Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sandra mendelik dengan pandangan tidak percaya saat aku bangkit dari kursi. "Ini anak Adnan Rania? Kenapa kamu diam saja?" tanyanya dengan nada heran yang tercampur penasaran.
"Lha terus aku harus gimana Sandra? Harus terkejut gitu?" jawabku dengan nada sinis, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang mulai menggelayuti hatiku.
"Ya aku heran saja, aku kan mengandung anak suami mu, masa kamu biasa saja," ujarnya lagi, seolah mencoba menantang emosiku.
"Dia tidak lagi suamiku, Sandra, jadi itu bukan lagi urusanku," kataku dengan tenang namun tajam, berusaha keras mempertahankan ketenangan meski di dalam hati bergolak.
"Jadi kalian mau cerai?" tanya Sandra dengan rasa ingin tahu yang semakin memuncak.
"Tentu," seruku kesal, tidak ingin lagi berlarut dalam pembicaraan yang hanya akan menambah luka.
Dengan langkah cepat, aku berjalan meninggalkan Sandra yang masih tercengang. Masuk ke dalam butik, aku langsung duduk di kursi kerjaku, berusaha meredam gejolak di dalam dada.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sambil menatap manikin yang berdiri tak jauh dari meja kerjaku. Di sana, di ruang kerja pribadiku, aku mencoba merangkai kembali kepingan hati yang berantakan.
Tok tok...
"Iya," seruku.
Ceklek... Pintu terbuka, Sumi masuk ke dalam.
"Ran, ada yang ingin bertemu," seru Sumi.
"Siapa, Sum?"
"Ibu Maya."
"Ibu Maya?"
"Iya, Ran." "Yaudah, suruh masuk saja, Sum," seruku.
"Oke." Sumi kembali keluar, aku pun membuka laptop dan mulai mengerjakan pekerjaanku sebagai desainer.
Tok tok...
"Masuk," seruku.
Pintu terbuka, memperlihatkan wajah yang tak asing bagiku, yaitu orang tua Kevin. Aku reflek merasa kaget bukan main.
"Apa yang sedang terjadi? Apa sebabnya orang tua Kevin datang ke sini?" batin ku dalam hati,
sambil berusaha menyembunyikan kekagetan. Begitu juga dengan Ibu Maya, sepertinya ia juga kaget melihatku di sini. Mungkin ini adalah pertemuan yang tidak diduga oleh kami berdua, atau mungkin ini adalah takdir yang telah disusun Tuhan untuk kami.
Entah mengapa, perasaan gugup tiba-tiba menyelimuti hatiku. Namun aku berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pertemuan ini. Aku berharap semoga pertemuan ini bisa berjalan dengan baik dan tak menimbulkan konflik atau perasaan tidak enak di antara kami.
"Rania?" seru Ibu Maya dengan kaget.
"I-iya, Bu," jawabku gugup.
"Jadi kamu desainer dan pemilik butik ini?" tanyanya lagi.
"Iya, Bu," jawabku.
"Kamu hebat, Rania. Tak heran Kevin sangat mencintaimu," ucap Ibu Maya.
Aku langsung teringat bahwa aku sedang berpura-pura menjadi kekasih Kevin dan hampir saja lupa dengan skenario itu.
"Ah, terima kasih, Bu. Saya hanya berusaha sebaik mungkin," balasku sambil tersenyum malu.
"Kamu perempuan hebat, Rania. Oh iya, kedatangan saya ke sini karena ingin meminta kamu untuk membuatkan kebaya modern untuk minggu depan. Bisa, kan?" ujar Ibu Maya dengan nada yang seolah-olah kami sudah saling mengenal sejak lama.
"Ba-baik, Bu. Sebentar, saya buat dulu polanya. Nanti bisa dicek, kalau Ibu suka atau ada yang mau diubah, tinggal beri tahu saja," seruku sembari berusaha untuk tetap tenang dalam situasi yang cukup mendebarkan ini.
Di ruang kerja yang rapi, lampu sorot terang memantulkan sinar pada meja gambar tempat aku sedang duduk. Kain-kain berkualitas terlipat rapi di sebelahku, sementara setumpuk pola-pola lama bertumpuk di pojok ruangan.
Aku mengambil pensil dan mulai menggoreskan garis-garis tegas pada kertas pola, membentuk desain kebaya modern yang sempurna dalam benakku.
