NovelToon NovelToon
Di Balik Bayangan Ambisi

Di Balik Bayangan Ambisi

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Wanita Karir / Karir / Office Romance
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Darl+ing

Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertolongan

"Itu orang yang menuju ke sini," gumam Dante sambil mengangkat dagunya sedikit, menandai kedatangan Arfan. Ada nada sinis dalam suaranya, seakan menyiratkan bahwa masalah yang sedang dihadapi Naya ini hanyalah sebuah prediksi yang akhirnya terbukti benar.

"Naya!" seru Arfan, suaranya sedikit terengah. "Naya, tunggu! Aku bisa jelasin semuanya!"

Tanpa disadari, tubuh Naya mulai gemetar. Bukan karena udara pegunungan yang semakin dingin, melainkan karena kemarahan yang kembali membakar dadanya. Semua janji manis, semua kata-kata cinta yang pernah diucapkan Arfan, sekarang terasa seperti kebohongan besar. Naya tidak ingin mendengar penjelasan apa pun. Ia hanya ingin pergi, jauh dari semua ini.

Naya tahu dia harus memutuskan dengan cepat. Jika ia tetap di sini, Arfan pasti akan terus memohon, berdalih, dan mencoba meyakinkannya lagi. Tapi kali ini, Naya tidak ingin memberikan Arfan kesempatan untuk berbohong lebih jauh. Ia tidak bisa mendengarkan lagi satu kebohongan pun.

"Dante," suara Naya gemetar saat ia memandang pria yang berdiri tak jauh darinya, "aku minta tolong… buat kali ini aja, tolong bawa aku dari sini."

Dante menatapnya, matanya sedikit menyipit seolah mempertimbangkan permintaan itu. Meski hubungan mereka sering diwarnai ketegangan dan saling sindir, Naya tahu bahwa Dante adalah satu-satunya yang bisa membantunya saat ini. Sekilas, terlihat keraguan di wajah Dante, namun Naya bisa melihat bahwa di balik sikap dingin dan sinisnya, pria ini punya naluri untuk melindungi.

Dante mengamati Naya sejenak, mencoba memahami situasinya. Akhirnya, ia menghela napas panjang, dan tanpa berkata-kata lagi, ia merogoh kantong jaket kulitnya, mengeluarkan kunci motor. “Ayo,” katanya singkat, suaranya lebih lembut dari biasanya.

Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Dante melangkah cepat menuju tempat parkir kecil di ujung jalan setapak. Naya, tanpa ragu sedikit pun, mengikuti di belakangnya dengan langkah cepat, meninggalkan suara Arfan yang masih memanggil namanya.

Ketika mereka sampai di tempat parkir, Dante dengan cepat melepas helm dari motornya dan menyerahkannya kepada Naya. “Pakai ini,” katanya singkat, sambil menaiki motor sport hitamnya yang tampak mengilap di bawah cahaya bulan.

Naya segera mengenakan helm itu, meski tangannya sedikit gemetar. Jantungnya masih berdegup kencang, namun kali ini lebih karena adrenalin. Ia naik ke belakang Dante, merasakan dinginnya tubuh motor di bawahnya.

Arfan akhirnya sampai di tikungan, matanya membulat ketika melihat Naya di atas motor bersama Dante. “Naya!” serunya, suaranya penuh dengan kebingungan dan kepanikan. “Apa yang kamu lakukan? Ayo kembali! Kita bisa bicarakan ini!”

Naya menunduk, tak sanggup menatap wajah Arfan. Ia hanya bisa menggenggam erat jaket Dante, mencoba menahan tangisnya yang hampir pecah.

Dante menatap Arfan sekilas, lalu menyalakan motornya. Suara deru mesin yang kuat membelah kesunyian malam, dan sebelum Arfan sempat melangkah lebih dekat, Dante langsung melesat pergi dari tempat itu, membawa Naya bersamanya.

Angin dingin segera menerpa wajah Naya, meski helm melindunginya dari sebagian besar angin malam. Pegunungan yang gelap dan sunyi terasa semakin jauh, seolah ia meninggalkan semua permasalahan yang melingkupinya, meski ia tahu kenyataan tak akan semudah itu dihapus. Namun, di saat ini, di atas motor yang melaju kencang, Naya merasakan sejenak kebebasan—meski hanya sesaat, meski hanya pelarian.

Dante mengendarai motornya dengan kecepatan mantap, tanpa menoleh sedikit pun. Ia tetap fokus ke jalan di depan, membiarkan Naya berpegangan erat di belakangnya. Dalam diam, Dante sepertinya mengerti bahwa Naya butuh waktu untuk memproses semuanya. Ia tidak bertanya apa-apa, tidak menuntut penjelasan, hanya memberikan apa yang Naya minta pelarian.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, Dante akhirnya memperlambat laju motornya. Mereka melewati jalan berliku-liku di antara pepohonan yang rimbun, hingga akhirnya berhenti di sebuah tempat datar dengan pemandangan luas yang menghadap ke lembah pegunungan.

“Turun,” kata Dante dengan singkat, mematikan mesin motornya. Naya menurut, turun dari motor dengan langkah yang sedikit goyah.

Naya memandang sekelilingnya, merasa tidak percaya. Jalan ini jauh dari vila atau tempat mana pun yang aman. Mata Naya menyipit, menatap Dante penuh kekesalan. "Kau serius menurunkanku di sini?" suaranya tajam, hampir mendidih dengan kemarahan yang terpendam. "Di tengah hutan? Di malam sedingin ini?"

