Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Setelah beberapa menit berkendara, mobil berhenti di depan sebuah pusat perbelanjaan yang terlihat megah. Ricardo mengulurkan tangannya ke Adira.
"Kamu mau beli sesuatu?," tanya Adira penasaran.
"Hummm," jawab Ricardo mengangguk.
Mereka berjalan bersama menuju pintu masuk. Saat melangkah masuk, Ricardo mengarahkannya ke salah satu toko baju wanita yang terlihat menarik.
"Kok kesini?," tanya Adira bingung.
"Kau butuh baju," jelas Ricardo singkat.
Begitu menyadari maksud Ricardo, Adira tersipu malu. Ia baru sadar, jika dirinya belakangan hanya mengenakan baju milik Ricardo yang terasa terlalu besar untuknya.
"Pilihlah," ucap Ricardo mengangguk mempersilahkan.
Adira pun mulai memilih beberapa baju yang dia suka, hanya dengan melihatnya tanpa mencobanya. Ia merasa senang, meskipun sedikit canggung. Setelah membeli beberapa potong baju, mereka kembali ke mobil.
Adira duduk di samping Ricardo yang sedang fokus mengemudikan mobil. Suasana terasa sedikit hening, hanya di iringi suara mesin yang menderu pelan di bawah langit yang tampak mendung. Adira pun memecah hening sambil menatap keluar jendela, “Wah, sepertinya mau hujan.”
Ricardo melirik ke arah langit sejenak, lalu berkomentar pelan, “Mungkin.”
"Aku suka hujan," gumamnya, hampir seperti bicara pada diri sendiri.
Mendengar itu, Ricardo sedikit tersenyum, sesuatu yang jarang terjadi. Pandangannya tetap fokus ke jalan, tapi kali ini ada kehangatan di balik ekspresinya.
“Kenapa kau bisa suka hujan?” tanyanya, suaranya rendah namun terdengar penuh rasa ingin tahu.
Adira mengambil napas dalam, lalu mulai bercerita.
"Dulu, aku besar di ruko, seperti bangunan tinggi dua lantai. Di atasnya ada rooftop tempat ayahku menanam pohon mangga. Setiap hujan turun, aku selalu naik ke atas. Entah kenapa jika di bawah hujan aku merasa tenang. Aku bisa menangis sepuasnya tanpa ada yang tahu."
Ricardo mengerutkan alisnya, sedikit bingung. Dengan tatapan yang masih fokus ke jalan, dia bertanya, "Kenapa menangis? Rindu ayahmu?"
Adira menggeleng pelan, "Tidak, saat ayah meninggal kami sudah tidak tinggal di ruko lagi.”
Ricardo diam sejenak, tapi jelas menunggu jawaban lebih lanjut.
“Lalu?” tanyanya, penasaran dengan apa yang membuat Adira menangis dalam kesunyian hujan.
Adira tersenyum tipis, meski kenangannya penuh dengan kepedihan.
"Aku memang suka menangis saja tiba-tiba. Entah itu karena dipukuli abangku atau,"
"Kau dipukuli abangmu?"
Kata-kata Adira terputus ketika Ricardo tiba - tiba merespons dengan nada yang lebih tajam. Rahangnya mengencang dan tangannya yang menggenggam setir tiba-tiba mengeras. Terlihat jelas bahwa ia sedang menahan amarah.
Melihat ekspresi Ricardo yang tampak murka, Adira terdiam sejenak. Namun, di balik kemarahan yang tampak, Adira bisa merasakan Ricardo memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Dirinya yang biasanya tenang dan dingin sekarang memperlihatkan sisi yang lebih emosional.
Adira lalu mengelus lembut bahu Ricardo yang kokoh, berusaha meredakan ketegangan yang terasa di dalam mobil.
“Itu dulu, kok,” katanya dengan suara tenang, mencoba menenangkan Ricardo.
"Terakhir kali dia memukuliku saat aku kelas 2 SMA. Sejak itu, dia nggak pernah melakukannya lagi."
