Tiga Tahun Setelah Kau Pergi

Amanda sedang menyuapi Elsa saat terdengar seseorang memanggil namanya. Suara itu begitu dia kenal. Sehingga wanita itu sedikit ragu untuk mengangkat kepalanya.

"Apa kabar Manda, Elsa?" tanya Aditya.

Amanda akhirnya mengangkat kepalanya dan membalas hanya dengan senyuman. Aditya menarik kursi yang ada dihadapan wanita itu.

"Aku boleh duduk?" tanya Aditya sebelum duduk. Kembali Amanda hanya menjawab dengan anggukan kepala. Pria itu lalu mengusap kepala putrinya.

"Elsa makan apa, Nak?" tanya Aditya dengan senyum manisnya.

"Makan nasi dengan ayam kecap, Om," jawab Elsa.

Senyum miring terbit di bibirnya. Dadanya terasa nyeri juga saat mendengar sang anak memanggil Om dengannya.

"Bukan, Om. Panggil ayah, Nak," ucap Aditya lagi.

Amanda tak berusaha mengubah panggilan putrinya. Bukannya tak punya perasaan. Namun, baginya itu pantas dan wajar. Bukankah Elsa tak pernah mengenal sang ayah. Jadi bukan salah bocah itu.

"Jangan memaksa Elsa, Mas. Nanti secara pelan aku yang akan menjelaskan. Bukan salahnya jika tak mengenal kamu," balas Amanda

Aditya tampak menarik napasnya. Tak bisa membantah ucapan istrinya. Semua itu memang salah dirinya.

Ternyata sesak juga melihat darah daging sendiri tak mengenali diri nya. Tapi dia tak bisa menuntut karena dia sendiri melupakan kewajiban sebagai seorang ayah.

"Maaf, Manda. Aku bukannya memaksa, hanya sedikit lain mendengar anak sendiri memanggil Om," jawab Aditya.

"Itu konsekuensi atas perbuatanmu, Mas. Apa selama ini kamu pernah ingat anakmu? Jadi jangan salahkan dia jika tak mengenalmu!" seru Amanda.

"Iya, Manda. Semua memang salahku," jawab Aditya.

Amanda tersenyum miris mendengar jawaban dari pria itu. Beruntung suaminya itu mau mengaku kesalahannya, jika tidak, dia yang akan mengingatkan kembali.

Amanda lalu memanggil salah satu karyawan untuk membawa Elsa. Dia tak mau sang anak melihat perdebatan mereka. Setelah putrinya pergi, barulah dia bertanya dengan sang suami.

"Ada perlu apa Mas datang? Mana istrimu?" tanya Amanda.

"Aku datang untuk memberikan surat cerai ini. Aku ingin menebus semua kesalahanku dengan membebaskan kamu tanpa menuntut apa pun. Aku hanya ingin kamu mengizinkan jika sesekali aku ingin bertemu atau bicara dengan Elsa. Hanya itu saja yang aku mau, semoga kamu mengizinkan," ucap Aditya.

"Mana suratnya, Mas?" tanya Amanda. Dia sudah tak sabar untuk memasukan ke dalam berkas pengadilan sebagai pelengkap agar proses perceraian cepat selesai. Kemarin dia telah meminta pengacara untuk mengurusnya.

Aditya menyodorkan surat yang berisi ucapan talaknya yang di buat di atas kertas bermaterai. Walau mama dan kakaknya meminta dirinya untuk membujuk Amanda dan kembali rujuK tapi dia menolaknya. Tak adil bagi wanita itu. Cukup sudah dia menderita selama menikah dengannya. Anggap saja surat cerai ini sebagai penebus rasa bersalahnya.

Amanda menerimanya dengan perasaan campur aduk. Entah bahagia atau sedih. Walau ini yang paling dia inginkan, tapi tetap rasa sesak itu ada.

"Amanda Zara Kirana, mulai detik ini kau bukan lagi istriku. Aku bebaskan kamu. Antara aku dan kamu sudah tak memiliki hubungan apa pun lagi. Aku menjatuhkan talak padamu!" ucap Aditya.

Amanda memejamkan matanya. Dadanya terasa sesak. Walau dia menginginkan ini, tapi mendengar ucapan itu keluar langsung dari bibir sang suami sungguh menyakitkan. Dia membiarkan air mata jatuh membasahi pipinya. Mungkin akan menjadi tangisnya terakhir untuk sang suami karena mulai detik ini mereka tak ada ikatan lagi.