Dante menatapnya balik tanpa ekspresi. "Aku sudah menolongmu, Naya. Itu sudah lebih dari cukup. Tugasku selesai," jawabnya, nada suaranya dingin dan sinis seperti biasa.

Naya menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang semakin meluap. Dante selalu seperti ini dingin, tajam, dan tidak peduli. Ia berharap lebih, mungkin sedikit empati, namun itu jelas bukan sesuatu yang bisa ia harapkan dari pria seperti Dante Evander.

Namun, sebelum Naya sempat membalas, setetes air menyentuh pipinya. Lalu disusul tetesan lainnya. Seketika, hujan mulai turun dengan deras, mengalir begitu cepat seolah-olah langit memutuskan untuk menuangkan seluruh isinya dalam sekejap.

Dante mendongak, memandang hujan yang tiba-tiba. Wajahnya mengeras, tapi ada secercah keterkejutan di matanya. "Sial," gumamnya pelan, jelas tidak menduga hujan datang secepat ini.

Naya berdiri di sana, basah kuyup dalam hitungan detik. Tubuhnya mulai menggigil, karena suhu malam yang sudah dingin kini semakin menusuk bersama tetesan hujan yang mengguyur tanpa ampun. Ia mengusap wajahnya yang penuh air, merasa lebih kesal lagi karena sekarang Dante benar-benar hendak meninggalkannya di tengah kondisi ini.

"Jadi, kau masih mau menurunkanku di sini?" Naya bertanya sinis, suaranya setengah gemetar karena dingin.

Dante memandangnya dengan tatapan tak sabar, jelas kesal dengan situasi ini. "Aku tidak punya rencana terjebak dalam hujan bersamamu, Naya," jawabnya tajam. "Tapi aku juga bukan orang yang suka meninggalkan orang lain mati kedinginan."

Naya menatapnya, menunggu apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya. Dante mendesah panjang, jelas sedang berjuang dengan keputusannya.

“Ayo,” katanya akhirnya, mengalah pada keadaan. “Kita cari tempat berteduh. Setidaknya sampai hujan reda.”

Tanpa menunggu persetujuan dari Naya, Dante kembali menyalakan motornya. Naya, yang masih setengah basah, langsung naik lagi ke belakangnya, kali ini tanpa protes. Mereka tidak punya pilihan lain. Dengan sekali gerak, Dante melesatkan motornya lagi, kali ini mencari tempat berlindung dari hujan deras yang semakin membasahi mereka berdua

***

Setelah beberapa menit berkendara di bawah guyuran hujan, mereka akhirnya menemukan sebuah bangunan tua di pinggir jalan yang tampak seperti bekas pos penjaga hutan. Meski bangunannya kecil dan tidak terawat, itu cukup untuk melindungi mereka dari hujan. Dante memarkirkan motornya di bawah atap yang tersisa dan membantu Naya turun.

Naya menggigil kedinginan, merapatkan jaket yang ia pinjam dari Dante, tapi tak banyak membantu. Rambutnya sudah basah sepenuhnya, dan tubuhnya mulai terasa berat oleh dinginnya udara.

“Kau baik-baik saja?” tanya Dante, meski nadanya masih terdengar tak sabar.

Naya mengangguk, meski wajahnya pucat. “Aku… akan baik-baik saja,” katanya, meski jelas tak sepenuhnya yakin pada ucapannya sendiri.

Dante mendesah, lalu melepas jaketnya dan menyerahkannya lagi kepada Naya. “Pakai ini. Kau akan sakit kalau tetap basah seperti itu.”

Naya memandangnya sejenak sebelum menerima jaket itu. Tanpa berkata-kata, ia menyelimutkan jaket itu ke tubuhnya yang menggigil. Meskipun dia kesal dengan sikap Dante sebelumnya, dia tidak bisa menyangkal bahwa pria itu setidaknya cukup peduli untuk memastikan dia tidak membeku di tengah hujan.

Hujan terus mengguyur, deras dan berisik, menciptakan suara yang menenangkan tapi juga menambah suasana canggung di antara mereka.

“Kita akan di sini sampai hujan reda?” Naya akhirnya bertanya, mencoba mengisi keheningan yang terasa semakin berat.

Dante mengangguk. “Kalau kau mau, aku bisa menunggu sampai kau benar-benar merasa lebih baik sebelum mengantarmu kembali ke vila. Aku tahu ini bukan situasi yang nyaman, tapi…” Dante mengangkat bahu, “itu lebih baik daripada kita tersesat atau jatuh sakit di tengah jalan.”

Naya hanya bisa mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Malam yang seharusnya jadi bagian dari rencana prewedding-nya kini berantakan sepenuhnya. Dan yang lebih ironis, satu-satunya orang yang bersamanya di tengah kekacauan ini adalah Dante pria yang biasanya membuat darahnya mendidih saat mereka bertemu tempo hari..

1
LISA
Aq mampir Kak
ADZAL ZIAH
semangat kam menulisnya 🌹 dukung karya aku juga ya kak
Ceritanya bagus thor, semngat ya 👍
Aini Nurcynkdzaclluew
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
Darl+ing: Makasih ya udah mampir ❤️‍🔥
total 1 replies
ellyna
bagus bgt semangat yaa
Darl+ing: makasih udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!