Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak yang Terlacak
“Ini semua salah kalian!” teriak Karin kepada para staf di ruang rapat. “Sekali lagi aku bertanya, siapa perempuan yang bersama Adi sekarang?”
Para staf di ruang rapat, sekali lagi, hanya saling pandang. Mereka benar-benar tidak tahu. Tidak tahu sama sekali soal perempuan yang dimaksud Karin. Bahkan mereka semua tidak tahu Adi ada di mana sekarang.
“Kenapa diam, hah?!! Apa kalian semua bersekongkol merahasiakan semuanya dariku? Ayo jawab!” teriak Karin sekali lagi.
Karin menggenggam ponsel di tangan, jantungnya berdegup kencang. Tangan kirinya yang gemetar memegang kursi di sebelahnya. Ia mencoba menenangkan diri.
Karin masih mengingat suara tawa anak kecil yang sempat didengarnya dari ujung telepon. Suara itu seperti menghantam bak palu godam.
Kemudian jawab si perempuan misterius: "Kalau iya memangnya kenapa?" dengan nada dingin dan penuh tantangan—masih menggema di telinganya. Seolah-olah menertawakan rasa sakit yang kini berputar-putar dalam dadanya.
Karin berdiri di tengah ruangan rapat, mencoba merasionalisasi apa yang baru saja ia dengar. Mungkinkah perempuan itu memang berselingkuh dengan Adi? Atau bahkan menikah di belakangnya? Pikiran itu membuat darah Karin mendidih.
Ia menggigit bibir bawahnya, menahan agar air matanya tak jatuh. Dalam satu tarikan napas, sekali lagi ia menghubungi nomor tadi. Namun, suara mesin dengan dingin memberitahu bahwa nomor itu kini tidak aktif.
"Brengsek!" teriak Karin, membanting ponsel ke meja rapat. Ponsel itu meluncur ke ujung meja, hampir jatuh ke lantai. Kemarahannya semakin menjadi-jadi, membakar segala logika yang tersisa. Tanpa pikir panjang, Karin keluar dari ruangan rapat dengan langkah cepat, menuju ke ruangan Adi.
Mira yang melihat sepak terjang Karin segera mengikutinya, khawatir ada tindakan nekat yang mungkin akan Karin lakukan di ruangan Adi.
Setiap langkah Karin menggema di koridor yang sepi, menarik perhatian staf yang lalu-lalang. Karin tiba di ruangan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Dia mencoba mencari petunjuk. Namun ruangan Adi yang tertata rapi tak memberi petunjuk apa pun.
Karin berbalik ke luar dan berpapasan dengan Mira di muka pntu. "Di mana Adi?" bentak Karin, suaranya nyaring memenuhi ruangan.
Mira menatap Karin dengan mata cemas, mencoba menjaga ketenangannya. "Karin, saya benar-benar tidak tahu. Pak CEO tidak memberitahuku apa-apa. Saya juga sudah menanyakan keberadaannya, tapi beliau tidak menjawab. Saya sudah mencoba menelepon beberapa nomer alternatif Pak CEO, tapi tidak diangkat."
Karin tak percaya. Dia merasa semua orang di ruangan itu bersekongkol melawannya. "Kamu pasti tahu sesuatu!” kata Karin sambil berjalan di koridor. “Kalian semua pasti tahu!" tuduhnya dengan suara bergetar, matanya menyipit penuh kecurigaan.
Mira menelan ludah, mencoba meredakan situasi. "Karin, saya serius. Tapi kalau kamu ingin mencobanya, saya akan berikan beberapa nomor alternatif Pak CEO yang saya bilang tadi. Mungkin sekarang, salah satunya bisa dihubungi," bujuk Mira, mulai merasa cemas melihat hubungan Adi dan Karin di ujung tanduk.
Karin menatapnya dengan penuh curiga, merasa sedang dipermainkan. "Berikan nomornya!" bentaknya.
Mira dengan cepat memberikan nomor-nomor itu, berharap bisa membantu menenangkan Karin. "Ini semua nomor Pak CEO yang saya miliki, Karin. Percayalah, saya juga ingin tahu di mana beliau sekarang. Saya cemas, karena sebentar lagi beliau harus bertemu dengan klien."
Karin mengambil nomor-nomor itu dengan kasar. "Kalau kamu bohong, aku tidak akan memaafkanmu!" ucapnya tajam sebelum bergegas turun menggunakan lift menuju lobi, dengan Mira mengikutinya.
