NovelToon NovelToon
Agent UnMasked

Agent UnMasked

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Roman-Angst Mafia
Popularitas:497
Nilai: 5
Nama Author: mommy JF

“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.

Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.

“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.

“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”

“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.

Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”

Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.

Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2: Pelarian

Hujan belum reda sejak ledakan besar yang mengguncang malam itu. Bau mesiu dan asap masih memenuhi udara, bercampur dengan aroma tanah basah. Di tengah reruntuhan, tubuh Aiden tergeletak, tak bergerak. Luka di bahunya mengucurkan darah, meninggalkan jejak merah yang memudar di bawah derasnya hujan.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seorang wanita dengan mantel panjang dan payung yang melindungi wajahnya dari hujan berjalan cepat ke arah tubuh itu. Ia berjongkok, menyentuh leher Aiden untuk memastikan nadinya masih terasa.

“Masih hidup,” gumamnya dengan napas lega. “Tapi tidak akan lama kalau tetap di sini.”

Wanita itu, Aliyah, mengangkat tubuh Aiden yang berat dengan susah payah. Ia tak tahu siapa pria ini atau apa yang terjadi, tapi intuisi kuatnya mengatakan dia harus menyelamatkannya.

Beberapa jam kemudian

Aiden terbangun di sebuah ruangan kecil yang diterangi cahaya redup. Kepalanya berdenyut hebat, dan bahunya terasa seperti terbakar. Ia mencoba bangkit, tapi rasa sakit menghentikannya.

“Jangan bergerak terlalu banyak.”

Aiden menoleh. Di sudut ruangan, seorang wanita sedang menuangkan air ke dalam cangkir. Ia berjalan mendekat dan menyodorkan cangkir itu ke tangan Aiden.

“Minum ini. Itu akan membantu,” katanya singkat.

Aiden menatapnya curiga, tapi akhirnya menerima cangkir itu. “Siapa kau?” tanyanya dengan suara serak.

“Aliyah,” jawab wanita itu sambil duduk di kursi kecil di sebelah tempat tidur. “Dan kau?”

Aiden terdiam sejenak, mempertimbangkan jawabannya. “Blake,” katanya akhirnya, menggunakan nama samarannya.

Aliyah mengangguk tanpa menunjukkan minat lebih jauh. “Baiklah, Blake. Kau beruntung aku menemukanku. Kalau tidak, kau mungkin sudah menjadi mayat di luar sana.”

“Kenapa kau menyelamatkanku?”

Aliyah mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin karena aku tidak suka melihat orang mati begitu saja di tengah hujan.”

Aiden mencoba membaca wajahnya, mencari tanda-tanda bahwa wanita ini tahu lebih banyak dari yang ia katakan. Tapi tatapan Aliyah tetap netral, tanpa rasa takut atau curiga.

“Apa yang terjadi padamu?” tanyanya lagi.

Aiden mengalihkan pandangan. “Hanya… urusan yang rumit.”

“Cukup jelas,” jawab Aliyah sambil tersenyum tipis. “Tapi sepertinya ‘urusan rumit’-mu melibatkan ledakan besar dan peluru. Itu cukup menarik.”

Aiden tidak menjawab. Ia tahu semakin sedikit yang ia katakan, semakin aman bagi mereka berdua.

Beberapa saat kemudian

Aliyah kembali ke dapur kecil di pojok ruangan, meninggalkan Aiden sendirian. Ia memanfaatkan momen itu untuk memeriksa keadaan sekitarnya. Ia melihat pintu utama yang tampaknya terbuat dari kayu tua, sebuah jendela kecil yang ditutupi kain tebal, dan tas medis yang tergeletak di lantai.

“Tidak buruk untuk tempat persembunyian,” gumamnya pelan.

“Apa kau bicara sendiri di sana?” suara Aliyah terdengar dari dapur.

Aiden tersenyum tipis. “Kebiasaan buruk.”

Aliyah kembali dengan semangkuk sup panas. Ia meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Makan ini. Kau butuh tenaga untuk sembuh.”

“Terima kasih,” ujar Aiden sambil mulai menyeruput sup itu.

