Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Nur tak membantah, biarlah kali ini dia mengalah. Meksi batinnya tersiksa karena selalu di rendahkan oleh mertua Zahra, Nur tak bisa berbuat banyak.
Ingin meminta bantuan pada sanga adik, Nur khawatir apa yang di ucapkan oleh ibu mertuanya akan di benarkan oleh Zahra.
Nur benar-benar gamang.
"Tolong jaga Cici. Ibu mau keluar sebentar!" titah Wati seperti seorang nyonya.
Nur pun hanya bisa mengangguk. Dia memang dekat dengan keponakannya itu. Cici tak merasa asing dengan Nur yang merupakan budenya.
"Cici mau ke mana?" tanya Nur saat keponakannya itu menarik tangannya menuju pintu utama.
"Cici mau main di taman bude. Main sepeda," ucap balita itu.
"Oh oke, bude kunci pintu dulu ya, nanti kita ke taman."
Nur bingung di mana dia harus meletakkan kunci rumah sang adik. Karena tak tahu kapan ibu mertua adiknya itu kembali, Nur memutuskan untuk membawa kunci rumah itu saja.
Lagi pula Nur yakin kalau Wati mungkin tahu di mana keberadaannya. Dia hanya menebak, jika Wati mungkin biasa mengajak Cici main ke taman dekat perumahan mereka.
Benar saja, di sana banyak anak-anak seusia Cici tengah bermain bersama ibu mereka masing-masing.
"Eh Cici datang sama siapa? Mbak pengasuh baru?" ucap salah seorang ibu-ibu padanya.
Nur membalas wanita seusia adiknya itu dengan terseyum kaku. Lidahnya kelu saat ingin memberitahu siapa dirinya pada ibu-ibu itu.
Dalam hati Nur merasa rendah diri, bisa saja dirinya akan di rendahkan lagi karena mungkin tak seimbang dengan adiknya.
Nur lantas menelisik penampilannya, apa sebegitu lusuh dirinya hingga di anggap sebagai seorang pengasuh anak-anak.
Dia memilih fokus menjaga Cici dari pada berkumpul bersama ibu-ibu yang tengah bergosip di pinggir taman.
Nur merasa heran, karena ibu-ibu itu seperti tak memedulikan anak-anak mereka yang bermain tanpa aturan.
Tak lama, datanglah Wati dengan wajah merah padamnya.
"Kenapa pintu rumah kamu kunci sih!" bentak Wati kesal.
"Maaf bu, saya ngga tahu mau taruh di mana kuncinya, jadi saya bawa."
"Nenek Cici, pengasuh baru Cici ya?" sapa salah satu ibu-ibu itu.
Wati lantas tersenyum pada mereka. Berbeda saat berhadapan dengan Nur tadi.
"Ah iya," jawab Wati yang tak memikirkan perasaan Nur.
"Sini kuncinya. Awas, jaga Cici baik-baik, kalau sampai terjadi sesuatu sama Cici, habis kamu!" ancam Wati.
Nur hanya bisa menghela napas sepeninggal Wati. Benar-benar manusia bisa bermuka dua, setelah dirinya jatuh, bahkan banyak orang yang menjauh bahkan tak menghargainya.
Dirinya ingat jika dulu, dirinyalah yang banyak membantu pernikahan Zahra dan Farid.
Bahkan dirinya juga membantu memberikan uang muka untuk Zahra dan Farid agar bisa membeli rumah mereka.
Namun, sepertinya semua pengorbanan itu tak berarti bagi Wati dan Farid. Karena bisa saja mereka lupa dengan kebaikannya.
Nur juga tak mungkin mengungkit hal itu. Lagi pula dia ikhlas membantu adik-adiknya dulu.
Saat tengah termenung, tiba-tiba suara ibu-ibu saling berteriak membuat Nur tersadar dan ikut menatap pada sesuatu yang menjadi objek mereka.
Betapa terkejutnya Nur saat mengetahui jika sang keponakan terjatuh dengan kepalanya mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Nur yang panik lantas menerobos mereka dan menggendong sang keponakan yang mengis histeris.
"Ini kenapa sama Cici mbak?" tanya Nur meminta penjelasan.
"Kita ngga tahu, tiba-tiba aja Cici udah jatuh kesungkur. Lagian kamu ngelamun aja! Cepat bawa ke klinik, kasihan itu kepalanya bocor."
Dengan tubuh gemetar, Nur membawa sang keponakan menuju klinik yang berada tak jauh dari taman.
Beruntung ada salah satu ibu-ibu yang membawa kendaraan bermotor mau membantunya.
Nur tak henti-hentinya menangis merasa bersalah.
Dirinya tak tahu akan sekecewa apa sang adik jika mengetahui keadaan anaknya jadi seperti ini karena kelalaiannya.
Saat sedang di lakukan tindakan, Nur tak bisa ikut masuk. Dirinya hanya bisa mendengar jeritan balita itu di luar ruangan.
Tak lama, Wati datang bersama salah seorang ibu-ibu yang tadi juga berada di taman.
Tanpa bertanya terlebih dahulu, Wati langsung menampar Nur.
"Kamu apakan cucu saya hah! Bukannya aku udah bilang jaga dia! Kamu malah ngelamun. Kalau emang ngga mau jaga Cici sebaiknya kamu jangan bawa dia main. Sekalinya main kamu malah bikin dia celaka. Kamu emamg pembawa sial!"
Kata-kata terakhir Wati membuat air mata Nur kembali tumpah. Benarkah dirinya adalah pembawa sial?
Nur jatuh terduduk karena syok dengan hujatan Wati padanya.
Dirinya bahkan tak bisa membela diri karena memang Nur merasa itu salahnya.
Suara tangisan Cici sudah tak terdengar. Seorang Dokter lalu keluar dan membolehkan mereka menjenguk Cici.
"Kamu jangan masuk! Jangan dekati cucu saya!" kecam Wati tajam.
"Tapi Bu, saya mau lihat gimana keadaan Cici."
"Ngga perlu, kamu malah bisa bikin dia trauma nanti!"
Karena di larang oleh Wati, Nur hanya bisa pasrah dan menunggu di depan.
Cici belum bisa langsung di bawa pulang karena Dokter harus memastikan jika balita itu tak mengalami gegar otak.
Lalu datanglah Zahra dengan wajah yang sembab.
"Mbak? Mana Cici? Cici kenapa mbak?" cecarnya.
Mungkin karena mendengar suara sang menantu, Wati lantas keluar untuk menemui menantunya.
"Ini semua gara-gara mbakmu itu! Masih kamu mau nampung dia Ra? Lihat, baru sehari Cici sama dia udah celaka. Kalau sampai kamu ngga usir dia. Maka ibu akan bawa Cici pulang ke rumah ibu. Ibu enggak mau terjadi sesuatu lagi sama Cici selama mbakmu itu masih di rumah kalian!"
.
.
.
Lanjut