Ibu Maya, dengan kesabaran seorang saintis, menunggu di sofa empuk sambil sesekali mengintip melalui kaca pembesar yang dipegangnya. Dia membuka buku yang telah kusiapkan, mungkin mencari inspirasi atau sekadar mengisi waktu.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti menit, aku menghela napas puas dan berdiri, menggelengkan tangan yang kaku. "Selesai, Bu," kataku sambil berbalik menghadap Ibu Maya yang segera menutup bukunya dan menghampiriku.
Dengan hati berdebar, aku memperlihatkan hasil karyaku. Lembaran kertas itu kini dihiasi dengan garis-garis yang meliuk elegan, membentuk kebaya yang modern namun tetap mempertahankan esensi tradisional.
Ibu Maya memeriksa setiap detail dengan teliti, matanya berbinar. Ketika dia menatapku, ada kekaguman yang tak bisa disembunyikan.
"Benar kata orang, butik ini owner-nya sangat cekatan dan pintar," puji Ibu Maya dengan tulus, membuat pipiku memerah karena tersipu.
Senyumku merekah, mengabaikan rasa lelah yang mulai menyusup. Pujian dari Ibu Maya bukan hanya pengakuan atas ketrampilanku, tapi juga penegasan bahwa setiap detik yang kuserahkan untuk mengasah keahlian ini adalah berharga.
Aku menghela nafas panjang begitu ibu Maya berpamitan kepadaku, akupun menyalami tangan ibu Maya, Senyum lembut yang tadi terpatri di wajahku perlahan memudar.
Jantungku yang tadinya berdebar cepat kini mulai mereda. Kelegaan itu terasa mengalir di setiap urat nadinya, Ibu Maya adalah klien yang membuatku deg degan.
Saat kembali ke meja kerjaku, aku mengambil beberapa menit untuk menata kembali pikiran dan fokus pada pekerjaan yang masih menumpuk. Ia mengecek desain terakhir yang baru saja disetujui Ibu Maya, memastikan tidak ada yang terlewat sebelum akhirnya menutup laptopnya tepat saat jam makan siang tiba.
Kesibukan di butik mulai berkurang, beberapa rekan kerja sudah mulai meninggalkan tempat mereka untuk makan siang. Di antara suara langkah kaki dan obrolan ringan, terdengar suara Sumi yang energetik memecah keheningan.
"Bakso yuk Ran," ajaknya dengan nada yang menggoda selera.
Aku tersenyum, merasa lapar setelah pagi yang intens. "Oke, ayok Sum," jawabku dengan semangat yang baru muncul.
Bersama, kami berjalan keluar dari gedung, meninggalkan tekanan pekerjaan untuk sejenak dan menikmati waktu makan siang sebagai pelepas penat sebelum kembali berhadapan dengan tantangan yang menanti.
Aku melangkah pasti menuju mobil Kevin yang terparkir tidak jauh dari kami, meninggalkan Sumi yang masih terpaku menatap kevin.
Kevin menurunkan kaca mobilnya, memperlihatkan senyum cerah yang tak pernah gagal membuat hati ku berdesir. Cahaya matahari menyinari wajahnya, memberi kesan hangat yang tak terbantahkan.
"Ada apa, Kev?" tanya ku sambil menyandarkan diri pada bingkai jendela mobil.
"Baru saja lewat, pikir ku ingin menyapamu," Kevin menjawab dengan nada santai, matanya tak lepas dari tatapan ku.
Di sisi lain, Sumi masih berdiri tidak jauh dari kedai bakso, matanya mengikuti setiap gerak aku dan Kevin. Rasa penasaran bercampur kekaguman terhadap Kevin membuatnya tidak sabar ingin dikenalkan.
Sejenak, aku dan Kevin terlibat dalam obrolan ringan, tawa kecil ku sesekali terdengar membuat Sumi semakin penasaran dengan isi pembicaraan kami. Aku pun akhirnya berpamitan dengan Kevin, berjalan kembali ke arah Sumi yang masih berdiri dengan wajah penuh tanya.
"Kamu kenapa sih, Sum? Kayak orang yang belum pernah lihat cowok ganteng aja," canda ku sambil menepuk-nepuk bahu Sumi.
Sumi hanya bisa menggeleng dan tersenyum malu, "Ya, gimana lagi, dia kan memang ganteng, Ran."
Aku tertawa, mengajak Sumi melanjutkan langkah mereka ke kedai bakso. "Next time aku kenalin, janji," ujar ku sambil mengedipkan satu matanya, membuat Sumi semakin tak sabar menantikan pertemuan itu.
***