Aliyah memperhatikan pria itu dengan saksama. Meski wajahnya tampak tenang, ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. “Blake, kau ini siapa sebenarnya?”

Aiden berhenti makan sejenak, lalu menatapnya. “Hanya seseorang yang berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.”

Aliyah mendengus. “Kalau itu yang kau sebut ‘waktu yang salah’, aku penasaran seperti apa waktu yang benar bagimu.”

Aiden hanya tersenyum kecil tanpa menjawab.

Tengah malam

Aiden terbangun oleh suara ketukan keras di pintu. Ia meraih senjata kecil yang disembunyikan di bawah bantalnya—senjata yang ia simpan sejak sebelum ledakan. Langkah kaki terdengar di depan pintu.

“Aliyah!” suara pria asing memanggil dari luar. “Aku tahu kau di dalam. Buka pintunya!”

Aliyah yang terbangun dengan panik menatap ke arah pintu. “Siapa itu?” bisiknya pada dirinya sendiri, lalu menoleh ke arah Aiden. “Kau mendengar itu?”

Aiden mengangguk, dengan wajah penuh siaga. “Apa kau mengenalnya?”

Aliyah menggeleng. “Tapi… itu mungkin…” Ia mendekat ke jendela dan mengintip keluar, lalu mendesah dengan wajah lelah. “Rentenir.”

“Rentenir?” Aiden mengangkat alis.

“Ya, mereka sering datang menagih utang. Aku sudah bilang akan membayarnya nanti, tapi mereka tidak peduli.” Aliyah menunduk, menggigit bibirnya dengan cemas.

Ketukan itu semakin keras, disusul dengan suara ancaman. “Kalau kau tidak buka, kami akan dobrak pintunya!”

Aiden berdiri perlahan, meski bahunya masih terasa sakit. “Biarkan aku yang mengurus mereka.”

“Tidak!” Aliyah menahan lengannya. “Aku tidak mau mereka curiga. Kalau mereka tahu kau ada di sini, mereka akan bertanya-tanya lebih jauh.”

Aiden terdiam, menatap Aliyah dengan mata yang menyiratkan ketidakpercayaan. “Jadi, apa rencanamu?”

“Berpura-pura tidak ada siapa-siapa,” bisik Aliyah. Tapi langkah berat di luar menunjukkan itu tidak akan mudah.

“Kalau mereka masuk, kita dalam masalah,” bisik Aiden tegas.

Ketukan itu berubah menjadi gebrakan keras, pintu mulai retak. Aliyah menatap Aiden dengan wajah cemas, sementara pria itu bersiap dengan senjatanya.

Dan saat pintu hampir roboh, satu suara keras menghentikan semua gerakan. “Aliyah! Aku tahu kau ada di sana! Jangan bermain-main denganku!”

Aliyah menelan ludah, wajahnya memucat. “Itu suara… bos rentenirnya.”

Aiden menoleh, wajahnya penuh tanya. “Siapa dia sebenarnya?”

Ketukan di pintu berubah menjadi hantaman keras. Suara kayu yang hampir patah terdengar jelas, membuat ruangan kecil itu dipenuhi ketegangan. Aiden bersandar ke dinding, mengangkat senjatanya dengan hati-hati.

“Apa kau yakin kita harus tetap diam?” bisiknya pelan pada Aliyah, yang kini duduk dengan napas tertahan.

Aliyah menggigit bibirnya, matanya menatap pintu yang berguncang. "Aku tidak punya pilihan. Jika kita buka pintu, mereka mungkin hanya ingin uang. Tapi jika mereka tahu ada kau di sini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi."

Aiden mendengus pendek. "Itu jika kau beruntung. Orang-orang seperti mereka tidak akan berhenti hanya dengan ancaman kecil."

Dentuman terakhir menghancurkan engsel pintu, dan pintu itu terbuka dengan suara keras. Tiga pria bertubuh besar masuk, wajah mereka penuh dengan amarah. Pemimpin mereka, seorang pria dengan jaket kulit hitam dan wajah penuh bekas luka, berdiri di tengah, matanya langsung menangkap Aliyah yang membeku di sudut ruangan.

