"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Aku dan Mas Erik baru keluar dari kamar pukul setengah 7. Meja makan sudah penuh dengan berbagai masakan. Mama terlihat tersenyum lebar dan mengajakku duduk. Aku sama sekali tidak diijinkan membantu menyiapkan makanan, tapi Mama malah terlihat senang-senang saja. Dia malah bertanya kenapa aku sudah turun, padahal belum di panggil.
"Erik, kenapa kamu berdiri saja? Sini duduk!" Mama menarik kursi di sebelahku untuk Mas Erik.
Tanpa berkomentar, Mas Erik langsung duduk di sebelahku. Sementara itu, Mama duduk di depan kami.
"Ayo makan yang banyak. Bik Asih makan di belakang, tadi sudah Mama ajak makan bersama tapi tidak mau." Ujar Mama.
"Bik Asih memang begitu Mah, katanya tidak sopan."
Mama mengangguk-angguk. Bik Asih juga pasti sudah mengatakan alasannya pada Mama.
"Sini piringnya, biar Mama ambilkan." Mama sudah mengulurkan tangan untuk meminta piring ku, tapi langsung aku tolak. Mana mungkin aku membiarkan Mama mertuaku mengambilkan makanan ku. Sangat tidak sopan, walaupun Mama. sendiri yang menawarkan.
"Ya sudah, biar Mama ambilkan punya Erik saja. Sini piring kamu." Mama beralih pada Mas Erik, tapi Mas Erik juga menolak.
"Aku mau di ambilkan Bulan saja." Jawaban Mas Erik cukup membuat emosiku sedikit naik walaupun belum sampai 10%. Entah apa maksudnya dia ingin aku yang mengambilkan makanannya. Jangankan ingin di ambilkan, dulu makan satu meja dengan ku saja sangat jarang.
"Sayang, tolong ambilkan nasinya. Tidak usah banyak-banyak." Suara lembut Mas Erik cukup membuat telingaku sakit dan ada sedikit rasa mual-mualnya. Sayang katanya? Pria itu benar-benar pandai berkamuflase menjadi suami sok romantis.
Tidak mau membuat Mama curiga, apalagi Mas Erik sudah menyodorkan piring di depan ku. Aku terpaksa mengambilkan nasi untuk Mas Erik. Tentunya tanpa menunjukkan ekspresi kesal karna saat ini Mama sedang senyum-senyum memperhatikan kami. Entah apa yang Mama pikirkan tentang rumah tangga ku dengan Mas Erik.
"Tolong sekalian ambilkan lauknya ya,," Pintanya dengan wajah tanpa dosa, saat aku menyodorkan piringnya yang sudah berisi nasi.
Aku melotot sekilas, sedangkan Mas Erik malah tersenyum sok manis sembari mengusap kepalaku. "Terimakasih ya,," Ucapnya.
Rasanya benar-benar menjengkelkan. Untung saja ada Mama. Jika tidak, aku pastikan ada sendok yang akan melayang di tangannya karna berani mengusap kepalaku.
Mama terkekeh pelan, dan itu membuatku menatapnya penasaran. Entah apa yang membuat Mama tertawa.
"Kalian ini romantis sekali. Mama jadi ingat waktu muda. Dulu awal-awal menikah juga seperti ini, tapi makin tua malah makin romantis." Ujarnya.
Ternyata Mama melihat kami sebagai pasangan suami istri yang romantis. Padahal kenyatannya tidak begitu.
"Makin romantis atau makin lebay? Kalian sering bermesraan di rumah tidak ingat tempat dan situasi. Kasian Erina, matanya ternodai." Seloroh Mas Erik.
Seketika wajah Mama bersemu merah dan menundukkan pandangan. "Kamu jangan bicara sembarangan di depan Bulan, Mama kan jadi malu!" Tegurnya.
"Sudah, sudah! Cepat makan!" Seru Mama dan buru-buru menyendokan nasi dan lauk ke dalam piringnya. Mama tidak berani lagi mengangkat wajahnya, sementara itu Mas Erik malam curi-curi kesempatan. Dia terus menatapku dan membuatku risih.
"Berhenti menatapku!" Tegur ku pelan, bahkan nyaris tanpa suara. Tapi aku yakin Mas Erik paham dan bisa menebak dari gerakan bibirku.
"Maafin aku dulu." Bisiknya. Sontak aku reflek mendorong bahu Mas Erik karna tiba-tiba menempel padamu.
"Kalian kenapa?" Mama tampak terkejut, dia mendengar suara-suara gaduh saat aku mendorong kencang bahu Mas Erik sambil menimbulkan suara decitan dari kursi.
"Bulan ingin cepat-cepat kembali ke kamar Mah, katanya lelah." Jawab Mas Erik sembarangan.
"Eh,, mana ada. Aku tidak bilang begitu Mah, Mas Erik hanya mengarang." Ralatku sembari menginjak kaki Mas Erik di bawah sana. Mas Erik hanya membulatkan mata, ini mungkin tidak terlalu sakit karna aku belum menginjaknya kuat-kuat.
