seorang gadis kecil yang saat itu hendak pergi bersama orang tua ayah dan ibunya
namun kecelakaan merenggut nyawa mereka, dan anak itu meninggal sambil memeluk bonekanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
yoga menemui dukun
Yoga mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang. Matanya memerah, dipenuhi amarah dan kesedihan yang terpendam. Ia menatap foto orang tuanya yang terpajang di meja, wajah mereka tersenyum ramah, tetapi senyum itu kini hanya menyisakan kenangan pahit. Mama dan Papanya telah tiada, dibunuh oleh Boneka Bruno, boneka artifak yang menyimpan misteri kelam.
Yoga tak akan pernah melupakan malam mengerikan itu. Suara jeritan, pecahan kaca, dan aroma darah yang menyengat hidungnya masih menghantui mimpinya. Ia masih bisa melihat bayangan Boneka Bruno, dengan tatapan matanya yang kosong dan menyeramkan. Sejak saat itu, hidup Yoga berubah selamanya. Ia bertekad untuk membalas dendam, untuk menemukan Boneka Bruno dan menghukumnya atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Yoga memulai penyelidikannya, mencari informasi tentang Boneka Bruno dari berbagai sumber. Ia mengunjungi perpustakaan, mencari arsip-arsip lama yang mungkin menyimpan informasi tentang boneka itu. Ia menghubungi kolektor barang antik, menanyakan tentang keberadaan Boneka Bruno. Ia juga mencari informasi di internet, menjelajahi forum-forum online yang membahas tentang boneka-boneka misterius. Ia tak akan berhenti sampai ia menemukan Boneka Bruno dan membongkar misteri di balik kematian orang tuanya. Ia akan membalas dendam atas kematian orang tuanya, meskipun ia tahu bahwa jalan yang akan ia tempuh akan sangat berbahaya dan penuh tantangan. Ia siap menghadapi apapun, demi keadilan bagi orang tuanya.
Yoga berjalan tertatih memasuki sebuah gubuk tua yang remang-remang. Bau dupa dan rempah-rempah menyengat hidungnya. Di tengah ruangan, terdapat seorang dukun tua yang duduk bersila di atas tikar pandan. Rambutnya putih panjang, menjuntai hingga ke bahu. Wajahnya keriput, tetapi matanya tajam dan berkilat.
Yoga mendekat, menaruh sesembahan berupa beberapa buah dan uang di depan dukun. "Bapak," panggil Yoga, suaranya bergetar. "Saya datang meminta bantuan Bapak."
Dukun tua itu menatap Yoga dengan tajam. "Ada apa, Nak?"
Yoga menarik napas dalam-dalam. "Boneka Bruno... saya ingin tahu di mana boneka itu berada." Suaranya terbata-bata, dipenuhi emosi.
Dukun tua itu mengangguk pelan. "Boneka Bruno... boneka yang menyimpan kutukan maut." Ia mengambil sesajen yang diberikan Yoga, menciumnya dengan hormat. "Boneka itu menyimpan energi jahat yang sangat kuat. Mencarinya bukanlah hal yang mudah."
Yoga mengangguk, menahan air matanya. "Saya tahu, Bapak. Tetapi saya harus menemukannya. Orang tua saya..." Suaranya tercekat.
Dukun tua itu mengerti. Ia menatap Yoga dengan penuh empati. "Baiklah, Nak. Aku akan membantumu. Tetapi kau harus bersiap menghadapi konsekuensinya." Ia mulai merapal mantra, suaranya bergema di ruangan yang sunyi. Asap dupa mengepul, menciptakan suasana yang mistis dan mencekam. Yoga memperhatikan setiap gerakan dukun, menunggu petunjuk tentang keberadaan Boneka Bruno. Ia berdoa agar dukun itu dapat membantunya menemukan boneka itu dan membalas dendam atas kematian orang tuanya.
Dukun tua itu berhenti merapal mantra, matanya menatap Yoga dengan tajam. Asap dupa perlahan menghilang, meninggalkan aroma yang menusuk hidung. "Boneka Bruno bukan sekadar benda mati, Nak," kata dukun tua itu, suaranya berat. "Ia menyimpan kekuatan jahat yang tak terbayangkan. Mencarinya berarti kau membuka pintu gerbang menuju dunia gelap."
Yoga mengerutkan kening, raut wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa maksud Bapak?"
