Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagelaran Tayub di Balai Desa
Bunyi gong ditabuh terdengar semakin kencang saat langkah kaki Priyo dan Fudin sudah mendekati balai desa Karang. Hutan bambu yang siang tadi terlihat suram malam ini malah tampak semarak dengan obor yang berjejer sepanjang jalan. Warna kuning kemerahan yang terang menerpa dedaunan menciptakan bayangan yang tampak bergerak kala api obor tertiup angin.
"Perasaan, dari villa tadi tidak terlihat ada nyala obor seperti ini Din," ucap Priyo mengedarkan pandangan. Dia takjub sekaligus bingung. Fudin masih tetap mengangkat handphone nya tinggi-tinggi, berusaha mencari sinyal.
"Ketutup sama rimbunnya bambu, jadi nggak kelihatan. Masalahnya disini tetap ndak ada sinyal Pri," sambung Fudin gusar.
Priyo mengumpat kesal karena Fudin masih tetap saja mengurusi perkara sinyal. Padahal Priyo ingin bersenang-senang di tempat pagelaran tayub. Dalam benaknya, Priyo yakin banyak penari dan penyanyi cantik yang akan menyambutnya.
Sampai di balai desa, suasana benar-benar riuh ramai. Gegap gempita orang-orang menari menggunakan selendang merah yang dikalungkan di leher para laki-laki. Sedangkan penari perempuan tampak menggunakan sanggul yang cukup besar. Semua menari berpasangan.
Kedatangan Priyo dan Fudin diabaikan warga. Semua orang terlalu asyik, larut dalam pesta. Tidak menghiraukan dua petugas kepolisian yang terlihat kikuk berdiri canggung di pelataran balai desa.
Salah satu penari bertubuh mungil melemparkan senyuman ke arah Priyo. Bibirnya yang merah merekah seperti buah ceri ranum membuat Priyo menelan ludah. Sang penari hanya mengenakan kemben jarit warna cokelat dengan bagian pinggangnya yang terlihat ramping. Saat melenggak-lenggok memutar badan tampak mulus bagian lengan hingga ketiaknya.
"Cik ayu nee." Priyo mengarahkan sikunya pada lengan Fudin. Menunjuk penari yang sedari tadi tampak tersenyum padanya. Namun Fudin mengabaikannya.
"Ajak kenalan. Siapa tahu jodoh. Aku mau jalan terus kesana ya. Kalau perlu keluar desa. Mau nyari sinyal," ucap Fudin sembari menunjuk jalanan di tengah hutan bambu yang gelap.
"Terserah kamu saja Din. Punya pacar galak aja kok dipelihara. Mending melihara sapi bisa kaya Din," sergah Priyo. Fudin menoyor kepala rekannya itu kemudian kembali melangkah pergi.
Langkah Fudin terhenti saat seorang kakek tua mengenakan udeng warna hitam pekat menghadangnya. Kakek berambut panjang dan penuh uban itu menatap Fudin dengan sorot mata tajam. Seolah menggambarkan kebencian. Cekungan matanya untuk sesaat membuat Fudin menelan ludah ketakutan.
"Mau kemana?" hardik kakek tua singkat.
Merasa diperlakukan tidak hormat, Fudin pun kesal. Biar bagaimanapun dirinya adalah petugas, apalagi saat ini dia mengenakan seragam lengkap. Bagaimana mungkin warga desa membentaknya? Meskipun yang melakukan adalah seorang kakek tua, ego dan arogansi Fudin menguasai hatinya. Apalagi suasana yang ramai membuat telinganya semakin panas. Darahnya mudah mendidih.
"Memangnya kenapa Pak Tua? Kamu mau menyingkir dari jalanku atau kulempar ke parit? Hah?" balas Fudin membentak. Dia mendekatkan wajahnya pada kakek tua. Meskipun samar, Fudin dapat menghirup aroma melati yang wangi.
Sialan, kakek setua ini memakai parfum. Apa dia pikir ada penari yang bakal tertarik pada mulutnya yang bau tembakau murahan? Batin Fudin menggerutu.
"Aku bukannya mau ikut mbeso, atau menari di tempat ini. Aku pimpinan pagelaran tayub," ujar Kakek tua tiba-tiba. Seolah menyahut suara hati Fudin.
"Hah?" Fudin mengernyitkan dahi.
"Anda mau kemana? Pesta baru saja dimulai. Kenapa tidak mencoba ikut menari?" Kakek tua mengulangi pertanyaannya tadi.
"Minggirlah Pak Tua. Jangan menggangguku!" bentak Fudin seraya mendorong bahu kakek tua. Namun anehnya, kakek tua itu tidak terpengaruh dorongan Fudin sama sekali. Jangankan terjatuh, mundur selangkah pun tidak.