Amanda menghapus air matanya. Dia lalu membuka mata dan tersenyum pada pria itu.

"Terima kasih, Mas. Dari kamu aku belajar bagaimana sakitnya mencintai dengan tulus tapi tak pernah dihargai. Dari kamu aku belajar jika tak selamanya sikap manis itu pertanda seseorang mencintai kita. Dari kamu aku belajar bagaimana sakitnya menjadi istri yang setia tapi di balas pengkhianat. Selamat, kamu berhasil membuat seorang Amanda kuat. Akan aku buktikan jika aku ini wanita yang kuat dan mandiri bukan wanita manja seperti yang Kak Dian katakan!" seru Amanda.

"Manda, maafkan jika aku banyak menggoreskan luka di hatimu. Aku tau, bukan hal mudah untuk melupakan dan memaafkan semua salahku, tapi aku berharap suatu saat nanti kamu akan mengerti dengan kepuasanku ini. Aku berdoa agar suatu hari kamu mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dariku. Kamu wanita baik, pantas dapat yang terbaik," balas Aditya.

Amanda tak menjawab ucapan pria itu. Dia masih tak percaya jika pada akhirnya dia benar-benar menyandang status janda akhirnya setelah tiga tahun di gantung.

"Mas, sudah terlalu banyak sabarku yang sia-sia. Aku keliru berpikir kau akan berubah seiring aku bertahan. TERNYATA KAU TAK BUTUH SABAR. Melainkan aku yang kurang sadar. Seharusnya ku lepaskan kau lebih awal agar tidak ada lagi manusia yang rela menyakiti dirinya sendiri, demi seseorang yang perasaannya entah tumbuh untuk siapa," ujar Amanda. Dia menarik napas sebelum akhirnya mengatakan sesuatu lagi.

"Seharusnya dari awal kepergianmu aku sadar jika kau tak pernah mencintaiku dan kau pergi dengan sadar. Akhirnya aku ada pada titik ini. Melepaskan kamu dan kita tak memiliki ikatan apa pun. Aku juga mendoakan agar kamu bahagia dengan pilihanmu. Maaf jika selama ini kamu terpaksa hidup denganku padahal tak ada cinta!" seru Amanda. Suaranya terdengar parau karena menahan tangis.

"Sekali lagi maafkan aku, Manda. Aku tak bermaksud membuat kamu terluka begini dalam. Aku pamit. Jika ada yang kamu butuhkan untuk perceraian kita, hubungi saja aku. Ini nomorku, kamu bisa menyimpannya jika suatu saat kamu butuh, tak sulit mencari kontak ku lagi," ucap Aditya sambil menyerahkan selembar kertas.

Aditya lalu melangkah pergi meninggalkan kafe itu. Langkahnya terhenti saat melihat Elsa bermain. Dia mendekati bocah itu. Memeluk dan mengecup rambutnya. Amanda yang melihat dari kejauhan, membiarkan saja apa yang dilakukan pria itu.

Cukup lama Aditya memeluk putrinya sebelum akhirnya pergi meninggalkan bocah itu. Tangis Amanda akhirnya pecah.

"Tuhan, terima kasih karena sudah pernah menitipkan rasa yang begitu luar biasa padaku untuk seseorang. Setidaknya aku pernah menemukan sosok yang membuat aku mencintainya dengan rasa yang begitu dalam. Dia, laki-laki yang mengajarkan aku titik tertinggi mencintai yaitu dengan mengikhlaskan. Dia membuat aku jatuh cinta se jatuh-jatuhnya. Dia laki-laki yang aku cintai dengan tiba-tiba dan mengikhlaskan secara tiba-tiba juga. Ketika aku berusaha untuk terbiasa tanpanya, rasanya aku hampir gila karena melawan rindu. Aku pernah sabar karena menahan diri untuk tidak mencarinya, bahkan aku menangis terisak saat mengingatnya. Lantas jika takdir saat ini kami tidak bisa lagi bersatu, maka tolong bantu aku dengan rasa ikhlas. Sebab melepaskannya adalah keterpaksaan yang benar-benar nyaris membuat aku hampir membenci takdir aku sendiri."