"Akhirnya," katanya dengan nada dingin. "Berapa lama lagi kau mau menghindar, Aliyah?"

Aliyah berdiri dengan tubuh gemetar, mencoba terlihat tegar. "Aku bilang akan membayarnya! Beri aku waktu beberapa hari lagi."

Pria itu tertawa sinis, melangkah mendekat. "Beberapa hari? Kau sudah berbulan-bulan berjanji. Aku muak mendengar omong kosongmu."

Aiden menahan napas, jari-jarinya siap menarik pelatuk. Tapi ia tahu, jika ia menyerang sekarang, itu akan mengungkap keberadaannya.

Pria itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah pisau kecil yang terlihat tajam. Ia memainkannya dengan santai sambil menatap Aliyah. "Kau tahu, aku bisa mengambil sesuatu yang lain sebagai gantinya."

Aliyah mundur, matanya membelalak. "Jangan... aku akan bayar. Aku hanya butuh waktu."

Namun pria itu tidak peduli. Ia mendekat dengan langkah perlahan, mengancam. "Waktu sudah habis, sayang. Dan sekarang aku ingin—"

Sebuah suara keras memecah suasana.

"Berhenti di situ."

Pria itu berbalik dengan cepat, matanya menyipit saat melihat Aiden berdiri dengan senjata mengarah padanya. Wajahnya berubah dari sombong menjadi waspada.

"Siapa kau?" tanyanya tajam.

"Orang yang kau tidak ingin main-main," jawab Aiden dingin, suaranya rendah namun penuh ancaman.

Ketiga pria itu saling berpandangan, ragu-ragu untuk melangkah lebih jauh. Tapi pemimpin mereka mendengus, mencoba menunjukkan keberaniannya. "Kau pikir senjata itu membuatmu aman? Ini urusan kami dengan wanita itu. Jangan ikut campur."

Aiden mengangkat alis, senjatanya tetap terarah. "Urusanmu dengan dia selesai. Pergi sekarang, sebelum aku kehilangan kesabaran."

Ketegangan di ruangan itu memuncak. Aliyah menahan napas, matanya berpindah-pindah antara Aiden dan pria-pria itu. Pemimpin mereka tampak mempertimbangkan opsinya, tapi sebelum ia bisa membuat keputusan, sebuah sirine terdengar dari kejauhan.

Polisi.

"Kurang ajar," gumam pria itu, wajahnya berubah panik. Ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk pergi. Sebelum keluar, ia menoleh ke arah Aliyah dengan tatapan penuh ancaman. "Kita belum selesai."

Setelah mereka pergi, Aliyah jatuh terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Aiden menurunkan senjatanya, matanya tetap tertuju pada pintu yang kini terbuka lebar.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.

Aliyah mengangguk, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. "Terima kasih," bisiknya.

Aiden tidak menjawab, tapi tatapannya mengeras. Ia tahu ini bukan akhir dari masalah mereka. Jika pria-pria itu kembali, keadaan bisa jauh lebih buruk.

"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Aiden akhirnya.

Aliyah menghapus air matanya, menatap lantai dengan tatapan kosong. "Mereka... rentenir. Aku berhutang banyak pada mereka setelah... semuanya berantakan."

Aiden tidak mendesaknya untuk menjelaskan lebih lanjut. Tapi dalam hatinya, ia tahu wanita ini terjebak dalam masalah yang lebih besar dari yang terlihat.

"Mulai sekarang, kau tidak akan menghadapi mereka sendirian," katanya tegas.

Aliyah menatapnya, kebingungan. "Kenapa kau peduli? Aku bahkan tidak tahu siapa kau sebenarnya."

Aiden hanya tersenyum tipis, menyembunyikan kebenaran di balik tatapannya. "Mungkin aku hanya membayar utang budi. Tapi percayalah, aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu."

Bersambung.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.

Terima kasih.

1
Aleana~✯
hai kak aku mampir....yuk mampir juga di novel' ku jika berkenan 😊
Erik Andika: mampir di channel ku kak kalo berkenan juga
ziear: oke kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!