Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21
Aku tak tahu bagaimana caranya menormalkan debaran jantungku yang kian menggila.
Setelah beberapa saat dalam posisi saling berhadapan tadi, alih-alih memberiku ijin saat aku akan ke dapur, dia malah kembali menarikku dengan paksa, lalu mengangkat daguku.
Sedetik kemudian dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, karena aku sedikit kurang paham, secara reflek ku jauhkan wajahku darinya. Namun dengan tangkas pak Arsya menahanya.
Aku sendiri menahan napas begitu pak Arsya menempelkan bibirnya di pipi kananku, bibirnya lantas bergeser hingga berhenti tepat di bibirku.
Aku yang sebelumnya merasakan dinginnya suhu kamar pak Arsya karena pendingin ruangan menyala. Namun sekarang aku seperti kehilangan jejak dingin yang ku rasakan tadi.
"Aku mau masak dulu!" Kataku, setelah melepas tautan bibir kami.
Memasak hanya alasanku supaya bisa menghindar, dan sejujurnya aku malu, ini ciuman pertamaku, rasanya aneh apalagi berciuman dengan pria hebat seperti pak Arsya, pria yang belum aku kenal sebelumnya.
Dia pasti menganggapku bodoh karena aku tak merespon kecupannya.
"Oh ya" Kataku sebelum benar-benar beranjak meninggalkannya.
"Aku mohon jangan beri tahu bu Prilly tentang aku"
"Kenapa?" Balasnya cepat.
"Aku belum siap"
"Lalu kapan kamu siap?"
Aku menggeleng meresponnya. "Aku sendiri nggak tahu kapan siap"
Pria di depanku mengembuskan napas pelan, lalu perlahan membawaku duduk di tepian ranjang, sementara pak Arsya menarik kursi putar miliknya.
"Terus maumu gimana?" Tanyanya. Dia duduk menghadapku seraya menatapku penuh lekat.
"Aku tahu betul mamah nggak akan dengan mudahnya menerimamu" Lanjutnya membuat jantungku seperti berhenti berdetak selama beberapa detik. Jelas aku masih takut dengan wanita paruh baya itu.
"Tapi jangan khawatir, aku akan tetap bersamamu, apalagi setelah tahu kalau ART ku adalah istriku sendiri, aku semakin bulat buat nggak ninggalin kamu"
"Kenapa begitu? Maksudku semudah itu pak Arsya berkata demikian? Apa pak Arsya benar-benar menerimaku? Aku ini banyak keku_"
"Semua orang punya kekurangan dan kelebihan" Potongnya secepat kilat. "Aku nggak melihat kekuranganmu, aku melihat kelebihan yang ada di dirimu. Sebulan lebih tinggal bersamamu, membuatku diam-diam berharap kalau seandainya Rere itu kamu. Gadis penurut, lemah lembut, nggak mudah marah, dan_"
"Dan apa?" Tanyaku mengerutkan kening.
"Cantik, lumayan tinggi, dan juga langsing"
Wajahku mungkin memerah mendengar pujiannya.
"Aku serius, aku baru tahu ada ART secantik kamu"
Spontan tanganku mencubit pinggang pak Arsya.
"Awh" Desisnya sambil melentingkan badan.
"Jangan memujiku, aku nggak suka di puji"
"Okay, kita kembali ke topik awal" Dia meraih kedua tanganku. "Maumu gimana?"
"Sepertinya untuk saat ini aku tetap menjadi Rere di depan Bu Prilly"
"Sampai kapan?"
"Sudah ku bilang sampai aku siap"
"Baiklah, terserah kamu. Tapi jangan terlalu lama, karena sepandai-pandainya kita menyimpan bangkai, baunya akan kecium juga. Seperti kamu yang ketahuan nyamar jadi ART"
"Jangan bahas itu" Kataku malu-malu.
"Dan ingat! Mulai saat ini jangan simpan ketakutanmu sendirian, aku ada bersamamu, aku akan menggantikan peran ayahmu, sekaligus menjadi suami buat kamu. Aku juga minta maaf karena kakek, ayahmu meninggal"
Ku telan ludahku dengan setengah mati. Membahas ayah, rasanya aku seperti ingin menangis.
"Pak Arsya nggak tanya apakah aku menerima bapak?"
"Terima ataupun enggak, mau nggak mau, kamu tetap harus menerimaku" Selorohnya.
"Pemaksa"
"Aku memang pemaksa" Sahutnya bercanda.
Tiba-tiba, kami mendengar bunyi perutku yang meminta untuk di isi makanan.
"Kamu lapar?"
Aku mengangguk ragu.
"Di hotel tadi nggak makan?"
Kedua alisku menukik tajam "Pak Arsya tahu aku di hotel?"
"Tadi di hotel nggak makan?" Ulangnya saat aku tak menjawab pertanyaannya.
"Enggak"
"Kenapa? Diet?"
"Enggak juga"
"Kalau kamu diet aku nggak akan bekerja" Ucapnya, membuatku bingung.
"Kenapa?"
"Ya ngapain capek-capek kerja kalau istrinya nggak makan"
Kemudian hening, aku tak bisa berkata-kata sampai satu menit berlalu.
"Bapak tahu aku di hotel seharian ini?" Tanyaku lagi.
"Aku sampai menyuruh orangku buat nanyain ke resepsionis hotel, kamu janjian sama siapa di sana"
"Aku nggak janjian dengan siapapun"
"Aku tahu" balas pak Arsya, membuatku kembali keheranan. "Sudah ku bilang kan aku menyuruh orang buat mengawasimu, jadi aku tahu kemana saja kaku tadi siang, karena orang suruhanku selalu up to date kasih info ke aku"
Jadi pas aku di makam, memang benar-benar ada orang yang mengambil gambarku untuk di informasikan kepada pak Arsya.
Hhh... Orang kaya, apapun memang bisa di lakukan.
"Kenapa nggak pak Arsya sendiri yang mengawasiku?" Tanyaku setelah diam sejenak.
"Aku harus mencari bukti apakah kamu benar-benar wanita yang ku nikahi. Aku nggak sepenuhnya percaya pada Shema karena dia memberitahuku dengan terburu-buru, dia langsung menutup telfonnya dan tidak bisa ku hubungi balik"
"Bukannya tidak bisa di hubungi, Shema pasti memblokir nomor pak Arsya"
"Memblock nomorku?" Keningnya mengernyit.
"Bu Prilly menyadap ponsel Shema, dia tidak bisa bebas berkirim pesan dengan siapapun itu"
"Mamah, mamah" Rintihnya sembari menggelengkan kepala. Pria itu sepertinya kaget dengan perbuatan mamanya.
"Sudah jam delapan, aku masak dulu" Aku langsung berdiri setelah mengatakan itu.
"Jangan lama-lama" Pria di depanku mendongak, dan aku hanya bisa merespon dengan senyuman.
Bersambung
mau mendengarkan Alasan Afi pergi ke Kanada
sedikit aku
yaa rabbi..pasti serba salah kaan ifa nya...arsya yakin kepergian ifa di dalangi oleh sang mama...dan mama prilly bersiap lah untuk kehilangan arsya 😃😃
di tunggu karma prily
afi pergi pasti lg dalam keadaan hamil
duuuh kasihan banget seh fi hidup kamu
awas Arsya jangan sampe kamu mau di nikah kan sama si ulet bulu Silvia,,dia pembawa virus
enak kan sil senjata makan tuan
itu mama nya Silvia bener2 bikin gedek