Hidup Nicho Javariel benar-benar berubah dalam sekejap. Ketenaran dan kekayaan yang dia dapatkan selama berkarir lenyap seketika akibat kecanduan obat-obatan terlarang. Satu per satu orang terdekatnya langsung berpaling darinya. Bukannya bertobat selepas dari rehabilitas, dia malah kecanduan berjudi hingga uangnya habis tak tersisa. Dia yang dulunya tinggal Apartemen mewah, kini terpaksa tinggal di rumah susun lengkap dengan segala problematika bertetangga. Di rumah susun itu juga, ia mencoba menarik perhatian dari seorang perempuan tanpa garis senyum yang pernah menjadi butler-nya. Dapatkah ia menemukan tempat pulang yang tepat?
"Naklukin kamu itu bangganya kek abis jinakin bom."
Novel dengan alur santai, penuh komedi sehari-hari yang bakal bikin ketawa-ketawa gak jelas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Ditraktir seorang wanita? Jujur, ini adalah hal yang paling memalukan bagi Nicho. Namun, apa daya, dirinya memang tak punya uang. Alih-alih gengsi seperti biasanya, ia malah merasa terselamatkan. Meski dalam hatinya tetap bertekad untuk mengganti uang Sera.
Ketika mereka hendak keluar dari tenda tersebut, ternyata hujan kian deras mengguyur tempat itu.
"Masih hujan. Kita tunggu redaan dikit dulu aja!" ucap Nicho sambil memandang Sera.
"Aku duluan aja, ya, Bang!" imbuh Cemong yang langsung berdiri di tengah guyuran hujan, "Kak Sera, makasih traktirannya."
"Eh, kamu jangan ujan-ujanan. Entar sakit loh!" Sera menunjukkan kepeduliannya.
"Gak papa Kak Sera. Aku emang doyan mandi hujan," balas Cemong lagi, kali ini diikuti kerlingan mata ke arah Nicho.
Setelah Cemong pergi, Nicho dan Sera masih berdiri kaku. Mereka tak mungkin ikut menerobos hujan seperti yang dilakukan Cemong. Alhasil, keduanya memutuskan duduk di bangku panjang depan gerobak mie ayam sambil memandangi setiap tetesan air dari langit yang jatuh ke pangkuan bumi.
Nicho mengusap-usap telapak tangannya sekadar menciptakan kehangatan dalam dirinya. Untuk mengatasi kejenuhan, ia mulai membuka obrolan.
"Apa yang biasa kamu lakukan kalo lagi ujan-ujan gini?"
"Angkat jemuran!" Jawaban singkat langsung melompat dari mulut Sera.
"Jawaban emak-emak banget!" Nicho bergumam dalam hati dengan bibir atas yang menyeringai.
"Kukira cewek-cewek biasanya akan senang melakukan hobi mereka di kala hujan."
"Aku gak punya hobi tertentu!" jawab Sera dengan datar."
"Ooo ...." Mulut Nicho membentuk lingkaran. "Gimana dengan musik? Biasanya orang akan dengerin lagu untuk menambah suasana sendu."
"Bagi aku gak ada melodi yang paling indah selain suara hujan yang menyentuh tanah."
Kepala Nicho mengangguk-angguk seirama.
"Atau mungkin itu kebiasaan kamu?"
"Apa?" Nicho sedikit tersentak karena ini pertama kali Sera melayangkan pertanyaan padanya.
"Musik. Kamu suka dengerin musik pas lagi hujan, kan?" tebak Sera.
Nicho mengangguk. "Aku punya lagu khusus yang sering kudengar waktu hujan. Mau dengar?"
Nicho cepat-cepat mengeluarkan gawainya kemudian membuka aplikasi pemutar musik. Sera tersentak ketika Nicho meminggirkan sejumput rambut yang menghalangi telinganya. Kemudian menempelkan gawainya ke telinga Sera. Detik itu juga, sebuah lagu berjudul Paris in the Rain yang dinyanyikan Lauv mengalun lembut di pendengaran Sera saat ini.
'Cause anywhere with you feels right
Anywhere with you feels like
Paris in the rain
Paris in the rain
We don't need a fancy town
Or bottles that we can't pronounce
'Cause anywhere, babe
Is like Paris in the rain
When I'm with you ooh ooh ooh
When I'm with you ooh ooh ooh
Paris in the rain
Sera memejamkan mata sembari menikmati irama lagu yang tenang dan romantis. Tampaknya, Nicho mulai mengeluarkan skill dewa-nya dalam menjerat wanita. Apalagi lagu yang diperdengarkan olehnya sangat pas dengan momen saat ini. Di mana lagu yang penuh dengan metafora ini, menyiratkan tentang kebersamaan dengan orang yang kita cintai lebih penting dari barang mahal maupun tempat mahal, bahkan bersama orang terkasih membuat kita seolah berada di tengah di kota Paris yang romantis.
