Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Jangan Menikahinya
Pagi yang suram menyambut Bimo ketika mobilnya melintasi jalan menuju rumah besar keluarga Raharja.
Bangunan itu berdiri megah, dikelilingi taman yang luas dengan pohon-pohon tua yang rindang.
Namun, rasa berat di hatinya membuat tempat itu terasa dingin dan mencekam.
Ia tidak hanya khawatir tentang kondisi Eyang Putri, tetapi juga tentang percakapan yang akan terjadi.
Setelah memarkir mobilnya, ia melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah berat.
Pelayan keluarga menyambutnya dengan hormat, tapiwajah mereka terlihat cemas.
“Tuan Bimo, Nyonya besar sedang menunggu Anda di ruang keluarga,” ujar salah satu pelayan dengan suara pelan.
Bimo mengangguk, lalu berjalan menuju ruang keluarga.
Di sana, ia menemukan ibunya duduk di sofa, sementara Eyang Putri terbaring di kursi panjang dengan selimut menutupi tubuhnya.
Wajah perempuan tua itu pucat, tapi matanya masih tajam, penuh wibawa.
“Bimo,” suara ibunya terdengar dingin.
“Kenapa kamu begitu ceroboh? Bagaimana bisa kamu menikah tanpa memberitahu keluarga?”
Bimo menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Bu, Eyang... aku tahu ini mengejutkan, tapi aku punya alasan. Aku mencintai Naura. Lagi pula bukankah Ayah dan dua sepupuku sudah mewakili keluarga waktu itu?”
“Mencintai?” Eyang Putri yang awalnya diam kini membuka suara.
Meski tubuhnya terlihat lemah, nada bicaranya penuh penekanan.
“Cinta itu tidak cukup, Bimo. Apalagi jika cintamu menghancurkan kehormatan keluarga ini,” katanya penuh emosi.
Bimo menatap neneknya dengan penuh rasa bersalah.
“Eyang, aku tidak berniat menghancurkan apa pun. Aku hanya ingin hidup dengan orang yang aku cintai,” ungkap Bimo berusaha jujur.
Eyang Putri mendengus, lalu duduk dengan susah payah.
“Kamu pikir hidup hanya tentang cinta? Kamu lupa bahwa kamu adalah seorang Raharja? Keluarga kita memiliki nama besar yang harus dijaga.”
Bimo meremas tangannya, merasa terpojok.
“Naura bukan orang jahat, Eyang. Dia perempuan baik yang hanya ingin hidup sederhana bersamaku,” kilah Bimo mencoba membela Naura.
“Sederhana?” nada suara Eyang Putri meninggi.
“Kamu membawa perempuan itu ke dalam keluarga ini tanpa memikirkan akibatnya! Dia tidak pantas untukmu, Bimo. Dia tidak tahu apa-apa tentang dunia kita.”
Bimo terdiam, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dalam dirinya. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak menyangka neneknya akan sekeras ini.
“Eyang,” katanya dengan suara yang lebih tegas.
“Aku sudah memutuskan. Naura adalah istriku, dan aku akan menikahinya secara sah. Tidak ada yang bisa mengubah itu.”
Namun, reaksi neneknya membuatnya terkejut.
Mata perempuan tua itu membelalak, dan suaranya bergetar dengan emosi yang tak terkendali.
“Kalau kamu tetap menikahi perempuan itu, aku... aku akan mengakhiri hidupku sendiri!”
Bimo tersentak, tubuhnya terasa membeku.
“Eyang, jangan berkata seperti itu!” serunya.
Ibunya yang sejak tadi diam kini ikut berbicara.
“Kamu lihat apa yang kamu lakukan, Bimo? Kamu membuat Eyang sampai berpikir seperti ini! Apa kamu tidak merasa bersalah?”
Bimo memandang neneknya dengan tatapan penuh rasa sakit.
“Eyang, tolong jangan lakukan itu. Aku tidak ingin kehilangan Eyang hanya karena ini.”
“Kalau begitu, tinggalkan perempuan itu!” Eyang Putri berseru.
“Kamu punya tanggung jawab kepada keluarga ini, Bimo. Kamu tidak bisa hidup sesukamu!”
Bimo menggenggam kedua tangannya erat-erat, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.
