Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga
Naii mencoba menarik nafasnya dengan berat, ibarat sudah terjatuh tertimpa tangga pula nasibnya saat ini.
"Kita mau kemana, Bu?" tanya Aliyah yang saat ini sudah tampak mulai mengantuk.
"Mau ke penampungan, tepatnya digudang," sambut Maya dengan senyum sinis.
Naii merapatkan giginya dan merasakan jika kali ujiannya sangat begitu berat.
"Bu, apa benar kita mau tidur digudang?" Sela Ahnaf dengan wajah lugunya.
"Kalau sudah miskin, tidur dimana saja juga biasa. Sudah mending Mbak Fhitry mau menampung," sambut Rani dengan gelak tawa yang semakin membuat Naii merasa down.
"Diam!! Punya mulut bisa gak sih dijaga? Mau saya nampung itu urusan saya. Bukannya bantu, tapi cuma bisa nyinyir doank," mbak Fhitry merasa jengah dengan segala ocehan mereka. Lalu ia menarik pergelangan tangan Naii untuk segera pergi dari hadapan para tetangga julid bin nyelekit.
Mereka bergegas pergi dan memilih untuk menghindari ocehan para tetangga yang saat ini akan membuat hati Naii semakin sakit.
Sesampainya dibelakang rumah Mbak Syahfitri, mereka menurunkan barang yang terlalu banyak dan juga tak begitu istimewa.
"Hanya ini yang bisa mbak lakukan, Naii. Maafkan mbak," ucap Mbak Fhitry dengan lirih.
"Ya ampun, mbak. Ini juga sudah bersyukur, andai mbak tidak memberikan tumpangan, maka saya pasti akan tidur dijalanan," jawab Naai penuh sungkan .
Sementara itu, Hardi sedang berada cafe bersama Selly si janda pirang yang saat ini menjadi primadona bagi pengunjung cafe tersebut. Banyak pelanggan yang berusaha ingin mendapatkan layanan si janda pirang yang menampilkan pesona luar biasa. Tak terkecuali Hardi yang saat ini sedang gencar untuk mendekatinya.
"Hallo, Selly cantikku," ucapnya dengan gaya yang sok maskulin. Ia menghampiri wanita malam itu dengan menyelipkan selembar uang ratusan ribu pada bra yang dikenakan oleh sang wanita malam.
"Ih, Bang Hardi, jangan dekat-dekat. Nyawer juga cuma seratus ribu doank," balas Selly acuh.
"Aduuh, jangan gitu donk, Sayang. Abang masih banyak uang, yang penting kamu pua-sin abang malam ini," rayu Hardi yang sudah melingkarkan kedua tangannya dipinggang wanita tersebut.
Sementara itu, Naii masih membersihkan gudang yang sedikit berdebu. Ia harus berbagi tempat dengan barang-barang milik Mbak Fhitry. Tetapi ini sudah sangat ia syukuri, setidaknya ia tidak tidur dijalanan ataupun kolong jembatan yang memungkinkan rawan akan tindak kejahatan.
Naii menggelar kasur lusuhnya, lalu memasang sprei untuk membuatnya lebih nyaman.
"Bu, Liyah lapar," rengek si bungsu, sembari mengusap perutnya yang rata. Ia terlihat lebih kurus dan kekurangan asupan gizi karena kondisi orangtuanya yang sangat memprihatinkan.
Naii meraaakan hatinya sangat teriris mendengar penuturan puterinya. Ia mencoba membongkar bungkusan kain yang menyimpan barang-barangnya. Ia mengingat ada dua sisa pisang goreng dari dagangannya sore tadi.
Setelah membongkar setengah barangnya, ia menemukan yang ia cari. "Ahnaf, sini, Sayang," panggilnya kepada si sulung. Ia tahu puteranya itu juga belum makan malam, tetapi lebih memilih tidak rewel, sebab mengerti kondisi ibunya.
"Iya, bu," jaqabnya. Lalu meletakkan barang yang masih tersisa diluar.
"Sini, makan. Hanya pisang goreng, makan bagi dua dengan adik, ya?" ucap Naii, sembari memberikan satu pisang goreng kepada masing-masing keduanya.
Dilain sisi, Hardi sedang berkaraoke dengan ditemani oleh Selly sebagai pemandunya. Tampak Pria itu sangat begitu senang. Ia akan menyelipkan lembaran uang ke dalam bra wanita malam itu setiap kali mendapatkan kecupan dipipinya.
