Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1: The Beginning
Langit berawan dan suram di atas kamp evakuasi. Suara kendaraan militer dan orang-orang berbicara dengan penuh kekhawatiran mengisi udara. Di sekeliling Wira, para survivor duduk dalam kebingungan, kelelahan, dan ketakutan, seolah bayangan mimpi buruk di kapal pesiar tadi masih terus menghantui. Hanya beberapa hari berlalu sejak tragedi itu, tapi kini dunia terasa begitu berbeda. Alien yang disebut “Ruo” oleh media telah menyebar dengan cepat, dan mereka menjadi teror baru yang tak terhentikan. Setiap kali ada penyerangan, Ruo menyerap indera manusia yang tertangkap dan mengubah mereka menjadi makhluk tak bernyawa yang sama mengerikannya. Mereka kebal terhadap peluru, ledakan, api—segalanya.
Wira mengamati sekeliling kamp yang penuh sesak. Ia mengenakan jaket lusuh yang dipinjamkan oleh petugas, namun pikirannya tertuju pada satu hal yang terus menghantui.
"Felisa… di mana kamu?" gumamnya pelan, tangannya bergetar saat berulang kali mencoba menghubungi telepon kakaknya, tapi tetap tidak ada jawaban. “Ayolah, Kak... Tolong jawab,” ucapnya frustasi.
Seseorang menepuk pundaknya, membuatnya sedikit terkejut. Petugas medis bertubuh tinggi itu memberikan senyuman tenang, meskipun wajahnya juga memancarkan kelelahan yang mendalam. "Maaf, kami harus memeriksa semua survivor, termasuk kamu. Ini hanya prosedur standar, untuk memastikan semuanya baik-baik saja."
Wira mengangguk lemah. Ia mengikuti petugas itu ke sebuah tenda besar tempat beberapa survivor lain sudah duduk berbaris. Setiap orang diperiksa satu per satu oleh petugas medis, wajah mereka dipenuhi keletihan dan luka-luka kecil yang belum sepenuhnya sembuh.
Di luar tenda, Wira mendengar suara desingan helikopter dan kendaraan militer yang terus bersiaga, siap menghadapi segala kemungkinan. Semua orang tahu betapa berbahayanya Ruo. Terlalu banyak laporan yang beredar tentang bagaimana Ruo berhasil menyerang tanpa ampun. Mereka tidak hanya mengancam keselamatan, tetapi juga kemanusiaan. Wira bisa merasakan ketakutan merayapi tubuhnya, namun ia mencoba tetap tenang.
Wira mengambil tempat duduk di sudut tenda dan memperhatikan sekelilingnya. Survivor lain tampak terdiam dalam kecemasan, beberapa bahkan gemetar. Meskipun dalam hati ia juga ketakutan, Wira mencoba menunjukkan ketenangan.
Beberapa menit berlalu, dan salah satu dokter medis mulai memeriksa setiap survivor satu per satu, mengobati luka-luka kecil atau memeriksa tanda-tanda gangguan kesehatan. Suasana relatif tenang di dalam tenda, setidaknya untuk sesaat. Namun, saat salah seorang petugas mendekati seorang pria di baris depan, tiba-tiba ada yang aneh.
Pria itu mengangkat kepalanya dan menatap petugas medis dengan pandangan kosong yang tajam. Tidak ada ekspresi, tidak ada emosi—hanya tatapan dingin tanpa jiwa.
Petugas itu mundur satu langkah, menyadari sesuatu yang mengerikan. "K-kamu... bukan manusia, kan?"
Sebelum sempat ada yang bereaksi, pria itu bergerak cepat, lebih cepat dari yang bisa diikuti oleh mata manusia biasa. Dalam sekejap, ia mendorong petugas tersebut hingga terdengar suara retakan keras. Orang-orang di tenda menjerit, dan kekacauan segera pecah.
"T-tolong! Ruo menyusup ke sini!" seseorang berteriak panik, membuat semua orang di dalam tenda berebut keluar dengan ketakutan.