Respon Mama yang senyum-senyum membuat perasan ku tidak enak.
"Ah itu sudah biasa. Mama juga dulu pernah muda dan menikmati waktu berdua sebelum punya anak." Ujarnya.
Rupanya Mama berfikir aneh-aneh. Aku tidak habis pikir kenapa sejak tadi Mas Erik selalu bertingkah dan membuat Mama salah paham yang tidak-tidak.
Terlanjur kesal, aku segera menginjak kakinya lebih keras.
"Aduhh,, sakit sayang. Kenapa harus mencubit paha." Mas Erik megang tangan kananku seolah baru saja aku gunakan untuk mencubit paha seperti yang dia bilang.
"Iya,,iya Mama paham. Ya sudah cepat habiskan makanannya lalu kembali ke kamar." Ujar Mama sembari senyum-senyum.
Niat hati ingin memberi Mas Erik pelajaran, aku malah dibuat malu dan tidak berani melakukan apa-apa lagi selain fokus menghabiskan makanan.
...*****...
"Bulan, kamu marah?"
Aku melipat sajadah tanpa menggubris ucapan Mas Erik. Sejak masuk ke dalam kamar setelah makan malam, Mas Erik berusaha mengajakku bicara. Aku yang terlanjur kesal, rasanya malah menanggapi.
"Aku mengajak kamu bicara, tapi tidak direspon. Aku pikir dengan cara tadi kamu mau bicara dengan ku." Ujarnya.
"Bukannya sejak awal menikah kita sudah sering bicara." Sahutku.
"Bulan, kamu pasti tau bukan itu maksudku." Mas Erik berdiri menghalangi jalan ku.
Aku memilih pura-pura bodoh. "Tidak. Sebenarnya aku juga tidak mau tau apapun yang ingin Mas Erik bicarakan."
"Kenapa?" Tanyanya. Mas Erik maju satu langkah dan membuatku reflek mundur. Bukannya berhenti setelah melihatku mundur, Mas Erik kembali maju dan membuatku tersudut di dinding.
"Mas Erik apa-apaan! Sana minggir!" Aku mendorong bahunya, namun tidak membuat Mas Erik bergeser sedikitpun. Dia malah semakin mengurung ku dengan kedua tangan dikedua sisi ku.
"Mau bicara baik-baik atau mau pakai cara lain?"
Wajah Mas Erik semakin mendekat. Sepertinya dia menawarkan diri untuk aku injak lagi kakinya karna berbuat macam-macam.
Detik itu juga, aku menginjak kaki Mas Erik.
"Awww,,!! Bulan, kamu benar-benar." Mas Erik memegangi kakinya, aku menggunakan kesempatan itu untuk kabur.
"Mas Erik sendiri yang menawarkan diri untuk di injak, jangan salahkan aku." Aku bergegas naik ke atas ranjang. Sementara itu, Mas Erik masih berdiri di tempat sambil memegangi kakinya.
"Bulan, tolong ambilkan tisu. Kaki ku berdarah." Lirihnya. Aku perhatikan, Mas Erik jalan tertatih dan duduk di kursi dekat pintu balkon.
Aku menatapnya curiga. Bisa jadi itu modus baru untuk menahanku seperti tadi. Rasanya tidak mungkin kalau kakinya berdarah hanya karna aku injak dengan kaki kosong, tanpa alas kaki.
"Sudahlah, Mas Erik jangan pura-pura. Aku tidak terlalu keras menginjaknya."
"Kamu lihat dulu sebelum berkomentar. Untuk apa aku bohong."
Dengan malas, aku beranjak dari ranjang dan meraih tisu di atas meja rias. Kalau sampai Mas Erik bohong, aku pastikan tisu ini akan melayang di tubuhnya.
"Ehh,, kenapa bisa begitu?" Aku terkejut melihat banyak darah di kaki Mas Erik.
"Mana tisunya." Mas Erik ingin mengambil tisu dari tanganku, tapi karna aku merasa bersalah, terpaksa aku berjongkok dan membersihkan darah di kakinya.
"Sebentar aku ambil hansaplast dulu."
"Tidak usah, aku cuma mau kamu duduk disini dan bicara baik-baik." Mas Erik menahan ku dan secepat kilat menarik tanganku hingga aku pindah ke pangkuannya.
"Mas! Kamu,,," Mas Erik membungkam mulutku dengan tangannya.
"Bulan, aku serius ingin minta maaf."
gᥲ⍴ᥲ⍴ᥲ ᥣᥲᥒ mᥲkіᥒ һᥲrі mᥲkіᥒ ᥱᥒᥲk k᥆kk 😁🤭 ძ᥆ᥲkᥙ sᥱm᥆gᥲ kᥲᥣіᥲᥒ ᥴᥱ⍴ᥲ𝗍 ძі kᥲsіһ m᥆m᥆ᥒgᥲᥒ ᥡᥲ.. ᥲᥲmііᥒ