"Ibu makan juga, ya," ucap Ahnaf, lalu membagi dua pisang goreng ditangannya.
Naii menggelengkan kepalanya. "Ibu sudah makan, kakak makan saja, biar cepat besar," ucap Naii ditengah kebohongannya, sebab perutnya saat ini sangat perih, karena ia memiliki penyakit maagh, itu disebabkan karena seringnya kekurangan makanan.
Ahnaf merobek sedikit pisang gorengnya, lalu menyuapkannya pada Naii, "Makanlah, Bu," pintanya dengan tatapan penuh cinta.
Naii tak mampu membendung air matanya ia akhirnya membuka mulutnya dan menerima secuil pisang goreng itu, meskipun tak memungkiri jika itu tak mampu membuatnya kenyang.
"Assallammualikum," suara mbak Fhitry dari ambang pintu.
"Waalaikum salam," jawab ketiganya serempak.
Wanita itu berjalan masuk dengan membawa sepiring nasih dan juga kelambu yang sudah tampak kusam, namun masih dapat digunakan.
"Ini makanan untuk makan malammu, hanya ini yang tersisa, tadi mbak tidak masak, sebab Kang Jaya membeli dari warung nasi," ucap wanita itu sembari menyerahkan yang ia bawa.
Naii menyambutnya. Tanpa mampu ia tahan, akhirnya air matanya tumpah juga.
"Sudahlah, jangan menangis. Kamu harus kuat, demi anak-anakmu." Mbak Fhitry mencoba membelai ujung kepala Naii untuk memberikan semangat kepadanya.
"Makasih banyak, mbak, atas semuanya," ucap Naii tergugu.
"Iya.. Hanya ini yang dapat mbak bantu untukmu. Jangan lupa kelambunya dipasang, sebab banyak nyamuk," pesan mbak Fhitry.
Naii hanya dapat menganggukkan kepalanya. Lalu tetangga yang sudah menolongnya itu berpamitan.
Ahnaf mengunci pintu gudang, dan malam ini mereka bermalam digudang milik mbak Fhitry bersama barang-barang lainnya.
"Horee, ada daging ayam, Bu," sorak Ahnaf kegirangan saat melihat sepotong daging ayam rendang yang berada diatas nasi putih yang terlihat menggunung. Sepertinya mbak Fhitry sengaja memberi banyak nasi dengan porsi bertiga.
Naii hanya dapat tersenyum kecut, sebab ia sangat jarang memberi anaknya makan enak. Dapat makan dengan garam ataupun ikan asin saja sudah sangat bersyukur, konon pula untuk membeli ayam, maka itu hanya dalam impian saja.
"Kakak dan adik mau makan?" tanya Naii, sembari menyeka air matanya yang mengalir dari sudut matanya.
Tampak kedua bocah itu bersemangat menyantab makan malamnya, dan Naii hanya memakan nasi dengan bumbunya saja.
"Enak, Bu," celoteh Aliyah dengan girangnya.
Naii hanya menaggapinya dengan senyum miris.
Sementara itu, Mbak Fhitry memasuki kamarnya dan ingin beristirahat.
"Anak-anaknya sudah makan?" tanya Jaya dengan nada lirih.
"Sudah, Kang," jawab Fhitry, sembari naik ke atas ranjang.
"Heeh..," terdengar Jaya menghela nafasnya dengan berat, "Mengapa ada manusia berhati keras seperti itu?" gumamnya lirih.
"Ya adalah, itu si Hardi, contohnya," jawab Fhitry dengan sebal. "Rasanya pengen banget aku gelitiki ginjalnya si Hardi," Fhitry menimpali ucapnnya.
"Sudahlah, yang penting suami kamu tidak seperti itu, dan kita bantu semampunya," potong Jaya.
Fhitry menganggukkan kepalanya, lalu mencoba untuk tertidur, sebab ia juga sudah lelah.
Didalam gudang, Naii memasang kelambu pemberian dari mbak Fhitry, dan menidurkan kedua anaknya.
Ia memandang wajah kedua anaknya dengan penuh iba.
"Ibu berjanji tidak akan membuat kalian sengsara lagi. Semua akan ibu lakukan untuk membuat kalian bahagia," gumam Naii lirih sembari menyapu ujung kepala kedua anaknya. Ia bertekad untuk memperbaiki hidupnya yang sangat terpuruk.