Erlangga Putra Prasetyo, seorang pemuda tampan dengan sejuta pesona. Wanita mana yang tidak jatuh cinta pada ketampanan dan budi pekertinya yang luhur. Namun di antara beberapa wanita yang dekat dengannya, hanya satu wanita yang dapat menggetarkan hatinya.
Rifka Zakiya Abraham, seorang perempuan yang cantik dengan ciri khas bulu matanya yang lentik serta senyumnya yang manja. Namun sayang senyum itu sangat sulit untuk dinikmati bagi orang yang baru bertemu dengannya.
Aira Fadilah, seorang gadis desa yang manis dan menawan. Ia merupakan teman kecil Erlangga. Ia diam-diam menyimpan rasa kepada Erlangga.
Qonita Andini, gadis ini disinyalir akan menjadi pendamping hidup Erlangga.Mereka dijodohkan oleh kedua orang tuanya.
Siapakah yang akan menjadi tambatan hati Erlangga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masakan Erlangga
Keesokan harinya.
Erlangga bangun dari tidurnya. Semalam ia tidak bisa tidur karena posisi tidurnya yang tidak seperti biasanya. Ia baru bisa tidur jam 2 dini hari. Saat ini sudah jam 4.30. Erlangga bangun dan merenggangkan otot-ototnya. Terutama lehernya yang pegal. Setelah itu, ia pergi ke kamar musholla untuk shalat Shubuh.
Selesai shalat, Erlangga menikmati sejuknya udara pagi di parkiran. Ia berlari-lari kecil di halaman puskesmas. Dirinya tidak sadar sedang menjadi perhatian beberapa orang di ruang karyawan puskesmas. Mereka seperti melihat kesejukan saat melihat Erlangga.
"Ya ampun ganteng banget jodoh orang." Ujar salah satu perawat.
"Iya mbak, kalau tiap pagi lihat beginian kita pasti semangat kerjanya ya mbk."Sahut yang lainnya.
Pagi-pagi sudah ada yang menjajakan gorengan dan masuk ke area puskesmas. Penjual gorengan sudah berumur. Kalau dikira-kita usianya hampir sama dengan Nenek Erlangga. Erlangga tidak tega melihatnya.
"Gorengan leh... "
"Berapaan, Mbah?"
"Seribuan leh, murah."
"Coba sini Mbah, saya lihat dulu."
Erlangga membantu si mbah untuk menurunkan dagangannya dari kepala si mbah.
"Apa saja ini, Mbah?"
"Bala-bala sama pisang goreng."
"Mbah, kalau dibeli semua berapa?"
"Kamu ndak bercanda leh?"
"Ndak, Mbah. Salya mau beli semuanya."
"Ya Allah... alhamdulillah. Mbah hitung dulu ya."
Si mbah menghitung banyaknya dagangan yang dibawa.
"Semuanya 50 ribu, leh."
"Ya Allah hanya untuk uang 50 ribu si mbah harus berkeliling, itu pun kalau laku semua."
"Mbak kalau bikin gini untungnya berapa?"
"Ya paling 10 ribu leh. Tapi kalau pisangnya punya sendiri untungnya lebih banyak."
Erlangga membantu si mbah membungkus dagangannya. Tiba-tiba dia orang perawat datang ingin membeli.
"Habis, nduk. Diborong sama si toleh ini."
"Ini saya bagi untuk kalian. Saya tidak mungkin menghabiskan sendiri."
"Jangan, Mas." Tolaknya dengan malu-malu.
"Nggak pa-pa. Niatnya juga mau saya bagikan ke yang lain kok."
Erlangga memberikan dia kantong gorengan untuk mereka.
"Kalau begitu, Terima kasih mas."
"Iya, sama-sama."
Senyum Erlangga membuat mereka berdua lupa kalau sedang ada pasien yang baru saja masuk UGD. Mereka pun cepat-cepat masuk.
"Mbah, ini uangnya." Erlangga memberikan selembar yang ratusan ribu.
"Leh, mbah ndak bawa kembalian. "
"Untuk Mbah saja semua."
Lagi-lagi Mbah berterima kasih kepada Erlangga. Karena selain memborong dagangannya, si Mbah juga dapat uang kembalian.
Erlangga membawa masuk sisa gorengan. Ia memberikan dia kantong gorengan kepada keluarga pasien yang berada di kamar sebelah. Sisa satu kantong ia bawa ke dalam kamar. Lalu ia memakannya selagi masih hangat.
"Er, makan apa?"
"Nenek sudah bangun?"
"Iya, Er."
"Ini tadi Er beli gorengan. Enak, masih anget. Nenek mau?"
"Mau."
Erlangga membantu neneknya duduk. Dan menyuapi pisang goreng untuknya. Setelah selesai menyuapi Neneknya, kebetulan Aira datang. Aira memberikan kunci rumah nenek kepada Erlangga. Erlangga pun menitipkan Neneknya kepada Aira karena ia akan pulang sebentar.
Erlangga melakukan mobilnya ke rumah Nenek. Ia sangat senang bisa sampai di rumah itu kembali. Erlangga turun dari mobil. Ada seseorang yang memanggilnya.