Fudin yang sedikit bingung akhirnya berjalan melewati kakek tua. Fudin sedikit ragu jika perdebatan berubah menjadi perkelahian apakah dirinya bisa menang? Padahal Fudin tadi berniat menggertak dan menakut-nakuti dengan cara mendorong sekuat tenaga kakek tua itu, tapi ternyata saat ini malah dirinya yang kehilangan nyali.
Penari berwajah imut yang sedari tadi tersenyum pada Priyo, kini berjalan mendekati petugas berdahi lebar itu. Langkahnya yang melenggak -lenggok seperti macan luwe terlihat sangat menggoda. Pinggul dan pinggang dengan ukurannya yang pas di mata Priyo tentu menjadi daya tarik tersendiri.
"Mau nari Kang?" tanya penari, menyodorkan selendang sutra merah.
Priyo diam tertegun. Air liurnya nyaris menetes. Otaknya sudah kosong, seolah tubuh dipenuhi oleh feromon.
"Kang?" panggil penari.
Priyo terkesiap dan segera membungkuk. Penari mengalungkan selendang sutra merah di leher Priyo. Kemudian secara sukarela laki-laki itu digelandang ke tengah balai desa.
Suara gamelan bertalu-talu. Napas Priyo tak beraturan. Matanya tak bisa lepas dari bibir ranum penari di depannya.
"Bolehkah kita berkenalan?" tanya Priyo malu-malu. Penari mengangguk, melingkarkan kedua tangan di pinggang Priyo. Hal itu nyaris saja membuat Priyo mimisan.
"Aku Priyo. Aku seorang polisi. Karier ku bagus dan kurasa cukup untuk memenuhi kebutuhanmu nanti," ucap Priyo membanggakan dirinya. Penari tersenyum. Wajahnya merona, membuat Priyo melayang. Seolah minuman keras kalah memabukkan dibanding senyuman dari bibir ceri di hadapannya itu.
"Aku Lastri Kang. Pekerjaanku penari seperti ini. Apakah aku menarik bagimu?" tanya penari bernama Lastri itu.
"Tentu saja. Kamu cantik, manis, mungil, dan wangi. Aku belum pernah bertemu gadis sepertimu," balas Priyo menggebu-gebu. Dadanya berdebar, terasa sesak. Seolah jantungnya mau melompat keluar. Dalam hati Priyo bersyukur bertugas jaga villa malam ini, bisa bertemu kembang desa se cantik Lastri.
"Gadis? Darimana kamu yakin aku masih gadis?" goda Lastri.
"Hah? Memangnya kamu janda? Ah atau jangan-jangan masih bersuami. Maaf jika demikian. Di pekerjaan kami dilarang mengganggu pagar ayu orang lain," ujar Priyo mundur selangkah. Namun dengan gerakan yang cepat Lastri menarik lengan Priyo.
"Aku tidak sedang memiliki hubungan dengan siapapun," bisik Lastri. Priyo mengernyitkan dahi, bingung dengan tingkah perempuan di hadapannya itu.
"Ikut aku sebentar," ajak Lastri menarik lengan Priyo. Laki-laki itu terhipnotis menurut saja dengan ajakan Lastri. Priyo merasa aneh semua orang mengabaikannya. Padahal salah satu penari meninggalkan tempat acara, tapi dibiarkan begitu saja.
Lastri menggandeng lengan Priyo dan terus menariknya ke hutan bambu. Melewati pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi, mereka sampai di sebuah sungai yang tersembunyi di belakang rumpun bambu. Ada sebuah kolam yang terbentuk alami dengan warna airnya yang biru gelap.
"Untuk apa kita kesini?" tanya Priyo kebingungan.
Lastri tersenyum penuh arti. Dia melepaskan genggaman tangannya dari lengan Priyo. Kemudian berdiri di atas batu yang berukuran besar di tepian sungai. Seberkas cahaya rembulan berpendar suram menerpa tubuh sang penari. Dan Lastri kembali melanjutkan tariannya dengan gerakan yang gemulai.
Sanggul Lastri dilepaskan. Menunjukkan rambut hitam legam yang tergerai. Priyo tertegun kagum. Dia memandangi Lastri dari dekat. Dirinya merasa seperti Jaka Tarub yang melihat bidadari menari turun dari khayangan.
"Aku menyukai pria sepertimu Kang. Sejak tadi, pertama kali melihatmu. Apakah kamu juga menyukaiku?" tanya Lastri dengan suaranya yang lembut. Priyo menelan ludah, dan mengangguk tanpa bersuara.
lanjut bung...tetap semangat....
jngn jngn ini dukunn nya ntar lawannya Mbah Tejo.
ahh komentar ku jngn jngn mulu wkwkwkwk.
Aku curiga sama Lilis omm... bkn suudzon tapi ntahlah Lilis kek manipulatif.
hmmm,,, aq masih blm bisa terima bang Andre sama Lilis ....,,