Ana seorang pekerja keras yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan ibu dan kedua adiknya setelah kepergian ayah nya.
Hingga suatu hari dia menderita penyakit leukimia stadium akhir membuatnya hanya dapat bertahan selama 3 bulan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Sri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Anna menatap iba pada Talitha anak kecil yang begitu ceria di kondisi yang memperihatinkan seperti dia. Ia merasa malu dengan anak kecil di depannya ini yang lebih memiliki semangat hidup darinya. Apa jika ia sedikit lebih besar lagi akan mengerti keadaan nya sekarang, dan jika itu terjadi apakah ia akan tetap tersenyum seperti ini.
" jangan melihat ku seperti itu kak." ucap Talitha.
" emangnya kenapa?" tanya Anna.
" semua orang selalu menatap seperti itu padaku, semua mengasihani ku, benar bukan." ucap Talitha.
" kenapa kau berpikir seperti itu."
" kak, tatapan itu bukan karena kasihan padaku, melainkan karena ia bersyukur bukan dia di posisiku yang jelas lebih malang ini." ucap Talitha.
Anna terdiam, sangat tidak menyangka anak sekecil ini bahkan bisa bersikap lebih dewasa dari anak seusianya. Anna tersenyum melihat betapa cerdas nya Talitha.
" kau cerdas sekali, kakak sampai kagum loh." ucap Anna lembut membelai rambut panjang Talitha.
" ibu juga selalu bilang kalau Talitha sangat pintar dan berbakat." puji nya terhadap dirinya sendiri.
" Talitha ingin jadi apa saat dewasa?" tanya Anna.
" Talitha ingin jadi atlet lari jarak pendek."
Anna terdiam mendengar keinginan anak kecil ini, semangat nya sangat tinggi meski tahu keadaan nya yang tidak memungkin kan.
" apa itu...."
" tidak akan berhasil." potong anak itu.
Talitha menghela nafas dan menoleh ke arah anak-anak yang tengah berlari kesana kemari.
" semua orang berkata begitu, bahkan ayah bilang lebih baik menjadi pianis saja. Tapi berlari jauh lebih mengasyikkan. Kakak lihat wajah bahagia anak-anak itu saat mereka berlari, tawa itu menandakan betapa bebas nya mereka." ucap Talitha tersenyum.
Anna memandangi anak- anak itu. Talitha benar tawa itu menandakan sebebas apa mereka.
" kakak sendiri ingin jadi apa?" tanya Talitha.
" dulu Kakak punya impian sederhana, ingin menjadi seorang ibu."
" wah, itu bagus sekali. Lalu sekarang apa tetap sama."
" aku tidak akan bisa menjadi ibu karena alasan yang sama dengan mu. Tapi melihat dirimu sekarang justru menyadarkan kakak akan suatu hal yang lebih berguna."
" kakak sakit disini juga?" tanya Talitha menyentuh dada kirinya.
" tidak , tapi kakak juga sekarat."
Anna terkejut mendapati joan yang kini tengah berdiri di depan pintu kosnya. Anna dan joan memutuskan untuk pergi ke kafe terdekat dari tempat kos Anna.
Joan meletakkan minuman yang ia bawa di depan Anna dan mengambil tempat duduk di depan nya.
" aku pikir kau belum pulang." ucap joan memulai pembicaraan.
" kau tahu aku pergi." ucap Anna.
" jelas saja , aku kan bos mu." ucap joan.
Anna tidak menanggapi dan kembali menyedot minuman nya.
" bagaimana keadaan orang tua mu?" tanya joan.
Anna berhenti dan merasa tidak enak hati sekarang.
" bagaimana kau bisa tahu itu juga."
" ya karena aku.."
" bos ku, itu bukan alasan." potong Anna.
" baiklah, aku mengaku. Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mu dengan ibu mu di telepon sebelumnya."
" sudah kuduga. jangan biasakan menguping pak direktur." ucap Anna.
" aku tidak menguping, aku bilang tidak sengaja mendengar."
" kenapa kau mau menemui ku?" tanya Anna.
" apa tidak boleh, aku ingin berkunjung."
" tentu saja tidak, apa yang akan tunangan mu katakan, ia akan semakin membenci ku."
" aku tidak peduli."
