Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya ia menunjukkan siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 : Acara Bulanan
Hari-hari berlalu dengan cepat hingga memasuki minggu ketiga. Pada pagi itu, suasana di kelas 1-D terasa berbeda ketika Instruktur Edward berdiri di depan kelas dengan sikap lebih formal dari biasanya. Ia menatap seluruh siswa dengan serius sebelum mulai berbicara.
"Baik, dengarkan semuanya. Untuk satu minggu ke depan, kita akan fokus belajar di lapangan," ucapnya dengan nada tegas, memancing perhatian seluruh siswa.
"Kenapa tiba-tiba di lapangan, Instruktur?" salah seorang siswa bertanya dengan penasaran.
Instruktur Edward tersenyum tipis, lalu melanjutkan, "Karena di akhir bulan nanti akan diadakan Pertandingan Antar Kelas, sebuah tradisi bulanan di Akademi Astralis. Ini adalah kesempatan bagi setIap kelas untuk membuktikan kekuatan dan kemampuan mereka."
Mendengar hal itu, suara bisik-bisik mulai memenuhi ruangan. Banyak siswa yang terlihat bersemangat, sementara sebagian lainnya tampak gugup.
Viana mengangkat tangannya, lalu berdiri. "Instruktur!" serunya dengan nada percaya diri.
"Ya, Viana. Ada yang ingin kau tanyakan?" Edward mempersilakan dengan anggukan kecil.
"Bagaimana aturan pertandingan itu?" tanyanya dengan nada penuh perhatian, jelas ingin memastikan semua informasi.
Instruktur Edward menjelaskan dengan detail, "Pertandingan ini adalah pertarungan tim. Setiap kelas akan memilih lima siswa terbaik untuk menjadi perwakilan mereka. Perwakilan ini akan saling bertarung dengan sistem eliminasi hingga satu kelas dinyatakan sebagai pemenang. Selain kehormatan, akan ada hadiah istimewa untuk kelas yang memenangkan pertandingan."
Bisik-bisik di kelas semakin ramai. Beberapa siswa mulai mendiskusikan siapa yang akan menjadi perwakilan kelas mereka. Sebagian besar tatapan tertuju pada Viana, yang selama ini dikenal sebagai salah satu murid terbaik.
"Viana-sama pasti salah satu perwakilan," gumam seorang siswa di barisan belakang.
"Sudah jelas. Tapi siapa empat orang lainnya?" tanya siswa lain dengan nada penasaran.
Sementara itu, Ferisu, yang duduk di sudut dengan mata setengah tertutup, tampak tak peduli. Ia hanya bersandar di kursinya sambil menguap pelan. Erica, yang duduk di sebelahnya, melirik Ferisu dengan ekspresi tak percaya.
"Jangan bilang kau akan menghindar lagi dari hal seperti ini," bisik Erica dengan nada sindiran.
Ferisu hanya mengangkat bahu santai. "Tentu saja. Aku tak tertarik dengan hal semacam ini," jawabnya malas.
Namun, tanpa sepengetahuan Ferisu, tatapan Viana sempat tertuju padanya selama beberapa detik, penuh dengan rasa penasaran. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang ingin membuktikan bahwa Ferisu lebih dari sekadar "Pangeran Sampah" seperti yang sering dibicarakan.
...----------------...
Latihan berlangsung dengan intensitas tinggi hingga memasuki hari keempat. Pada hari itu, Instruktur Edward berdiri di depan kelas dengan wajah serius, mengumumkan lima siswa yang akan menjadi perwakilan kelas 1-D dalam Pertandingan Antar Kelas.
"Setelah mempertimbangkan kemampuan dan hasil latihan kalian selama ini, berikut adalah lima siswa yang akan mewakili kelas kita," ucap Edward tegas.
Pertama, Viana Voltaire. Tak ada yang terkejut dengan nama itu. Dengan kemampuan luar biasanya dalam menguasai dua atribut sihir, air dan petir, serta kontrak dengan dua roh kuat—Thunder Bird dan Jormungar, Viana adalah kandidat terbaik. Bahkan, banyak yang mengatakan bahwa kemampuannya setara dengan siswa tahun ketiga.
Kedua, Erica Valcrest. Sebagai salah satu siswa paling berbakat, Erica dikenal karena pengendalian elemen airnya yang telah ia tingkatkan menjadi es. Dengan dua roh kontrak yang sangat loyal padanya, Erica adalah kekuatan tak terbantahkan di kelas.
Ketiga, Licia Elvengarden. Sebagai elf, Licia memiliki hubungan istimewa dengan roh, dan ia berhasil menjalin kontrak dengan roh angin tingkat tinggi. Teknik dan pengendaliannya yang elegan menjadi aset besar bagi tim.
Keempat, Markus Grimwald. Satu-satunya perwakilan laki-laki dari kelas 1-D. Markus adalah seorang pengguna pedang sihir yang memiliki roh kontrak dengan atribut api, Salamander. Kombinasi kecepatan dan kekuatan membuatnya menjadi petarung garis depan yang tangguh.
Kelima, Selena Frost. Gadis ini adalah spesialis sihir berbasis es dengan roh kontrak berbentuk burung salju. Kecepatan merapal mantra dan kemampuannya dalam merancang strategi menjadikannya salah satu anggota tim yang paling serba bisa.
Instruktur Edward memandang para siswa yang terpilih. "Kalian berlima akan menerima pelatihan khusus selama dua hari ke depan. Gunakan waktu ini sebaik mungkin untuk mengasah kemampuan kalian."