Tiba di lobi, Karin menghampiri Vania yang sedang bertugas di meja resepsionis. Tanpa basa-basi, Karin meminta Vania untuk menggunakan telepon resepsionis agar bisa mencoba menghubungi Adi.
Jari-jemari Vania gemetar saat dia menekan nomor pertama, kemudian nomor kedua, dan seterusnya. Namun, semuanya tak diangkat. Adi seolah menghilang dari muka bumi.
Rasa tertekan Karin semakin memuncak. Vania, yang melihat wajah Karin semakin memerah, mulai merasa tidak nyaman dan takut. "Ibu, apakah saya bisa membantu dengan cara lain?" tanya Vania dengan suara lirih.
Karin tidak menjawab. Ia merebut gagang telepon dari Vania dengan kasar kemudian mencobanya sendiri. Seperti dialami Vania, panggilan telepon tersambung tapi tak diangkat.
Tangannya mengepal di atas meja resepsionis, kemudian dia membanting telepon itu dengan kekuatan penuh ke lantai. Suara pecahan telepon memenuhi ruangan, membuat semua orang di lobi terdiam dan menoleh.
Mira berdiri di dekatnya, merasa khawatir. "Karin, kita bisa mencari cara lain. Mungkin kita bisa melacak Pak CEO atau—"
"Diam!" teriak Karin, memotong ucapan Mira. Ia menatap Mira dengan mata penuh amarah dan tertekan. "Aku tidak butuh saranmu! Aku hanya butuh tahu di mana Adi!" teriak Karin dengan mata nyalang.
Karin mencoba sekali lagi menghubungi nomor si perempuan misterius itu. Namun, seperti yang sudah diduganya, nomor tersebut masih belum aktif.
Rasa tertekan yang membara di dalam dirinya hampir tak tertahankan. Ia merasakan adrenalin melonjak, memenuhi setiap inci tubuhnya. Napasnya tersengal, matanya menyipit dalam kemarahan tak terbendung.
Mira, yang melihat Karin berada di ambang batas, mencoba memberikan solusi. "Karin, dengarkan saya. Mungkin kita bisa melacak nomor itu melalui IT. Pak Heru di bagian IT bisa membantu. Kalau kita bekerja sama dengan perusahaan telepon seluler, kita mungkin bisa menemukan di mana nomor itu terakhir aktif."
Karin terdiam sejenak, menimbang usulan itu. Rasa amarah yang menguasainya membuatnya ingin menolak, tapi akal sehatnya tahu bahwa ini mungkin satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban. Dengan berang, Karin akhirnya setuju.
"Baiklah. Lakukan apa yang perlu dilakukan. Aku ingin tahu di mana Adi sekarang juga!" suaranya tegas, hampir seperti perintah.
Mira segera menghubungi Pak Heru. Dalam hitungan menit, Pak Heru turun dari lantai dua dengan wajah serius.
"Bu Karin, saya mendengar bahwa ada masalah dengan nomor telepon yang perlu dilacak?" tanyanya dengan nada penuh profesionalisme.
Karin mengangguk seraya menyerahkan nomor si perempuan misterius. "Nomor ini. Aku ingin tahu di mana pemilik nomor ini sekarang."
Pak Heru menatap nomor itu sejenak lalu beralih ke arah Mira seolah meminta persetujuan. Mira mengangguk. Tanpa menunggu lama lagi Pak Heru segera berbalik dan melangkah.
"Baiklah Bu Karin, melacak nomor telepon memang memungkinkan, terutama jika kita bekerja sama dengan provider telekomunikasi yang bersangkutan. Saya bisa menghubungi tim keamanan jaringan mereka untuk melacak lokasi terakhir di mana sinyal dari nomor ini terdeteksi. Ini dilakukan dengan menggunakan data lokasi seluler dari menara BTS yang menangkap sinyal dari ponsel tersebut." terang Pak Heru sambil menaiki tangga menuju lantai dua.
"Berapa lama itu akan memakan waktu?" Karin bertanya dengan nada tak sabar sambil menyusul langkah.
"Biasanya tidak lama," jawab Pak Heru, "Tapi hasilnya mungkin tidak seakurat yang kita harapkan. Lokasi yang ditentukan berdasarkan sinyal BTS bisa melacak area dalam radius tertentu, dan kita mungkin hanya akan mendapatkan perkiraan lokasi. Namun, jika nomor ini aktif atau baru saja aktif, kita bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk mencari tahu keberadaannya."
Karin hanya mengangguk, sementara Pak Heru segera menghubungi kontaknya di perusahaan telekomunikasi. Dalam beberapa menit, jaringan mulai bekerja.