"Gimana?"
"Ya, lagunya memang cocok didengar saat hujan," jawab Sera sambil tetap menatap ke depan.
"Suka nonton, gak?" tanya Nicho lagi.
"Enggak, lebih suka baca buku."
"Oh, iya, kamu kerja di mana?" tanya Nicho lagi.
Sera terdiam sesaat, kemudian menggeleng pelan. "Aku baru aja resign dari tempat kerjaku."
Mata Nicho melebar seketika. "Kenapa?"
Sera menoleh ke arahnya lalu bertanya balik. "Kira-kira ada berapa lagi daftar pertanyaan yang harus kujawab?"
"Maaf, aku cuma pengen kenal kamu lebih dekat. Gak ada salahnya kan kalo aku pengen berteman sama kamu. Siapa tahu kita cocok untuk ... ehem ...." Nicho tak melanjutkan kalimatnya. Malah berdeham-deham tak jelas sembari mengusap-usap kedua pahanya.
"Kayaknya kita gak cocok berteman," balas Sera tanpa basa-basi.
"Kenapa?" tanya Nicho cepat.
Sera bergeming sejenak, lalu bertanya "Berapa usiamu?"
"Aku?" Nicho menunjuk dirinya sendiri, lalu tak sungkan menjawab, "Dua puluh lima tahun."
"Aku lebih tua dari kamu. Apa kamu yakin berteman dengan wanita yang lebih tua?"
Nicho terkesiap seketika. "Oh, iya? Memangnya usiamu berapa?"
Dikatakan seperti itu, Nicho seakan tak percaya. Pasalnya, Perempuan dengan poni lurus yang membingkai wajahnya itu, terlihat seperti anak gadis yang polos, meski tak pernah menunjukkan senyum.
Sera bergeming lagi. Kali ini cukup lama. Ia memang kerap memilih menutup diri dari para pria yang mencoba mendekatinya.
Sera mengulurkan tangannya ke depan, lalu berkata, "Hujannya mulai reda. Kayaknya dah boleh balik ke rusun."
Nicho masih terbengong dan berusaha menebak-nebak umurnya.
Sadar Sera telah beranjak, ia pun bergegas mengejarnya sambil berkata, "No problem! Gak masalah kalo kamu lebih tua dari aku. Persahabatan itu gak mengenal usia. Lagian, aku ini penganut egaliter. Aku menjunjung tinggi kesetaraan. Baik itu keseteraan gender, usia, maupun status. Kalo kamu nolak berteman sama aku cuma karena usiaku yang lebih muda berarti kamu dah melakukan egeisme."
(Egaliter: semua orang sama derajatnya. Egeisme: diskriminasi usia)
"Umur hanyalah angka. Walau usiaku masih terbilang muda, tapi pemikiranku dewasa loh," lanjutnya lagi.
Nicho terus berkata sambil berjalan mundur menyesuaikan langkah Sera saat ini. Sialnya, ia malah masuk ke kubangan air yang bercampur lumpur.
"Aarght, shhiitt!" umpatnya sambil mengangkat sebelah kakinya yang basah.
Kekesalannya seakan sirna saat itu juga saat melihat Sera yang tampak menahan senyum.
"Hei, hei, ternyata kamu bisa senyum! Kukira selama ini kamu ompong, habis mukanya gak pernah senyum," unjuk Nicho sambil ikut tersenyum lebar.
Ledekan Nicho membuat Sera kembali memasang ekspresi datar. Ketika ia hendak beranjak, Nicho segera menarik tangannya hingga membuatnya ikut masuk ke dalam genangan air yang berlumpur.
Sera mendesis kecil. Sementara Nicho tergelak lebar. Dengan kakinya, ia sengaja memercik air yang menggenang ke arah Sera. Sempat menghindar, kini perempuan itu ikut melakukan hal yang sama padanya.
Di bawah langit malam yang tertutupi awan hitam tebal dan ditemani rintikan hujan yang ringan, keduanya pun berjalan di tengah lapangan menuju rusun.
"Lompat!" Nicho memegang tangan Sera, hanya untuk menuntunnya agar tak menginjak genangan air.
Sera melebarkan langkahnya, kemudian melompat. Ia hampir saja kehilangan keseimbangan jika Nicho tak segera meraih pinggangnya.
Tanpa keduanya sadari, ada sepasang mata yang tengah melihat mereka di kejauhan dengan tatapan tak senang.
.
.
.
Like dan komeng
itu mah gagap kali
setidaknya kali ini Sera nanya keadaan Nicho, berarti Nicho terlihat dimatanya🤭