Berangkat dari cinta manis di SMA, Daris dan Felicia duduk bersanding di pelaminan.
Perkawinan mereka hanya seumur jagung. Felicia merasa tertipu dengan status sosial Daris. Padahal Daris tidak pernah menipunya.
Dapatkah cinta mengalahkan kasta, sementara berbagai peristiwa menggiring mereka untuk menghapus jejak masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon grandpa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Lagi Seorang Pemaaf
PKL kecewa Daris menarik berkas aduan.
Pelaku keenakan kalau perbuatan kriminal dimaafkan.
Daris jadi kesal. Mereka tidak tahu bahaya yang terjadi.
"Kalian tahu kenapa aku mencabut laporan?" tanya Daris. "Aku menyelamatkan Hilda dan Elsa."
"Kau mencurigai mereka pelakunya? Gila!"
"Kalian gila! Polisi akan meneruskan penyelidikan terhadap bukti yang ditemukan! Kau tahu tersangka sekarang mengarah ke mana?"
"Tapi bukan mereka pelakunya!"
"Kau bisa membuktikan mereka bukan pelakunya?"
Mereka diam.
"Aku tahu bukan Hilda dan Elsa pelakunya. Tapi bukti mengarah ke mereka! Kalian mau mereka masuk sel?"
Daris kecewa dengan kebodohan mereka.
Situasi memaksa Daris untuk menutup kasus ini.
Ia tidak mau tersangka sebenarnya bebas dan sahabatnya diproses.
"Kapan kau mulai jualan lagi?" tanya ibunya melihat Daris duduk merenung di teras pagi-pagi. "Kau pakai saja tabungan untuk memperbaiki kedai."
"Biarlah aku terlihat seolah-olah bangkrut. Ia menginginkan aku seperti itu."
Ibunya memandang bingung. "Ia? Ia siapa?"
"Orang yang ingin memiskinkan diriku. Aku tidak tahu siapa."
Daris ingin menutup kecurigaan ibunya. Ia tidak mau masalah jadi besar dan membahayakan keluarganya, sebab masih bersifat dugaan.
"Aku bangun kedai nanti di waktu yang tepat."
Daris tidak tahu kapan waktu itu tiba.
Percuma membangun sekarang karena pasti dihancurkan lagi.
Daris tak cukup uang untuk menandingi mereka.
"Sementara waktu aku akan menjadi pedagang keliling."
Ibunya terkejut. "Untuk apa kau menyengsarakan diri? Bukankah di Alun-alun sudah enak jualan?"
Daris sudah banyak pelanggan di Alun-alun, ia ingin merubah strategi dengan mengantar ke kantor mereka, sekalian berjualan keliling.
Bahkan beberapa ibu di perumahan elit sudah biasa diantar dengan ojek online.
Daris tidak perlu bersembunyi dari orang yang ingin menghancurkannya. Ia hanya perlu bertahan.
"Persoalannya adalah keamanan usahaku, sementara waktu Alun-alun tidak aman bagiku."
"Apakah mereka suruhan Felicia?"
"Janganlah berasumsi. Asumsi itu akan menghancurkan kita sendiri."
Daris perlu membangun kekuatan bisnis untuk bertahan, dan tidak dapat dilakukan secara instan.
"Minggu depan aku mulai usaha lagi, aku lagi pesan gerobak."
Dengan gerobak Daris dapat menyisir warga di gang sempit.
Daris juga ingin mencari lokasi baru untuk usaha, ia sudah bulat untuk meninggalkan Alun-alun.
Perusakan itu bukti nyata bahwa Daris perlu dibuat menderita, ia sudah menjadi terhukum tanpa tahu apa kesalahannya.
"Kau bukan lagi seorang pemaaf," keluh Daris. "Aku tahu kau kecewa, tapi kau keliru kalau aku akan hancur."
Daris yakin orang di balik layar adalah Felicia. Tapi keyakinan itu cukup untuk dirinya.
Daris tidak ingin menyeret keluarganya dalam bahaya.
"Aku perhatikan dari balik gorden kalau tampaknya lagi galau berat."
Firman muncul dari dalam rumah di seberang gang sambil membawa gitar.
"Kau pernah bilang digenjrengin saja."
Firman contoh suami tanpa beban. Kepergian istri ke Timur Tengah diisinya dengan petikan gitar.
Ketika tersiar kabar istri selingkuh dengan anak majikan, Firman menciptakan lagu Ku Memaafkanmu.
Lagu tidak selesai, selingkuh juga begitu.
"Sinilah ngopi bersamaku," kata Firman. "Kita lagi sama-sama galau. Kau tahu galauku apa."
Daris meninggalkan kursi teras dan pindah duduk di samping Firman.
"Kau bilang anak majikan pergi ke Amerika, berarti skandal selesai. Bikin kisah apa lagi istrimu?"
"Istriku dibawa pindah ke Boston. Kontraknya diperpanjang sampai anak majikan lulus master."
Kesetiaan tercampakkan karena uang. Uang sudah menjadi agama bagi wanita modern.
Mereka siap mengeksploitasi apa saja untuk mendapatkan keuntungan.
"Adikmu bilang semasa SMA kau jago bermain gitar," kata Firman. "Kenapa ia berguru padaku? Apakah ada kisah pilu dengan gitar sehingga kau melupakan bakat senimu?"
Gitar adalah perekat cinta Daris dan Felicia. Manakala mereka berpisah, gitar mulai ditinggalkan.
Gitar semakin terlupakan dengan kebangkrutan ayahnya. Tidak ada waktu untuk bernyanyi.
Gitar dilelang buat biaya kuliah dan modal dagang. Tapi percuma cerita, Firman pasti tidak percaya kalau Daris pernah punya gitar seharga ratusan juta.
Biarlah gitar itu menjadi penutup kejayaan di masa lalu.
"Aku ingin mendengar suaramu," ujar Firman. "Cobalah kau hibur kawanmu ini."
"Lagu Ku Memaafkanmu sudah selesai?"
"Belumlah, kisahnya berlanjut ke Boston. Aku tidak tahu apakah orang Boston pemaaf? Tapi sebentar..."
Firman pergi ke dalam, lalu keluar lagi membawa buku tulis.
"Aku mempunyai lagu trilogi cinta, kisah tentang aku dan istriku dulu. Kau bisa membaca not kan?"
Daris membaca lirik lagu itu. Ia mengakui Firman pandai memilih kata, jarang diucapkan tapi familier didengar.
Daris mencoba lagu Ku Memujamu. Ia begitu menghayati lagu itu, sampai Firman melongo dan mulutnya baru menutup ketika lalat masuk.
"Jorok," kata Daris.
"Aku lepehin."
"Seperti itulah perempuan, kalau bikin mual, lepehin saja."
Firman menepuk bahunya. "Bertahun-tahun aku mencari penyanyi yang pas untuk lagu itu. Nyatanya penyanyi itu ada di depan rumahku."
"Lebay."
"Kesuksesan di depan mata! Kau ganteng maksimal dengan suara spesial! Kau akan membuat para gadis meleleh!"
Kelamaan bersahabat dengan gitar, Firman jadi banyak bermimpi, bahkan sinting.
Firman mempunyai studio kecil dengan peralatan lumayan canggih, ia rupanya kreator konten gagal.
Kini Firman mencoba meraih mimpi bersamanya. Padahal keberuntungan tidak bersahabat dengan mereka.
"Kita mesti atur pembagian profit dari sekarang, aku minta fifty-fifty, bagaimana?"
"Terserah."
Daris jadi keroncongan mendengarnya. Ia lupa belum sarapan.
"Memalukan," kata Firman. "Calon artis besar sampai kelaparan. Di meja makan ada singkong rebus."
Daris memilih pulang. Ibunya sedang menyiapkan nasi goreng ketika ditinggal pergi.
Daris tidak mau mengecewakan ibunya. Ia selalu memakan habis masakan yang disajikan ibunya.
Daris ingin mendapat berkah dari tangan ibunya.
Tiara kirim chat, "Akhir pekan jadi ke rumah kan? Tolong titip pembalut. Aku lagi malas ke kota."
Nasi goreng yang sudah sampai di tenggorokan hampir keluar lagi. Sialan.
Daris sudah ditunggu Tiara untuk berkemah akhir pekan ini.
Sewaktu kuliah Tiara sering minta dibelikan pembalut. Pernah Daris menolak, malahan sengaja dibikin tembus dan berjalan pincang, asumsi orang jadi lain.
Daris membalas, "Tanya suster Nina sama adikku, butuh juga nggak?"
Sudah kepalang basah, biar sekalian malunya.
"Fiona nggak ditanya?"
"Kalian kan bareng datang bulannya."
"Beli lima pak."
"Satu lagi buat mandor?"
"Ibuku!"
Daris rela belanja barang yang tidak lazim bagi laki-laki. Ia kuatir Rania mendapat kesulitan kalau menolak, meski ia percaya Tiara bukan tipe dokter seperti itu.
"Ibu saja kalau malu," kata ibunya. "Adikmu di pelosok banget ya?"
"Begitulah, setiap senja terdengar suara jangkrik, tonggeret, caplak...."
"Kasihan sekali."
"Ibu ikut saja bersamaku besok, biar tahu si adek sangat senang koas di Puskesmas. Tiap hari satu pasien."
"Sedikit sekali."
"Kalah pamor sama dukun."
Daris mengeluarkan motor. Firman muncul dengan riang gembira.
"Apa kubilang...!"
"Perasaan belum bilang apa-apa."
"Baru satu jam sudah seratus ribu viewers!"