"Erlangga.... "
Erlangga menoleh. Yang memanggilnya adalah seorang laki-laki menggendong anak kecil.
"Kak Iwan... "
"Tambah sip aja kamu, Er.... "
Mereka berjabat tangan ala anak muda.
"Kak Iwan ini anakmu?"
"Iya, ini anak yang kedua."
"Kak, Terima kasih sudah membawa Nenek ke puskesmas. Aku tidak tahu kalau sampai nenek telat dibawa."
"Jangan terlalu dipikirkan. Mbah Fatimah sudah aku anggap seperti mbahku sendiri."
"Kak, aku mau masuk dulu. Belum mandi soalnya. Nanti kita sambung lagi "
"Owalah iya, aku juga mau mandi ini. Mau berangkat kerja. Nanti kalau ada waktu ya."
"Iya kak. "
Iwan pun kembali ke rumahnya. Sedangkan Erlangga membuka pintu rumah lalu masuk ke dalam. Matanya langsung tertuju pada foto almarhumah Mamanya yang terpajang fi ruang tamu. Erlangga tersenyum getir melihatnya.
"Er sudah memaafkan Mama. Er berharap Allah mengampuni segala dosa Mama. Walau bagaimana pun Mama tetap ada di hati Er." Lirihnya.
Erlangga masuk ke kamarnya. Ia mengambil handuk dari dalam tasnya lalu pergi ke kamar mandi. Selesai mandi, Erlangga menyempatkan diri untuk shalat Dhuha. Setelah itu ia memakai celana pendek dan kais oblong agar lebih nyaman dalam berkegiatan hari ini. Erlangga pwrgi ke dapur untuk melihat sisa bahan pokok di dapur. Beras masih banyak. Ada telur dan juga mie instan. Erlangga membuka kulkas. Di dalam kulkas masih ada tahu dan tempe.
Erlangga pun berinisiatif untuk masak nasi menggunakan magic com. Sambil menunggu nasib matang, Erlangga memotong tempe dan tahu dengan ukuran kotak kecil lalu di girangnya. Setelah itu ua mengiris bawang untuk bumbu oseng tempe dan tahu. Ia bukan hanya pintar dalam bekerja, tapi ia juga mahir memasak. Meskipun masakannya cukup sederhana.
30 menit kemudian, semuanya sudah selesai. Erlangga menyiapkan nasi dan lauk ke dalam rantang. Lalu ia masukkan ke mobil, dan segera kembali ke puskesmas.
Tidak sampai lima menit ia sudah sampai di puskesmas. Tanpa gengsi, Erlangga menenteng rantang ke dalam. Ia tak perduli meski menjadi bahan perhatian orang.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
"Maaf, Er aga lama. Tadi masih masak. Lihat ini Er masak untuk kita, Nek."
Erlangga dengan bangga menunjukkan rantang yang dibawanya. Bu Fatimah dan Aira tersenyum melihatnya.
"Memangnya kamu masak apa, Er?"
"Nih ada orek tahu tempe, ada telur mata sapi. Sama ini ada sayur bayam."
"Mas Er jago masak juga ya." Puji Aira.
"Iya dong. Ayo kita makan dulu."
"Nenek sudah bisa menggerakkan tangan. Nenek mau makan sendiri, Er."
"Oke Nenekku sayang. Wah pasien ku ternyata cepat sekali ya pulihnya." Canda Erlangga.
Erlangga kembali ke mobil untuk mengambil tikar yang ia bawa dari rumah Neneknya agar ia bisa duduk enak di bawah.Ia menggelar tikar tersebut di bawah samping brangkar.
"Aira, ayo makan. "
"Ndak usah, Mas. Nanti Aira makan di rumah saja."
"Ayo makan saja. Apa perlu aku yang ambilkan?"
"Eh tidak usah, Mas. Ia Aira ambil sendiri."
"Nah begitu dong."
"Jangan memberiku perhatian seperti itu, Mas. Itu hanya akan membuatku berharap lebih. Meski sebenarnya itu biasa buatmu." Batin Aira.
Erlangga tidak tahu bahwa alasan Aira tidak makan bersama dengannya agar ia tidak terlalu banyak berharap. Karena Aira takut semakin ia dekat dengan Erlangga akan semakin sulit untuk mengubur rasa yang terpendam.
"Gimana masakan Er, Nek?"
"Enak.. jago juga kamu."
"Bunda yang ngajari biar Er tidak jajan terus di Jerman. Hehe... "
"MasyaAllah Bundamu itu memang panutan."
"Aira, ayo tambah lagi. "
"Iya mas. "
Bu Fatimah tersenyum melihat Erlangga dan Aira.
"Kalian itu cocok. Seandainya jodohmu Aira, Nenek pasti senang. Kamu pasti bakal sering sama Nenek, Er. Tapi Nenek hanya bisa mendo'akan yang terbaik untukmu, kalau pun itu bukan Aira." Batinnya.
Bersambung....
...****************...
lanjut
semangat untuk up date nya
semoga bahagia terus Erlangga dan Rifka