NovelToon NovelToon
My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Edgar menutup teleponnya dengan tangan gemetar. Kata-kata terakhir Verio masih bergema di kepalanya, membekas seperti duri yang menusuk harga dirinya. Namun, yang lebih mengusik pikirannya adalah sesuatu yang Ragna katakan.

“Keluarga mereka mentertawakanku saat aku kehabisan napas di dalam air.”

Edgar terdiam lama, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Benarkah Ragna adalah gadis kecil itu? Anak yang pernah tinggal di rumahnya bertahun-tahun lalu? Dia mencoba mengingat lebih jelas, kembali ke masa ketika keluarganya mengadopsi seorang anak perempuan dengan mata hijau cemerlang.

Anak itu dulu terlihat begitu polos, dengan wajah imut yang sering terlihat kebingungan. Tapi, di mata keluarga Edgar, kepolosan itu tampak seperti kebodohan. Gadis kecil itu sering menjadi target kemarahan dan bahan olokan. Tak terkecuali Edgar yang saat itu masih anak-anak, gemar menjahilinya. Dia ingat pernah mengunci gadis itu di kamar mandi selama berjam-jam hanya untuk tertawa melihat reaksinya.

Namun, semuanya berubah ketika gadis kecil itu tiba-tiba menghilang dari rumah mereka. Orang tuanya mengembalikannya ke panti asuhan dengan alasan yang tidak pernah dijelaskan secara rinci. Setelah itu, kehidupan keluarga Edgar seakan-akan dilanda badai tanpa akhir.

Pamannya mengalami perceraian yang berujung skandal besar. Bibinya ditangkap karena kasus penipuan. Sepupu-sepupunya terlibat dalam hubungan yang memalukan, bahkan salah satu dari mereka kedapatan menjalin hubungan terlarang dengan pria paruh baya dari perusahaan terkenal—yang lebih mengejutkan, hubungan itu mendapat restu dari nenek mereka.

Masalah-masalah itu menghancurkan reputasi keluarga besar Edgar, dan dia sering mendengar bisikan bahwa semua itu adalah “kutukan.” Namun, Edgar tak pernah benar-benar memercayai hal semacam itu—sampai sekarang.

Dia mengingat kembali wajah gadis kecil itu, bagaimana dia sering menangis diam-diam di sudut rumah ketika tidak ada yang peduli. Mata hijaunya yang dulu dipenuhi kesedihan kini tergantikan oleh sosok Ragna yang kuat dan menawan.

Edgar merasakan sesuatu yang asing, seperti beban berat yang menekan dadanya. Kata-kata Verio sebelumnya seolah menjadi tamparan yang telak. “Kau itu perempuan, dan harga dirimu tidak bisa dibayar dengan uang.”

Kata-kata itu seakan mengingatkan Edgar betapa rendahnya sikapnya selama ini. Dia memikirkan bagaimana dulu dia memperlakukan gadis kecil itu tanpa belas kasihan, bahkan ikut menertawakan penderitaannya. Dan jika benar Ragna adalah gadis itu, apa yang harus dia lakukan?

Malam itu, Edgar tidak bisa tidur. Bayangan masa lalu terus menghantui pikirannya, membuatnya gelisah. Ada sesuatu yang mengusik—rasa bersalah yang selama ini tidak pernah dia rasakan. Dan yang lebih menakutkan adalah kemungkinan bahwa “kutukan” yang selama ini dibisikkan oleh keluarganya mungkin saja berasal dari gadis kecil yang dulu mereka hancurkan.

Sambil menatap langit-langit kamar, Edgar bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah semua ini salah kami? Apakah dia benar-benar kembali untuk membalas?”

Ragna tengah menikmati sarapan paginya di meja makan bersama Verio. Kehangatan rumah mereka begitu terasa, dihiasi suara sendok dan garpu yang bertemu piring. Namun, suasana tenang itu terusik oleh suara ketukan keras di pintu depan.

“Biar aku yang buka,” ujar Verio sambil beranjak dari kursinya. “Kau lanjutkan saja sarapanmu.”

“Baik, Pa,” jawab Ragna singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari piring di depannya.

Verio melangkah ke pintu, membukanya dengan gerakan tenang. Di hadapannya, seorang pemuda berdiri tegap mengenakan seragam SMA yang dikenali Verio sebagai seragam sekolah lama Ragna. Wajah pemuda itu tampak segar dan muda, meski ada kesombongan yang samar di balik manik cokelatnya yang tajam.

“Dimana Ragna?” Pemuda itu langsung bertanya tanpa basa-basi. Tatapannya penuh tuntutan, seperti seseorang yang yakin berhak atas jawaban.

Verio memiringkan kepalanya sedikit, memandang pemuda itu dengan dingin. “Jadi, begini cara anak muda bertamu sekarang? Tanpa salam, tanpa sopan santun? Orang tua yang mengajarmu pasti bangga,” sindirnya, nada suaranya sarat dengan sarkasme.