Suasana di kelas menjadi ramai dengan bisik-bisik. Sebagian besar siswa terlihat antusias membicarakan para perwakilan, sementara yang lain tampak iri karena tak terpilih.
Namun, di pojok kelas, Ferisu tampak sama sekali tidak terpengaruh. Ia bersandar di kursinya dengan tatapan bosan, seperti tidak peduli dengan semua yang terjadi.
"Dan bagaimana dengan Ferisu-sama?" salah seorang siswa berbisik dengan nada mengejek.
"Dia? Seperti biasa, tentu saja. Duduk di pinggir dan menonton tanpa melakukan apa-apa," jawab siswa lain dengan tawa kecil.
Sementara itu, Erica yang duduk di dekat Ferisu hanya meliriknya sekilas, lalu menghela napas. "Dia benar-benar tidak berubah."
Namun, Licia tampak lebih tenang. "Dia selalu seperti itu, tapi aku yakin... ada alasan di balik semua ini," gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Hari itu pun berlalu. Kelima perwakilan memulai latihan intensif, sementara Ferisu tetap berada di pinggir lapangan, duduk di bawah pohon dan tampak tak peduli. Meski demikian, sorot matanya sesekali memperhatikan latihan mereka dengan saksama—sesuatu yang tidak luput dari perhatian Erica.
"Apa yang sebenarnya dia pikirkan?" Erica bergumam pelan, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
.
.
.
Hari pertandingan bulanan yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Suasana di Akademi Kerajaan begitu semarak, dengan para murid dari berbagai tingkatan berbondong-bondong menuju arena besar di pusat kawasan akademi. Sorak-sorai dan bisikan antusias terdengar di mana-mana, membangun atmosfer penuh semangat dan persaingan.
Arena tersebut dirancang dengan megah, menyerupai koloseum besar dengan kursi-kursi melingkar mengelilingi lapangan utama. Sembilan puluh murid yang terpilih sebagai perwakilan dari delapan belas kelas telah berkumpul, masing-masing terdiri dari lima orang dalam satu tim.
Kepala Akademi, seorang pria tua dengan jubah sihir berwarna emas, berdiri di podium pusat. Suaranya yang kuat bergema di seluruh arena melalui alat sihir pengeras suara.
"Selamat datang, siswa-siswa Akademi Kerajaan, di pertandingan bulanan kita! Ini adalah kesempatan bagi kalian untuk menunjukkan kemampuan, kerja sama, dan strategi tim. Dalam pertandingan ini, bukan hanya kekuatan individu yang diuji, tetapi juga kemampuan kalian untuk bekerja sebagai satu kesatuan."
Sorakan menggema dari tribun, menambah semangat para peserta.
"Seperti yang kalian ketahui," lanjut Kepala Akademi, "pertandingan ini akan dilakukan dalam format team battle. Setiap tim terdiri dari lima perwakilan kelas, dan mereka akan berhadapan dengan tim dari kelas lainnya. Kelas yang mampu menunjukkan kerja sama terbaik dan memenangkan paling banyak pertandingan akan dinobatkan sebagai juara bulan ini!"
Setelah pengumuman selesai, masing-masing tim diperkenalkan berdasarkan kelas dan tahun ajarannya.
"Perwakilan dari kelas 1-D: Viana Voltaire, Erica Valcrest, Licia Elvengarden, Markus Grimwald, dan Selena Frost!"
Sorakan bergemuruh dari tribun kelas 1-D. Nama-nama itu memang sudah dikenal luas di kalangan siswa, terutama Viana dan Erica yang dianggap sebagai siswa paling berbakat di tahun ajaran mereka.
Di salah satu sudut arena, Ferisu duduk santai di kursi penonton bersama beberapa siswa lain yang tidak ikut bertanding. Wajahnya tampak biasa saja, tanpa ekspresi antusias.
"Aku heran kenapa dia tidak terpilih," salah satu siswa berbisik.
"Dia? Tidak mungkin. Pangeran Pemalas tidak punya tempat dalam pertandingan seperti ini," jawab siswa lain dengan nada mengejek.
Sementara itu, Erica dan Licia, yang berdiri di atas panggung bersama rekan-rekan mereka, sesekali melirik ke arah Ferisu. Mereka tahu bahwa di balik sikap santainya, Ferisu bukanlah orang yang bisa diremehkan. Namun, bahkan mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ia rencanakan.
Pertandingan segera dimulai, dan arena memancarkan cahaya sihir, membagi lapangan menjadi beberapa zona kecil untuk mengakomodasi pertandingan yang berlangsung secara bersamaan.
Di zona mereka, tim kelas 1-D berdiri berhadapan dengan tim kelas 1-B, yang dikenal memiliki anggota-anggota yang tangguh, termasuk seorang siswa dengan roh kontrak tingkat tinggi.
"Pertandingan pertama, kelas 1-D melawan kelas 1-B!" suara wasit menggema, membuat para penonton bersorak riuh.
"Ini waktunya kita menunjukkan kehebatan kelas kita," kata Viana sambil menggenggam pedangnya dengan percaya diri.
"Jangan gegabah," Erica memperingatkan, suaranya dingin namun penuh keyakinan. "Kerja sama adalah kunci di sini."
Licia mengangguk pelan, siap dengan mantra pendukungnya, sementara Markus dan Selena berdiri di belakang, sudah Menyusun strategi.
"Mulai!" aba-aba wasit memecah ketegangan, dan pertandingan pun dimulai.
Di tribun, Ferisu menyaksikan dengan ekspresi datar, tetapi matanya mengamati setiap gerakan timnya dengan cermat. Ada kilatan tajam yang hampir tak terlihat di balik sikap acuhnya.