"Boneka itu dijaga oleh roh-roh jahat," jelas dukun tua itu. "Mereka akan menghalangi siapapun yang ingin mendekatinya. Kau akan menghadapi bahaya yang tak terduga. Kau mungkin akan kehilangan nyawamu, atau bahkan jiwa dan ragamu akan terjebak dalam kutukannya."
Yoga terdiam, mencerna kata-kata dukun tua itu. Ia tahu bahwa pencarian Boneka Bruno akan penuh bahaya, tetapi ia tak akan menyerah. "Saya siap menghadapi apapun," ujar Yoga, suaranya teguh. "Saya harus menemukan Boneka Bruno. Demi orang tua saya."
Dukun tua itu mengangguk pelan. "Baiklah, Nak. Aku akan memberimu petunjuk. Tetapi ingat, jalan ini penuh dengan bahaya. Kau harus berhati-hati dan jangan pernah kehilangan fokus." Ia menunjuk ke arah sebuah peta tua yang tergulung di sudut ruangan. "Petunjuk tentang keberadaan Boneka Bruno ada di sana." Dukun tua itu menunjuk ke arah sebuah titik merah di peta. "Di tempat ini, kau akan menemukan Boneka Bruno."
Yoga menatap dukun tua itu dengan tatapan penuh tanya dan amarah. "Bapak... kenapa Boneka Bruno bisa membunuh orang tua saya?" suaranya bergetar menahan amarah.
Dukun tua itu menghela napas panjang, wajahnya tampak sendu. "Boneka Bruno bukanlah boneka biasa, Nak," jawabnya pelan. "Ia adalah wadah bagi arwah Angelica, seorang gadis yang dibunuh oleh orang tuamu, satu tahun yang lalu."
Yoga terbelalak. "Orang tua saya...? Mereka membunuh seseorang?" Ia tak pernah mendengar cerita itu sebelumnya.
Dukun tua itu mengangguk. "Mereka tak pernah menceritakannya padamu? Mereka menyembunyikannya, karena rasa bersalah yang mendalam." Ia melanjutkan, "Angelica menyimpan dendam yang amat besar. Arwahnya merasuki Boneka Bruno, mencari balas dendam kepada keturunan pembunuhnya. Dan kau... kau adalah targetnya." namun sebelum dia membunuhmu dia terlebih dahulu menghabisi orang tuamu.
Yoga terdiam, otaknya berusaha mencerna informasi mengejutkan itu. Ia tak pernah membayangkan bahwa orang tuanya menyimpan rahasia kelam semacam ini. Ia merasa hancur, dihantam oleh beban berat yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Rasa marah dan dendam yang sebelumnya ia tujukan pada Boneka Bruno kini bercampur aduk dengan rasa bersalah dan kehilangan. Ia telah membenci Boneka Bruno, tetapi kini ia harus berdamai dengan kenyataan bahwa orang tuanya terlibat dalam tragedi yang mengerikan ini. Ia bertanya-tanya, apakah ia harus tetap membalas dendam, atau ia harus mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah ini.
Yoga terdiam, mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan. Rasa marah dan dendam yang sebelumnya ia rasakan kini bercampur aduk dengan rasa bersalah dan kehilangan. Ia tak pernah membayangkan bahwa orang tuanya menyembunyikan rahasia kelam semacam ini. Ia merasa dihantam oleh beban berat yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.
"Di mana... di mana pemakaman Angelica dan orang tuanya ?" tanya Yoga, suaranya bergetar. Ia ingin melihat makam Angelica, menghormati arwahnya, dan mungkin mencari cara untuk meredakan dendamnya. Ia juga ingin melihat makam orang tuanya, mencari ketenangan dan memaafkan kesalahan mereka.
Dukun tua itu menatap Yoga dengan tatapan penuh empati. "Pemakaman Angelica berada di tengah hutan, di dekat air terjun yang tersembunyi. Pemakaman orangnya berada di dekat sungai, di bawah pohon besar yang menjulang tinggi. Mereka dimakamkan terpisah, tetapi tak terlalu jauh satu sama lain."
Yoga mencatat informasi itu dengan saksama. Ia berterima kasih kepada dukun tua itu, kemudian beranjak pergi. Ia harus mengunjungi makam Angelica dan orang tua Angelica.
Ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan yang selama ini menghantuinya. Ia ingin memahami tragedi yang telah terjadi dan menemukan jalan untuk meredakan dendamnya. Ia ingin menemukan kedamaian, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk arwah orang tuanya.