Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
"Jangan makan itu," cegah Mas Adi saat Aku baru saja akan menyendok pepes tuna buatan Mama. "Kenapa?" tanyaku dengan wajah tidak terima.
Sejujurnya aku sudah sangat ngiler dan kangen berat dengan pepes tuna buatan Mama. "Aku pernah baca artikel, kalau nggak baik ibu hamil mengonsumsi ikan tuna. Kamu makan yang lain ya. Ini ada salmon."
Para orang tua hanya menganggukkan kepala membenarkan apa yang diucapkan Mas Adi.
Aku menghela napas mencoba untuk tidak kesal. "Iya Mas," balasku dengan nada sedikit tidak rela. Sementara kami sedang makan malam, bel rumah berbunyi.
Aku berinsiatif membukanya.
"Kamu ngapain ikutan Mas?" tanyaku ketika melihat Mas Adi malah mengekor di belakangku. "Takut tiba-tiba kamu kepeleset," ucapnya dengan tangan yang memperagakan hendak menggendongku kalau misalnya
terjadi apa-apa.
Aku membulatkan mata.
"Kamu doain aku kepeleset Mas?"
Mas Adi menggelengkan kepalanya
kuat, terlalu kuat malah. Aku melirik
ngeri, kepala Mas Adi malah seperti mau copot. "Ya nggaklah sayang, nggak mungkinlah Mas doain kamu dan calon anak kita yang nggak baik."
Tanpa mempedulikan Mas Adi yang bertingkah berlebihan, ku putuskan untuk membuka pintu.
"Selamat malam Kanesa." Aku melirik geli. Di depanku saat ini berdiri anaknya Pak lurah yang sudah berusia 34 tahun tapi belum menikah..
Dulu, sebelum aku menikah dia gencar sekali bertingkah untuk menarik perhatianku.
"Siapa kamu?" Mas Adi melangkah maju di depanku.
"Saya? Saya anaknya Lurah. Saya punya banyak tanah," sombong orang itu.
Dia tidak tahu saja seberapa kaya keluarga Mas Adi. Ku lihat Mas Adi tersenyum geli..
"Lalu untuk apa datang ke sini?"
Lagi-lagi Mas Adi bertingkah seolah rumah ini adalah miliknya. "Ya mau ketemu Kanesa lah Mas. Mas
ini siapanya Kanesa?" Anak pak Lurah itu malah menyolot di depan Mas Adi.
"Saya suaminya," tegasnya. "Lho bukannya udah cerai ya?" Aku hampir tertawa menatap wajah tidak suka yang Mas Adi tampilkan di depan laki-laki bernama Farhan itu.
"Siapa bilang? Jangan ngasal ya. Ini istri saya lagi hamil." Pandangan Farhan turun pada perutku.
"Eh ngapain lirik-lirik anak saya?" Astaga sebegitunya protectifnya Mas
Adi. "Nggak. Saya cuman mau ngasih kolak pisang buat Kanesa, dari ibu saya. Rumah kami di depan komplek Mas."
Farhan menyerahkan sekotak tupperware di depanku.
"Aku yang ambilin. Entar tangan kamu
berat bawanya." Mas Adi merebut kotak itu dari tangan Farhan.
"Ya udah makasih," ucap Mas Adi sembari menutup pintu. "Mas kamu kok gitu sih? Orangnya kan
belum pamit pulang," tuturku cepat. "Biarin! Aku marah kalau kamu bela dia.
Aku menghela napas. Semenjak kami rujuk, Mas Adi malah bertingkah menyebalkan.
"Siapa Nes?" tanya Mama saat kami kembali ke ruang makang. "Anaknya Pak Lurah Ma," jawabku.
"Sering datang ke sini dia, Ma?" tanya Mas Adi setelah meletakan tupperware beriisi kolak dengan sedikit kasar. ada Kanesa aja."
"Enggak, kalau Aku menatap Mas Adi yang melotot. "Selanjutnya, nggak usah terima Ma.
Dia itu berpotensi buruk." Aku tersenyum. Mas Adi terlihat lucu.
"Hentikan bucin dan cemburunya, Mami mual nih," seru Mami yang seketika membuat tawaku meledak.
"Anakmu Pi."
"Bukan."
Keluarga Tano memang seabsurd itu.
Setelah makan kami beristirahat di
kamar, kamarku. Mami dan Papi di
kamar tamu.
"Sayang, kamu pengen aku pijet
kakinya?" tanya Mas Adi tiba-tiba.
"Boleh deh Mas," balasku.
Mumpung dia lagi baik gini ya harus
dimanfaatkan.
Aku duduk dengan kaki yang lurus
ke depan sementara punggungku
bersandar di kepala ranjang.
"Nanti kamu maunya anak cewek apa
cowok Fir?"
Sembari memijiti kakiku, Mas Adi
bertanya.
"Ehm, terserah yang dikasi Tuhan deh
kalau aku."
Ya, aku sendiri tidak punya keinginan
istimewa berkaitan dengan jenis
kelamin anak.
"Aku maunya cowok, nanti anak kedua baru cewek." "Ini aja belum keluar Mas, kamu udah
mikirin anak kedua."
Ya, kadang laki-laki emang
pemikiranny jangka pendek,
pikirannya hanya yang senang-senang
saja giliran susah malah dilimpahin
kepada perempuan.
"Apa salahnya memikirkan masa
depan Fir? Kan nggak ada salahnya
kalau kita udah mulai merancang masa depan untuk anak-anak." "Iya aku tahu Mas."
Aku menjerit tiba-tiba karena ternyata Mas Adi tidak lagi memijat kakiku malah udah naik ke bagian dada.
"Maaf Mas pikir bagian ini juga pengen
dipijetin," kekehnya.
"Gila kamu Mas!"
Lelaki itu malah terbahak.
Kami masih terus mengobrol sampai
akhirnya ponselku berbunyi. Si Mas
Bucin yang mengambilnya.
"Dito? Siapa Dito?" tanyanya sembari
menatapku penuh selidik.
Sepertinya Mas Adi lupa dengan
pertemuannya bersama Dito saat kami
liburan beberapa waktu yang lalu.
"Temanku."
"Teman yang mana?" tanyanya tidak
sabar.
Aku menatap Mas Adi yang juga
menatapku.
"Kamu lupa ya Mas? Itu teman yang
waktu lalu ke Labuan Bajo."
Mas nampak berpikir sejenak.
"Oh laki-laki itu? Kamu kok punya
kontak dia?"
"Nadia yang kasi."
"Ini lagi pesan-pesan kalian yang dulu,
udah pernah ketemuan di sini?"
Aku menganggukkan kepala, tak
berniat sekalipun untuk membohongi
Mas Adi. Mas Adi tak membalas tapi dia terus mengutak-atik ponselku. "Nomornya udah Mas blokir," cetusnya dengan nada kesal.
"Mas! Kok gitu sih? Kan cuman temen."
Aku melotot tidak percaya, sebegitu
cemburukah Mas Adi sampai harus
memblokir nomor Dito. "Karena aku cinta kamu Fir." teriaknya.
"Iya aku tahu Mas, tapi apa
hubungannya?"
"Pokoknya aku nggak mau kamu
diambil orang. Besok kita balik ke Jakarta, di sini nggak aman. Banyak yang berpotensi mencuri hati kamu. Nggak anak pak Lurah, nggak
anak Komodo mereka sama-sama
berbahaya."
Aku hanya mampu menghela napas
untuk menyaharkan diri dengan
tingkah berlebihan Mas Adi.
Dia malah menyebut Dito dengan anak
Komodo, astaga.