Data-data lokasi dari nomor tersebut mulai ditarik. Pak Heru memantau proses itu melalui layar komputer di ruangannya dengan mata tajam mengikuti setiap perkembangan.
"Nomor ini terakhir kali terdeteksi di sekitar Jalan T.B. Simatupang," Pak Heru melaporkan setelah beberapa menit. "Tapi jejaknya terputus-putus. Ini mungkin karena ponselnya bergerak melewati daerah dengan sinyal yang lemah."
Karin mendekat, matanya memperhatikan setiap detail yang muncul di layar. "Teruskan," desaknya.
"Jejak berikutnya muncul di sekitar rute perumahan gang-gang sempit, lalu melewati jembatan penyeberangan sebelum Jalan Raya Mabes Hankam. Namun, sinyal kembali hilang," lanjut Pak Heru, suaranya semakin serius. "Sinyal terakhir yang cukup kuat terdeteksi di TMII, tepat satu jam yang lalu. Setelah itu, tidak ada lagi jejak yang bisa dilacak."
Karin merasakan darahnya mendidih mendengar laporan itu. TMII? Taman Mini Indonesia Indah? Bagaimana mungkin Adi bersama perempuan itu berada di sana? "Apa maksudnya tidak ada lagi jejak?!" Karin hampir berteriak.
Pak Heru menatapnya dengan tenang. "Kemungkinan ponselnya dimatikan atau SIM card-nya dinonaktifkan, Bu Karin. Itu sebabnya kami tidak bisa melacak lebih jauh. Ini juga bisa terjadi jika ponsel berada di area yang benar-benar tanpa sinyal, tapi itu jarang sekali terjadi di kota besar seperti Jakarta."
Kata-kata itu menghantam Karin dengan keras. Ia membayangkan Adi sedang berwisata dengan perempuan lain, tertawa dan bersenang-senang di TMII, sementara ia berada di sini, terjebak dalam kebingungan dan rasa sakit yang tak berujung. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
"Jadi, Adi berbohong padaku!" seru Karin, menatap Mira dengan tatapan tajam. "Dia bilang akan bertemu dengan klien Prancis. Tapi nyatanya dia malah jalan-jalan dengan perempuan lain di TMII, tepat di minggu terakhir sebelum pernikahan kami!"
Mira menggelengkan kepala dengan cemas. "Karin, saya tahu ini sulit untuk diterima, tapi Pak CEO memang benar akan bertemu dengan Monseur Philippe tadi pagi. Jadwalnya memang berubah menjadi sore hari atas permintaan klien. Saya tahu Pak CEO tidak berbohong tentang itu."
Namun, kata-kata Mira hanya membuat kemarahan Karin semakin membara. "Kau juga pasti bersekongkol! Semua orang di sini bersekongkol untuk menutupi perselingkuhan Adi! Kalau memang dia bertemu klien, kenapa dia ada di TMII sekarang?!"
Mira terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Adi sempat menolak berterus terang ketika Mira menanyakan keberadaannya. Kini, situasi ini membuat segalanya semakin rumit.
Karin melangkah mundur, matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan kemarahan.
"Aku akan menemukan kebenarannya sendiri, dengan atau tanpa bantuan kalian!" tegasnya sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan IT dengan langkah cepat.
Pak Heru dan Mira hanya bisa saling berpandangan, tak berani menghentikannya.
Di luar gedung, angin sore berhembus lembut, tapi bagi Karin, rasanya seperti angin dingin yang menampar. Dalam benaknya, kecurigaan dan kebingungan bercampur menjadi satu, sementara wajah Adi terus menghantui pikirannya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Adi berada di TMII, dan siapa perempuan itu?
Karin berdiri di pinggir jalan, rasa tertekan dan marah masih jelas terasa di seluruh tubuh. Tanpa pikir panjang, dia meraih ponsel dan menelepon seseorang yang sudah lama menjadi teman dekatnya, Farhan.
Farhan adalah sosok yang selalu ada untuk Karin. Saat mendengar suara Karin penuh emosi di ujung telepon, Farhan segera tahu bahwa ada sesuatu yang sangat serius terjadi.
"Farhan, aku butuh bantuanmu. Adi… aku berharap dia masih di TMII sekarang. Bisakah kamu menjemputku dan kita pergi ke sana? Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Karin berbicara dengan cepat, suaranya bercampur antara marah dan panik.
Tanpa ragu, Farhan menjawab, "Tentu, Karin. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku di depan kantor Adi, aku akan sampai dalam beberapa menit."
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.