Ricardo melirik Adira sejenak sebelum kembali fokus ke jalan. Suaranya terdengar berat ketika dia menjawab, "Habit itu nggak mungkin berubah begitu saja, Adira. Suatu saat itu bisa terulang."
Adira menghela napas panjang, ikut memandangi jalan di depan mereka.
“Kayaknya nggak, deh,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
"Dulu saat terakhir kali dia mau memukuliku, aku sempat berteriak kencang. Padahal sebelumnya aku selalu diam dan ketakutan. Tapi, saat aku berteriak dia terkejut dan berhenti. Sejak saat itu, aku rasa dia sudah sadar. ”
Ricardo mengerutkan dahi sedikit penasaran.
“Apa yang kau teriaki waktu itu?”
Adira tertunduk, sedikit tertawa kecil meski nadanya penuh kenangan pahit.
“Waktu itu aku bilang, bunuh saja aku sekalian! Biar puas!" suaranya bergetar sedikit, mengingat rasa takut.
“Aku masih ingat jelas ekspresi terkejutnya. Dia kelihatan syok banget,” lanjut Adira sambil tersenyum pahit, seolah mencoba meredakan ketegangan dalam hatinya sendiri.
Namun, Ricardo tak tersenyum. Baginya, cerita itu sama sekali tidak lucu. Wajahnya tetap serius, matanya menatap lurus ke jalan dengan tatapan tajam. Dalam diamnya, Ricardo memikirkan bagaimana Adira yang sekarang ia pedulikan, telah melalui banyak hal menyakitkan di masa lalu. Keinginan untuk melindungi Adira semakin kuat dalam dirinya, meski tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Ricardo mungkin tidak banyak bicara, tapi dalam hatinya, dia menyimpan banyak perasaan. Rasa marah karena Adira pernah diperlakukan seperti itu, sekaligus rasa kagum karena Adira bisa bangkit dari kepedihan itu dengan kekuatan yang ia miliki.
Hening kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini terasa lebih berat. Adira mungkin merasa lega setelah menceritakan pengalamannya. Tapi, Ricardo menyadari betapa dalam luka yang masih Adira bawa. Sambil terus menyetir dia berpikir. Apa pun yang terjadi, dia tak akan pernah membiarkan orang lain menyakiti Adira lagi.
Setelah cukup lama, mobil mereka akhinya mendekati markas Ricardo. Detik itu Adira baru menyadari bahwa bangunan yang ada di depannya memiliki sebuah rooftop. Pemandangan itu membuat matanya berbinar, mengingatkannya pada masa kecilnya.
"Ternyata ada rooftop ya? Boleh tidak aku ke sana?" tanya Adira semangat.
Ricardo, dengan sikap dingin namun penuh pengertian hanya menjawab singkat, “Tentu.”
Begitu mobil berhenti, Ricardo dan Adira keluar bersamaan. Udara di sekitar mereka terasa sedikit lebih sejuk, pertanda hujan turun yang semakin mendekat.
“Bawa belanjaannya ke ruangan.” ucap Ricardo kemudian memberi instruksi kepada Heriberto.
Heriberto segera mengangguk dan mengambil tas-tas belanjaan Adira tanpa banyak bicara. Sementara itu, Ricardo menggenggam tangan Adira dengan lembut tanpa berkata-kata. Menuntunnya menuju tangga yang mengarah ke rooftop.
Tangan Adira yang kecil terasa nyaman dalam genggaman tangan Ricardo yang besar. Meski dia jarang mengungkapkan banyak hal dengan kata-kata, perasaan hangat itu selalu sampai ke Adira melalui tindakan Ricardo.
Ketika mereka tiba di rooftop, pemandangan terbuka menyambut Adira. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma hujan yang mendekat. Adira lalu memejamkan matanya sejenak, merasakan angin menyentuh wajahnya dan untuk sesaat dia merasa kembali ke masa kecilnya di atas ruko.
Adira kemudian membuka matanya, menoleh kepada Ricardo, dan dengan lembut berkata, "Ricardo,"
.
.
.
Bersambung...
(ehemmm/Shhh//Shy/)