Pemuda itu tampak tersentak, namun langsung menegakkan tubuhnya lagi. “Aku Edgar Galasean Adipratja, putra dari pemimpin GA Grup. Aku ingin bertemu Ragna. Dia pasti ada di dalam, kan?” Nada Edgar terdengar lebih berani meski ada sedikit goyah. “Kalau kau melarangku, aku bisa melaporkanmu atas tuduhan penyekapan anak di bawah umur.”

Kata-kata itu membuat urat di leher Verio terlihat menonjol. Dia mendengus kasar, rahangnya mengeras. “Bajingan kecil ini…” gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Edgar mundur setengah langkah.

Tanpa memedulikan keberatan Verio, Edgar langsung melangkah masuk ke dalam rumah, membuat Verio semakin kesal. Dia mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang akan dia sesali nanti.

Interior rumah itu sederhana, namun terasa hangat dan nyaman. Di dinding, terpajang beberapa foto Ragna dari kecil hingga remaja, bersama dengan Verio. Ada foto-foto mereka saat liburan, lengkap dengan senyuman bahagia. Di sisi lain, Edgar juga melihat barisan piala dan piagam penghargaan milik Ragna.

Melihat semua itu, Edgar merasa tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang salah dalam dugaannya. Namun, dia mengabaikan perasaan itu dan berjalan menuju meja makan, di mana Ragna masih sibuk menikmati sarapannya.

“Tawaranku yang kemarin masih berlaku, Ragna,” ujar Edgar sambil duduk tanpa permisi di kursi sebelah gadis itu.

Ragna hanya melirik Edgar sekilas, lalu kembali melanjutkan sarapannya dengan tenang. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah kehadiran Edgar sama sekali tidak mengganggunya.

Verio berjalan mendekat dengan langkah berat, wajahnya gelap, penuh amarah yang jarang ditunjukkannya. Ini pertama kali Ragna melihat ekspresi ayah angkatnya seperti itu, dan dia tahu itu bukan pertanda baik untuk Edgar.

“Aku tidak tertarik,” ucap Ragna akhirnya, nada suaranya santai namun tegas. Dia menatap Edgar dengan dingin. “Aku tidak akan kembali ke tempat di mana aku diperlakukan seperti hewan.”

Kalimat itu membuat Edgar terdiam. Kata-kata Ragna seperti tamparan keras yang tidak bisa dia balas.

Tanpa mempedulikan Edgar yang duduk kikuk di kursinya, Ragna dan Verio melanjutkan sarapan mereka. Tidak ada tanda bahwa mereka akan menawarkan makanan atau bahkan memedulikan keberadaan pemuda itu.

Edgar hanya bisa terdiam di sana, menyadari bahwa dia tidak seberhak yang dia kira, dan bahwa di tempat ini, dia adalah orang asing yang tidak diinginkan.

Edgar menelan ludah, seakan mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti ruangan. Aura Verio yang mengancam membuatnya merasa kecil, seolah oksigen di sekitarnya mulai menipis. Pemuda itu berdiri dengan gerakan kaku, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Aku akan pergi," ucapnya pendek, mencoba menyelamatkan sisa harga dirinya.

Namun, sebelum dia benar-benar berbalik, Verio berdiri dari kursinya. Suaranya rendah namun memotong seperti bilah pisau, "Edgar Galasean Adipratja, ya?"

Edgar berhenti di tempat, kepalanya menoleh perlahan, seperti seorang anak kecil yang ketahuan mencuri.

"Aku tahu siapa ayahmu," lanjut Verio. Tatapannya menancap tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya. "Pria itu mungkin punya nama besar, tapi apa gunanya? Bahkan dengan semua kekayaan dan kekuasaan, kau di sini malah terlihat seperti anjing liar yang kehilangan arah."

Ragna menahan senyumnya di balik gelas jusnya. Dia mengenal sisi tajam Verio ini, namun jarang sekali melihatnya digunakan secara langsung.

Edgar mengepalkan tangan, amarah mulai menguasainya. Tapi dia tahu, membalas hanya akan memperburuk keadaan. "Aku tidak akan melupakan ini," gumamnya pelan, lebih seperti janji pada dirinya sendiri daripada ancaman.

Verio mengangkat alis, senyum tipis di wajahnya mengandung penghinaan yang jelas. "Silakan, coba bawa nama keluargamu, bawa semua ancamanmu. Tapi sebelum itu, tanyakan pada ayahmu, apa yang terjadi pada mereka yang pernah mencoba bermain-main denganku."

Ucapan itu membuat Edgar terdiam. Ada sesuatu dalam nada Verio yang terlalu serius untuk diabaikan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, pemuda itu melangkah keluar, pintu rumah tertutup dengan suara yang lebih keras dari biasanya.

Saat keheningan kembali menyelimuti, Verio menghela napas panjang sebelum kembali duduk di kursinya. Dia menatap Ragna yang tampak masih menikmati sarapannya tanpa peduli pada apa yang baru saja terjadi.

"Jadi, kau akan terus menarik bajingan seperti itu ke rumah kita?" tanya Verio akhirnya, nada suaranya kembali tenang, meski masih ada sedikit ketegangan yang tersisa.

Ragna mengangkat bahu. "Mungkin mereka butuh pelajaran. Lagipula, aku tidak memintanya datang."

