Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sindiran
...••••...
Setelah memindahkan barang-barangnya yang tidak seberapa ke rumah yang akan ditinggalinya, Echa kini tengah membereskan barang-barang itu ketempatanya yang sudah Pram siapkan sebelumnya.
Meskipun hanya sedikit tapi tetap saja hal itu menguras tenaganya.
Mengingat Echa tidak ingin dibantu asisten rumah tangganya meskipun Pram sudah beberapa kali berkata agar Echa tidak bekerja sendiri.
Tapi Echa paling tidak bisa jika barang-barang pribadinya disentuh oleh orang lain. Jadi mana bisa dia membiarkan orang lain menolongnya.
Sekalipun itu orang terdekatnya, Echa paling tidak bisa jika sudah sentuh sentuh seperti itu.
Pernikahannya bersama Pram sudah berjalan empat hari, dan baru hari ini Echa pindah ke rumah besar yang terakhir kali dia datangi ketika pulang dari mendaki. Setelah sebelumnya keduanya tinggal di apartemen sempit milik Echa.
Rumah yang baru dia ketahui jika Pram sengaja membelinya sebagai hadiah pernikahan untuk untuknya.
Padahal rumah yang sebelumnya juga Pram sudah punya tapi pria itu berkata jika dia ingin mendapatkan suasana yang baru bagi keduanya.
Tapi ya sudahlah, Echa tidak bisa melarang. Toh yang dipakai juga uangnya Pram.
"Baby," Echa yang tengah memasukkan baju ke dalam lemari tersentak ketika Pram memeluknya dari belakang. Echa tidak menyadari kedatangan pria itu.
"Kenapa sudah pulang?" Echa melepaskan tangan Pram dari perutnya dan membalikkan badannya untuk menatap sang suami dengan sepenuhnya.
"Kamu tidak senang kalau saya sudah pulang?" tangan Pram kembali menyelinap di pinggang Echa.
"Mas tahu bukan itu maksud aku." Echa memukul tangan Pram yang mulai merambat naik. Karena kalau dibiarkan Echa tidak bisa menjamin tindakan yang akan Pram lakukan padanya.
"Saya ingin melihat wajah kamu."
"Aneh, kan dari pagi udah ketemu," memang pada dasarnya Echa ini bukan orang yang romantis hingga membuatnya cukup sulit menerima kata-kata seperti itu.
Dan alih-alih tersipu, yang ada Echa malah keheranan.
"Kamu ini," Pram segera memagut bibir Echa sebelum istrinya itu kembali berbicara.
Sudah Pram katakan bukan jika dia begitu merindukan bibir istrinya yang begitu candu dan memabukkan ini.
"Mas ih," Echa memukul bahu Pram setelah lima menit berlalu bibirnya dieksploitasi.
Sungguh, Pram itu seperti vacum cleaner.
Bisa-bisanya bibir Echa lama kelamaan akan semakin tebal dibuatnya.
Untung saja malam dimana hari pernikahannya Echa kedatangan tamu bulanannya hingga kegiatan itu belum terjadi. Echa juga amat bersyukur karenanya.
Jujur saja, Echa belum siap untuk melakukan hal wajib bagi sepasang suami istri itu.
Dengan hanya membayangkannya saja membuat Echa bergidik ngeri.
Apalagi sebelumnya teman-temannya yang berkata dengan jelas jika malam pertama itu begitu sakit dan rasanya kaya hampir meninggal.
Meskipun kenyataannya Echa tidak tahu karena belum pernah merasakannya.
"Belum selesai?" tatapan Pram yang terlihat sayu membuat Echa meneguk ludahnya dengan kasar.
"Sedikit lagi, makannya mas awas dulu aku mau selesain," meskipun Echa tahu jika bukan jawaban itu yang ingin Pram dengar.
Tapi untungnya suaminya itu tidak berkata lebih lanjut lagi. Pram keluar dari area walk in closet setelah mengecup bibir Echa beberapa kali. Pram tidak bisa menjamin dengan apa yang akan dilakukannya jika tidak cepat-cepat pergi.
Echa kembali meneruskan kegiatannya yang sempat terganggu.
Keluar dari area walk in closet, Echa tidak mendapati keberadaan Pram di manapun pada area kamar.
Echa keluar dan berjalan menuju ruangan yang kemungkinan besar Pram ada disana. Echa akan menanyakan menu makanan yang akan pria itu makan malam ini.
Setelah mengetuk pintu dan Pram mempersilahkannya masuk, Echa membuka pintu dan masuk kedalam ruang kerja Pram yang tidak kalah luasnya dari kamar mereka.
Ruangan yang didominasi berwarna gelap itu memang sangat nyaman untuk memfokuskan pikiran pada kerjaan tengah dilakukan.
Mungkin jika Echa memilih pekerjaan dia juga akan betah di ruangan ini.
"Ada apa baby?" Echa berjalan menghampiri Pram dan duduk di sofa yang berada di sudut ruangan.
"Mas mau dimasakin apa hari ini?"
"Kamu tidak perlu repot-repot memasak, sudah ada koki yang melakukannya." Tolak Pram dengan halus, untuk apa dia mengeluarkan uang yang tidak sedikit pada privat chef jika istrinya itu tetap memasak.
"Iyakah?"
"Iya baby, kamu tidak perlu repot-repot."
Echa hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Kalau seperti itu kenyataannya Echa terima saja. Toh kalau seperti itu dirinya jadi tidak akan mengeluarkan tenaga.
Pram sendiri memang tidak ingin membuat Echa terbebani dalam hal-hal seperti itu. Karena tujuan Pram menikahi Echa bukan untuk menjadikannya sebagai asisten rumah tangga.
Pram justru ingin memperlakukan sang istri layaknya seorang ratu.
Pram ingin menebus setiap waktu yang Echa habiskan dalam penderitaan oleh keluarnya sendiri. Pram ingin menebus setiap waktu yang dia tidak hiraukan sebelumnya itu dengan penuh effort.
Selagi Pram berkerja didepan laptopnya, Echa sendiri memilih untuk membaca sebuah buku yang dia ambil secara acak dari rak buku milik Pram.
Jangan harap ada buku cerita semacam itu. Karena nyatanya semua buku milik Pram itu tidak jauh dari yang namanya bisnis juga hukum.
Menyerah, Echa tidak bisa melanjutkan bacaannya ketika kepalanya sudah pusing karena tidak ada sedikitpun yang masuk di kepalanya.
"Mas udah kerjanya, ini kan sudah di rumah." Menurut Echa, jika sudah seharian penuh bekerja jadi ketika sudah pulang ke rumah bukankah akan lebih baik jika stereotipnya itu terencana.
"Iya baby, maaf ini saya sudah selesai." Setelah beberapa saat entah melakukan apa dengan laptopnya, Pram beranjak dari kursinya dan berjalan menghampiri sang istri yang asik melamun.
"Hei, jangan melamun." Pram mengelus kepala Echa yang langsung memandang kearahnya.
"Abisnya mas sendiri sibuk sama kerajaannya." Ujar Echa yang terselip sindiran.
Pram hanya tersenyum tipis melihat Echa yang merajuk. Sungguh, mengapa istrinya itu begitu menggemaskan. Andai saja tamu bulanan itu tidak datang, sudah pasti Pram akan menghabisinya sampai habis-habisan.
Ah, hanya dengan membayangkan saja pun membuat bagian antara kedua kakinya mengeras.
...••••...