Ternyata bukan hanya satu, tetapi ada beberapa Ruo yang menyamar sebagai survivor. Mereka semua beraksi bersamaan, menyerang orang-orang di sekitar mereka tanpa ampun. Dengan kekuatan fisik luar biasa, mereka merobohkan tenda dan menahan siapa saja yang mencoba melawan atau kabur.
Wira terpaku sejenak, mencoba memproses apa yang terjadi di sekelilingnya. Para Ruo begitu cerdas—mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan, tetapi juga strategi untuk menyusup dan menyembunyikan diri sampai momen yang tepat untuk menyerang. Mereka benar-benar jauh lebih cerdik daripada yang Wira duga.
“Lari!” salah satu survivor berteriak sambil berusaha menyeret tubuhnya yang terluka menjauh. Wira tersadar dan ikut bergerak, mencoba mencari jalan keluar di antara kekacauan yang melanda. Di sekelilingnya, suara jeritan dan gemuruh menghantui, menciptakan kepanikan yang semakin mencekam.
Salah satu Ruo melihat ke arah Wira dan mulai mendekatinya, berjalan pelan namun pasti dengan pandangan kosong dan gerakan yang begitu mantap. Wira merasa jantungnya berdetak cepat, hampir tak bisa bernapas. Ia mencoba berpikir jernih, mencari cara untuk menyelamatkan diri.
Saat Ruo itu semakin dekat, Wira melihat ada tong air besar di dekat pintu tenda yang terbalik. Dalam sekejap, ia memiliki ide. Dengan gerakan cepat, ia mendorong tong tersebut ke arah Ruo, berharap bisa menciptakan jarak. Tong itu menghantam Ruo dengan suara keras, namun makhluk itu nyaris tak terpengaruh. Ia terus maju, seolah rintangan kecil seperti itu tak ada artinya.
Wira berlari keluar tenda, melewati beberapa tentara yang sedang mencoba menahan para Ruo dengan tembakan. Namun, peluru-peluru itu hanya memantul tanpa efek berarti, bahkan bom granat pun tak menggoyahkan mereka. Para tentara yang bertahan hanya menjadi korban berikutnya, tersapu oleh kekuatan mengerikan para Ruo yang mendekat tanpa henti.
"Kenapa… kenapa mereka tak bisa dihentikan?" Wira berpikir putus asa. Namun, ia tahu satu hal—ia harus bertahan, menemukan cara untuk selamat dari serangan ini, dan mencari tahu di mana Felisa berada.
Di balik kabut dan debu akibat kekacauan, Wira menatap pergerakan para Ruo yang merobohkan segalanya di jalur mereka, menghadirkan mimpi buruk yang nyata bagi setiap manusia yang mencoba melawan. Ia harus tetap hidup, setidaknya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang berputar di pikirannya.
Namun, di dalam hatinya yang gelap, ada sesuatu yang mulai berbisik. "Ini adalah kesempatan… kesempatan untuk sesuatu yang lebih besar…"
Setelah berlari dari kekacauan di kamp, Wira merasa dunia di sekitarnya telah benar-benar runtuh. Kini dia sendirian, terlunta-lunta tanpa tujuan, lapar, lelah, dan tanpa tahu di mana kakaknya, Felisa. Langit yang mendung tampak tidak menunjukkan belas kasih; angin dingin menusuk tulangnya yang mulai merasakan bekas-bekas luka dari serangan Ruo dan kelelahan dari pelariannya.
Dengan tubuh yang sudah lemah, Wira berusaha mencari makanan. Ia melihat sebuah supermarket di ujung jalan, meskipun bangunan itu tampak terbengkalai, kaca-kacanya pecah dan pintu depan tergantung lepas. Mungkin ada sisa-sisa makanan yang bisa ia ambil di sana. Tanpa berpikir panjang, Wira masuk ke dalam supermarket.