" oh tolong lah jangan egois begitu, kau lihat terkahir kali ayah mu Bahkan hampir memindahkan ku, jika ia melihat ini bisa saja ia akan memecat ku." ucap Anna.
" Anna."
Anna menoleh ke arah joan yang sekarang telah berubah serius. Anna tidak menanggapi dan lebih memilih untuk menunggu apa yang akan di sampaikan Joan.
" bisa aku egois ."
" apa maksudmu?"
" kau bilang kau tidak akan menghadiri pernikahan ku. Bisa kah aku berpikir bahwa kau memiliki rasa padaku. Tolong katakan ya, agar aku bisa mengambil keputusan dengan benar." ucap joan.
" kenapa kau berpikir seperti itu? Kau seperti bukan joan yang ku kenal, karena joan adalah pemikir yang rasional."
" kau pikir aku masih bisa berpikir rasional sekarang, aku harap kau tidak sanggup menghadiri pesta ku oleh karena itu kau tidak akan hadir. Aku hanya ingin mendengar langsung dari mu, apa kau menyukai ku?"
Anna terdiam, matanya gelisah tidak ingin bertatapan dengan mata teduh joan yang menuntut pembenaran akan perasaan nya.
" tidak." ucap Anna memalingkan muka.
" kau berbohong" ucap joan.
" aku harus pulang, sampai jumpa di kantor besok."
Anna langsung pergi begitu saja tanpa menoleh pada joan yang kini terdiam dengan air mata yang jatuh di pipinya.
" kau berbohong Anna, apa sulit nya bagi mu untuk jujur."
flashback
" kau bahkan melakukan sesuatu begini demi Anna."
" akan kulakukan apa pun, jika itu demi dia."
" dasar buaya , noh urus dulu tunangan lu."
" aku nggak peduli."
" tapi bagus sih andai takdir cinta kalian tidak serumit ini, kalian pasti bisa bersama."
" apa maksud mu?"
" karena Anna mempunyai rasa yang sama padamu."
" Ryan kau tidak berbohong kan."
Joan tersenyum tipis mengingat perkataan Ryan, ia sekarang sudah membuktikan dan benar adanya Ryan berkata jujur padanya.
Tiara memeriksa ponsel nya namun harus menelan rasa kecewa karena orang yang ia tunggu bahkan belum menghubungi nya setidaknya menanyakan keadaan nya.
" Dia tidak akan peduli padaku."
Ibu Tiara memasuki ruangan nya dengan membawa beberapa buah-buahan.
" ibu sudah mendapat kan donor hati yang cocok untuk mu, dokter bilang ia akan menghubungi kita kalau pendonor nya sudah siap." Ucap ibunya dengan ekspresi bahagia yang terlihat jelas di wajahnya yang mulai menua.
" percuma saja hidup lebih lama, kalau joan tetap cuek begitu."
" aduh sayang jangan pikirin itu, bagaimana pun joan akan tetap bersama kamu, kamu harus tenang ,ok sayang."
Anna menghubungi dokter nya untuk menyampaikan sesuatu yang langsung mendapat persetujuan dari dokter nya.
Anna termenung memikirkan pertanyaan joan, ia meraba hatinya yang sakit karena takdir nya begitu kejam.
" jika ingin menderita, maka menderita lah sendiri jangan ajak orang lain."
Ibu Anna mencoba menghubungi Anna, tapi selalu berakhir di tolak. Ada rasa sakit dan sedih saat anna mengabaikan nya.
Kini ia merasakan perasaan bersalah yang amat besar bukan hanya pada Anna tapi juga pada mendiang suaminya. Ia telah menyalahi permintaan terakhir suaminya untuk terus melindungi ketiga anak nya, tapi ia gagal. Sekarang anak pertamanya sudah ia buat menderita.
Memang bodoh pikirnya anna akan dapat menghidupinya dengan keluarganya yang lain, Anna tidak gagal ia lah yang gagal.
" maafkan aku mas, aku memang bukan ibu yang baik, aku memang pantas di benci. Anna tidak akan mau memaafkan ku. Hiks...Hiks apa yang harus aku lakukan. Sekarang aku bingung mas. Aku minta maaf hiks...hiks."
Dipeluknya foto mendiang suaminya dan menangisi kebodohan nya yang gagal menjadi ibu bagi anak nya.