kali ini menyebutkan namanya. Biasanya jika tidak kamu pasti mami.
"Kamu mau kan?" Tanya Arnan lagi.
Fadila menghela napas panjang, hati dan pikirannya tidak singkron saat ini. Pikiran menolak tapi hati menerima.
Bukanya dia istrinya? Sudah seharusnya melayani suami sebaik mungkin, pikrinya.
"Baiklah," sahut Fadila tersenyum manis untuk meyakinkan suaminya.
"Kamu yakin? Gak akan ada penyesalan nantinya?" Tanya Arnan menatap serius Fadila.
"Yakin, Mas. Maaf kalau selama jadi istri, aku gak melayani kamu dengan baik." Fadila menunduk malu dan sedih juga.
Suaminya begitu baik dan perhatian, juga pengertian padanya. Namun ia malah tak memberikan hak suaminya dan diam saja.
Arnan tersenyum menatap Fadila dan segera berdiri dari duduknya.