Di dalam, Wira mencoba menyusuri lorong-lorong yang gelap, berharap menemukan makanan atau air yang masih bisa dikonsumsi. Namun, saat ia sampai di bagian tengah supermarket, suara gaduh terdengar dari balik rak-rak makanan yang sudah kosong. Tiba-tiba, sekelompok orang muncul dari bayang-bayang, membawa beberapa kantung plastik besar yang berisi makanan dan perbekalan. Mereka segera menyadari kehadiran Wira dan menatapnya dengan sorot mata waspada.
“Hey, anak muda! Kamu pikir kamu bisa seenaknya datang dan mengambil barang-barang kami?” salah satu dari mereka berkata dengan nada mengancam, wajahnya berlumur debu dan goresan luka, tanda bahwa dia juga mengalami situasi buruk yang sama.
Wira mencoba menjelaskan. “Saya hanya mencari makanan. Saya tidak punya apa-apa…”
Namun, kata-katanya tidak membuat mereka bersimpati. Salah seorang dari mereka melangkah maju, menatap Wira dari atas ke bawah dengan ekspresi penuh kebencian. “Kamu kira hidup di sini mudah? Kami semua juga kelaparan! Kalau mau bertahan hidup, berjuanglah sendiri!” Tanpa aba-aba, ia melemparkan tinjunya ke arah Wira, menghantam wajahnya dengan keras.
Wira, dengan tubuhnya yang tidak terlalu besar dan kini semakin lemah, tak mampu melawan. Serangan demi serangan menghantam tubuhnya. Ia mencoba melindungi diri, tetapi perlawanan itu sia-sia. Tubuhnya jatuh ke lantai, dan ia hanya bisa merasakan nyeri di seluruh tubuhnya. Seiring mereka berlalu, meninggalkan Wira yang terkapar, ia hanya bisa merasakan perih dan marah yang mendalam. Bahkan, ia tidak mendapatkan apa-apa, tidak satu pun makanan atau air.
Dengan terhuyung-huyung, ia keluar dari supermarket. Tubuhnya terasa remuk, memar menghiasi wajahnya, dan ia tidak memiliki tenaga lagi untuk menangis. Kelaparan makin menyiksanya, dan ia mulai merasa perutnya seperti mencengkeram dari dalam. Tanpa pilihan lain, ia mulai mengais tempat sampah di tepi jalan. Bau busuk menusuk hidungnya, tetapi rasa lapar telah menghilangkan perasaan jijiknya. Apa pun yang bisa dimakan, akan ia makan.
Ia menemukan sisa-sisa makanan yang sudah berjamur, sedikit roti yang sudah kering dan basi, dan beberapa sisa makanan yang sudah setengah busuk. Dengan penuh keputusasaan, Wira memasukkan makanan itu ke mulutnya, membiarkan rasa pahit dan anyir memenuhi lidahnya. Meski hampir membuatnya muntah, makanan itu sedikit memberikan kekuatan.
Dengan perut yang sedikit terisi, Wira merasakan kelelahannya semakin berat. Tubuhnya sudah memerlukan istirahat, dan ia tahu bahwa ia harus mencari tempat yang aman untuk berlindung sementara. Ia berjalan sempoyongan, matanya menyisir bangunan-bangunan yang sudah setengah runtuh di sekitarnya.
Di ujung jalan yang sepi, ia melihat sebuah rumah kecil yang tampak sepi dan hancur sebagian. Jendela-jendelanya pecah, pintunya nyaris tidak tergantung lagi, namun rumah itu setidaknya bisa memberi sedikit perlindungan dari angin malam yang dingin. Ia masuk ke dalam rumah tersebut, melewati pecahan kaca dan perabotan yang berserakan.
Wira menemukan sebuah sudut ruangan yang terlindung, cukup untuk membuatnya merasa aman meski tidak nyaman. Ia duduk dengan punggung menempel di dinding yang dingin, tubuhnya terasa ngilu di setiap sendi. Perlahan, matanya mulai terasa berat, dan ia membiarkan kelelahan menelan dirinya. Dalam kegelapan dan kesepian, Wira akhirnya tertidur, pikirannya mengambang antara ketakutan dan keinginan untuk bertahan hidup.