Verio mendengus, mengambil korannya dan mulai membacanya, seolah mencoba melupakan insiden pagi itu. Namun, di dalam hatinya, dia tahu ini bukan yang terakhir kali Edgar akan muncul. Anak itu adalah tipe yang tidak tahu kapan harus menyerah.

"Aku serius, Ragna," ucapnya tiba-tiba, tanpa menurunkan korannya. "Jaga jarak dengan bajingan seperti dia. Orang seperti itu hanya akan membawa masalah."

Ragna tersenyum kecil, menatap Verio dengan pandangan lembut. "Aku tahu, Pa. Kau tidak perlu khawatir."

Namun, di balik senyum itu, Ragna tahu bahwa masa lalu yang berusaha dia tinggalkan mungkin mulai menyeretnya kembali, perlahan tapi pasti. Dan kali ini, dia harus memastikan dirinya cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

"Sialan! Kenapa mereka bisa gagal menyingkirkan anak itu, sih?!" Seru seorang wanita dengan gaun glamour berkilauan, nada suaranya penuh amarah. Jemarinya yang ramping gemetar saat dia menggigit salah satu kukunya, melampiaskan frustrasi yang terasa membakar dada.

Pintu ruang kerja terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria dengan setelan jas mahal yang rapi. Stevan, dengan sikapnya yang tenang namun berwibawa, melangkah masuk. Pandangannya tertuju pada sang istri, yang terlihat resah dan mondar-mandir seperti harimau yang terkunci dalam kandang.

"Kau kenapa, Sayang?" tanyanya dengan nada penasaran yang dibalut kekhawatiran.

Alea, wanita itu, tersentak mendengar suara suaminya. Namun, secepat kilat, dia menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman lemah. "Ah, Suamiku tersayang! Kau sudah pulang?" sahutnya manis sambil menghampiri Stevan. Tubuhnya yang ramping bersandar manja di dada pria itu, seolah mencari perlindungan.

"Ada apa? Kau terlihat... tidak biasa," ucap Stevan sambil mengusap rambut Alea dengan lembut, mencoba memahami keresahan istrinya.

Alea menghela napas pelan, kemudian mengangkat wajahnya menatap Stevan. Mata cokelatnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak sedikit gelisah. "Aku hanya... Aku hanya ingin memberikan pelajaran kecil pada perundung Silvi," katanya, suaranya terdengar seolah-olah dia adalah ibu yang terluka demi membela putrinya.

"Perundung?" Stevan mengerutkan kening.

"Ya, mereka anak-anak nakal yang berani sekali menyakiti Silvi kita! Padahal, dia gadis yang pintar dan baik hati..." Nada Alea mulai melunak, namun matanya kembali memancarkan kebencian saat dia melanjutkan, "Aku menyuruh beberapa orang untuk mengurus anak itu, tapi mereka gagal! Bahkan salah satu dari mereka sekarang kritis di rumah sakit! Menyebalkan sekali!"

Stevan mengangkat alis, wajahnya tetap tenang meski hatinya mulai memproses informasi itu dengan hati-hati. "Kau menyuruh seseorang... untuk melakukan sesuatu yang berbahaya?" tanyanya perlahan, nada suaranya berubah sedikit lebih tegas.

Alea menggeleng, mencoba mempertahankan kepolosannya. "Bukan sesuatu yang besar, Sayang. Hanya pelajaran kecil. Aku ingin anak itu tahu tempatnya. Dia sudah membuat hidup putri kita menderita!"

Stevan menghela napas panjang, kedua tangannya kini memegang bahu Alea. "Sayang, kau tahu aku mencintaimu. Tapi kau harus lebih hati-hati dalam bertindak. Kita tidak bisa membiarkan emosi mengendalikan keputusan kita. Apalagi, kalau itu menyangkut nama keluarga ini."

Alea mengerutkan bibirnya, merasa sedikit tersudut. "Aku hanya ingin melindungi Silvi..."

Stevan menundukkan kepalanya sedikit, hingga matanya sejajar dengan mata Alea. "Aku tahu. Tapi ada cara lain, cara yang lebih... bersih. Jangan biarkan rasa marahmu mengaburkan penilaianmu. Aku akan mengurus ini. Kau percayakan padaku, kan?"

Alea terdiam sesaat, kemudian mengangguk perlahan. "Baiklah... Tapi pastikan anak itu mendapatkan balasannya. Aku tidak bisa membiarkan siapa pun menyakiti Silvi."

Stevan mengangguk sekali, senyum tipis menghiasi wajahnya. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya mulai merancang langkah berikutnya. Dia tahu bahwa situasi ini harus ditangani dengan cermat—bukan hanya untuk Silvi, tetapi juga untuk menjaga reputasi keluarganya tetap utuh.

1
Listya ning
kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜
Myss Guccy
jarang ada orang tua yg menujukkan rasa sayangnya dng nada sarkas dan penuh penekanan. tp dibalik itu semua,, tujuannya hanya untuk membuat anak lebih berani dan kuat. didunia ini tdk semua berisi orang baik, jika kita lemah maka kita yg akan hancur dan binasa, keren thor lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!