Ia tahu ia harus membuat keputusan, tetapi keputusan itu terasa seperti duri yang menusuk hatinya.
Setelah percakapan itu, Bimo berjalan keluar dari ruang keluarga dengan langkah gontai.
Kepalanya terasa berat, dan hatinya penuh dengan rasa bersalah.
Ia tahu cintanya kepada Naura adalah hal yang benar, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan rasa hormatnya kepada neneknya.
Di luar, ia duduk di teras sambil memandang taman yang luas. Bayangan wajah Naura terlintas di pikirannya, membuat hatinya terasa semakin hancur.
“Mas Bimo,” suara lembut pelayan memanggilnya.
“Nyonya besar meminta Anda untuk tetap tinggal malam ini.”
Bimo mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia tahu ibunya dan neneknya tidak akan membiarkannya pergi begitu saja tanpa memastikan ia benar-benar mengerti pesan mereka.
Saat malam tiba, Bimo berbaring di kamar tamunya dengan pikiran yang terus berputar.
Ia memikirkan apa yang akan ia katakan kepada Naura. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini tanpa menyakiti gadis itu?
Di apartemen, Naura duduk sendirian di ruang tamu.
Ia mencoba menghubungi Bimo beberapa kali, tetapi teleponnya tidak dijawab. Hati kecilnya mulai merasa gelisah.
Apakah Bimo baik-baik saja? Apakah keluarganya menerima kehadirannya?
Keesokan paginya, Bimo akhirnya meninggalkan rumah keluarganya dengan hati yang penuh beban.
Ia tahu pertemuannya dengan Naura akan menjadi momen yang sulit.
Ketika ia tiba di apartemen, Naura langsung menyambutnya dengan senyum lega.
“Mas, aku khawatir sekali. Kamu tidak menjawab teleponku.”
Bimo mencoba tersenyum, tetapi senyumnya terasa dipaksakan.
“Maaf, Sayang. Aku tidak sempat.”
Naura memandangnya dengan penuh perhatian.
“Ada apa? Kamu terlihat sangat lelah.”
Bimo menghela napas panjang, lalu memegang tangan Naura.
“Kita harus bicara, Naura,” katanya, suaranya terdengar samar.
Nada suaranya membuat senyuman di wajah Naura menghilang. Hatinya mulai diliputi ketakutan.
“Ada apa, Mas?” tanya Naura dengan raut cemas.
Bimo menatap gadis itu dengan mata yang penuh rasa bersalah.
“Keluargaku... mereka tidak setuju dengan pernikahan kita. Eyangku sangat marah, bahkan sampai jatuh sakit.”
Naura terdiam, tubuhnya terasa kaku.
“Aku... aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Aku akan berjuang untuk kita, Naura,” kata Bimo dengan tegas.
“Tapi ini tidak akan mudah. Eyangku mengancam akan melakukan hal yang buruk pada dirinya sendiri jika aku tetap menikahimu.”
Air mata mulai menggenang di mata Naura. Ia tidak pernah membayangkan cintanya kepada Bimo akan membawa begitu banyak penderitaan.
“Mas, kalau semua ini terlalu berat untukmu, aku...” suaranya tercekat, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.
“Jangan, Naura,” potong Bimo. “Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku. Kita akan melewati ini bersama.
Namun, meski Bimo mencoba meyakinkan Naura, ia sendiri tidak yakin apakah ia mampu menghadapi tekanan ini.
Bayangan neneknya, ibunya, dan semua tanggung jawab yang menghimpitnya terus menghantui pikirannya.
Di malam yang sunyi itu, Naura duduk di ruang tamu sambil memandang keluar jendela.
Bimo sudah tertidur di kamar, tetapi Naura tidak bisa memejamkan matanya. Ia memikirkan semua yang telah terjadi, semua yang mungkin akan terjadi.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ini? Ataukah mereka hanya akan terluka lebih dalam seiring berjalannya waktu?
Di dalam kamar, Bimo juga tidak benar-benar tidur. Ia menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang terus berputar.
Ia mencintai Naura, tetapi ia juga mencintai keluarganya. Dan sekarang, ia merasa seperti harus memilih antara dua hal yang sama-sama penting baginya.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan