Mengira bahwa Evan–suaminya hendak membunuhnya, Rose memilih menyerang pria tersebut. Tanpa tahu bahwa Evan berupaya melindungi Rose biarpun tahu bahwa dirinya akan meninggal di tangan istrinya sendiri.
Penyesalan selalu datang belakangan, namun hadir kesempatan untuk memperbaiki garis nasib yang mengikatnya dalam bayangan cinta dan dendam. Rose kembali mengulangi kehidupannya, satu demi satu disadarkan dengan bunga tidur misterius.
Mempraktekkan intrik dan ancaman, menemukan pesona sihir untuk memutus tali asmara yang kusut antara Rose dan Evan yang menjadi suaminya di kehidupan lama dan sekarang. Apakah ia akan berhasil membalik takbir yang telah ditentukan oleh Dewa, atau malah gagal melakukannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - First Dance
Chloe bergegas menunduk dan menimpali dengan tutur kata sehalus porselen, "Semoga cahaya kekaisaran selalu berdiri kuat dan menyelimuti anda, Yang Mulia."
Dalam hatinya, Chloe sudah mengacungkan jempol besar atas tindakan anggun sahabatnya. Namun wajahnya di permukaan bak air yang begitu dalam–tidak beriak sedikit pun.
Faktanya, dapat dikatakan bahwa mayoritas bangsawan selalu menampilkan ekspresi yang tidak bisa dipahami dalam sekali tatap, terkadang mengibaskan kipas kertasnya dan menutupi bagian bibir dan hidungnya.
Duchess Aurora mengangkat gelasnya kecil, "Saya senang kalian menerima undangan saya dan datang ke acara ini."
Putri pertama kekaisaran Vollerei memandu keduanya untuk bergabung dalam pembicaraan formal seraya mendorong mereka agar dapat menyamankan diri masing masing.
"Maafkan keterlambatan kami sebelumnya, terdapat kendala di tengah perjalanan, yang menghambat kami berdua untuk datang kemari," tutur Rose.
Duchess Aurora menepisnya dengan lembut dan menganggap keterlambatan mereka sebagai hal kecil. Memasang wajah lembutnya. "Yang terpenting adalah kalian sudah meluangkan waktu untuk datang hari ini, saya tidak keberatan."
Tiba tiba bahu Duchess Aurora ditepuk. Rose dan Chloe pun mengalihkan pusat pandangannya menuju pria jangkung di belakang Duchess. Duchess Aurora tersenyum lebar dan memperkenalkan pria tersebut pada teman barunya.
"Perkenalkan ini adalah kakakku, Pangeran Ketiga Bridgethrone Vollerei." Otomatis mereka berdua menunduk hormat.
Tanpa perlu dikenalkan, seluruh tamu pun telah tahu siapa gerangan lelaki yang baru saja menepuk bahu sang adik.
Sebaliknya bangsawan terkemuka yang menyadari kehadiran pangeran "kura kura bersembunyi dalam tempurungnya" terpana. Bukan main pesona setiap anak yang berpotensi menggenggam mahkota Kerajaan Vollerei di masa depan.
Wajahnya bak pinang dibelah dua dengan sang putri dalam balutan pakaian formal. Beberapa gadis berbisik dalam penutup kipas kertas, sesekali matanya berotasi antara Duchess Aurora dan Pangeran Bridgethrone.
"Apakah dia Pangeran Ketiga si pemalu?"
"Sepertinya iya, madam. Wajahnya sangat sama persis dengan Putri Pertama."
"Tidak salah lagi, betapa beruntungnya kedua perempuan di dekat Putri Pertama!"
Suasana kian memanas ketika sosok yang agung dan dihormati oleh para rakyat sudah menancapkan kakinya ke dalam acara ini. Menghadiri acara penyelenggaraan debutante putri angkatnya sendiri, Duchess Aurora Grace Vollerei. Langkah tegap dari tangga teratas mengakibatkan semua orang memalingkan pandangan dari si tokoh utama acara.
Kasak-kusuk yang masih terdengar menjadi redup tatkala sosok tegap di atas tangga emas berdeham. Bangsawan terutama kaum wanita berhenti berbisik ataupun bergosip. Melihat sosok agung yang patut dihormati melebihi pangeran dan putri di bawah, semuanya berlutut. Tidak terkecuali anaknya sendiri. Dengan kalimat sapaan bersamaan menjadikan suasana terasa menggetarkan dan khidmat.
"Silahkan berdiri."
Seruan dari sang kaisar, Jordanio Raven Vollerei dibarengi dengan bangkitnya para bangsawan dari posisi awal. Pangeran dan Putri menyingkir dari tempatnya. Berkumpul di salah satu tempat dan memoles senyuman terpalsu yang tidak pernah Rose saksikan sebelumnya. Merinding, membayangkan Duchess Aurora tiap harinya harus menghadapi hal memuakkan seperti itu.
Satu hari saja menjadinya, tidak perlu dipertanyakan kalau bisa jadi.. senyumku seperti badut
Setelah sambutan selesai, acara dansa dimulai. Berbagai orang mulai memasuki putaran utama dan menari dengan pasangan asing.
Menyisakan segelintir orang yang menikmati minuman seraya memandang kegiatan di hadapannya. Rose termasuk kaum itu, ia membiarkan Chloe memasuki ballroom utama dan berdansa dengan anggun.
"Ini adalah kue terbaik yang pernah kucicipi," batin Rose. Sayang sekali ia harus menutupi ekspresi penuh keenakannya, cukup mengganggu. Menyuapkan cheese cake yang dipersiapkan dalam jamuan ke dalam mulutnya satu demi satu. Suapan terakhirnya belum selesai, namun perhatiannya teralihkan.
"Hei."
Champagne yang awalnya berada di salah satu meja diangkatnya dengan cepat. Dengan salah satu tangannya, Rose menyentuhkan gelas miliknya ke lelaki yang menyapanya. Lembut namun berdenting kecil.
Berkata 'cheers' sebelum meneguknya pertama kali. Rose mengakui dalam hati betapa besarnya daya pikat minuman ini. Biarpun terdapat sensasi yang tidak dapat digambarkan.
"Selamat malam."
Gadis itu menusuk kue yang tersedia dengan sebuah garpu sebelum memasukkannya dalam bibir ranumnya. Melihat lelaki tersebut hanya diam tidak menimbulkan pertanyaan bagi Rose. Gadis itu tetap makan dalam diam. Tidak peduli dengannya, toh dia bukan Evelyn Sonata.
Lelaki tersebut, Andrient, memilih mengundurkan dirinya. Langkah yang tepat, karena sedetik kemudian seorang kutub es mendekati Rose dengan langkah berirama. Celana dan jaket gelapnya terlihat kontras dengan gaun di sekitarnya, kecuali milik Rose yang memang berwarna merah kehitaman.
"Apakah anda ingin berdansa?"
Suara berat itu memecah pikiran Rose yang hampir buyar. Gadis bergaun hitam tersebut berbalik ke samping, menemukan bahwa Marquess Drevan ternyata ikut hadir dalam acara ini. Jaket doublet navy blue Marquess Drevan berpadu dengan gaun black baccara Miss Zen.
Rose mengukir senyuman, jemarinya meletakkan gelas berisi champanye dan piring kecil ke atas meja yang tersedia. Sarung tangan putih tersemai di tangan lembut dan ramping Rose. Gadis tersebut menyampingkan makanan dan minuman yang memabukkan. Hanya untuk menaruh tangannya ke telapak tangan lelaki itu.
Rose berbisik, "Tidak keberatan aku menginjak kakimu, Evan?"
iklan untuk mu
lanjut kk