"Tak harus ada alasan untuk berselingkuh!"
Rumah tangga yang tenang tanpa badai, ternyata menyembunyikan satu pengkhianatan. Suami yang sempurna belum tentu setia dan tidak ada perempuan yang rela di duakan, apalagi itu di lakukan oleh lelaki yang di cintainya.
Anin membalas perselingkuhan suami dan sahabatnya dengan manis sampai keduanya bertekuk lutut dalam derita dan penyesalan. Istri sah, tak harus merendahkan dirinya dengan mengamuk dan menangis untuk sebuah ketidak setiaan.
Anin hanya membuktikan siapa yang memanggil Topan dialah yang harus menuai badai.
Seperti apa kisahnya, ikuti cerita ini ya☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10. Melatih Kesabaran
Rintik hujan turun perlahan setelah tadi angin kencang berhembus agak keras membuat sore itu cuaca menjadi sangat dingin menusuk hingga ke tulang.
November memang selalu identik dengan musim hujan, nyaris tiap hari akan turun hujan, entah itu pagi, siang, sore atau malam.
Anin duduk di salah satu kursi meja makan sambil memperhatikan anaknya Gita di ruang keluarga yang berada tepat di sebelah ruang makan itu. Puterinya itu sedang mencoret-coret kertas gambarnya, mewarnai sebuah sketsa landscape. Dia terlihat anggun dengan pakaiannya, dress floral yang segar dan rambut yang di cepol tinggi. Di hadapannya meja makan tertata rapih.
Jemarinya mengetuk-ngetuk pinggir meja, di liriknya jam di dinding, hampir jam 7 malam. Tetapi yang di tunggu tak muncul, sampai Anin berinisiatif menidurkan Gita ke kamarnya.
Dan kembali lagi ke ruang makan, dia hanya yakin saja mereka akan datang. Jikapun tidak maka malam ini Anin berkeputusan ke kantor suaminya dengan rantangan makanan. Barusan Reno memberitahukan, suaminya itu sudah keluar dari kantor sebelum magrip.
Tapi yang pasti dia tak ada di tempat. Tetapi, sampai sekarangpun tak pulang-pulang. Dia tahu, suaminya dengan Ratna mungkin sedang mengatur rencana untuk bisa muncul di depannya. Mereka tak akan gegabah, mengabaikan undangan Anin, jika mereka benar-benar pro membelakangi Anin.
Hati Anin sesungguhnya panas, tetapi di tahannya. Satu-satunya yang bisa di lakukannya, melatih kesabaran sebesar-besarnya. Jika tidak maka dia hanya menerima kekalahan dan sakit hati, tunai tanpa kembalian.
"Rat, kamu ke rumah ya malam ini, aku akan masak spesial untuk dinner kita di rumah. Beberapa menu favorit kita berdua saat kuliah dulu. Besok ultahmu, aku kangen ingin merayakannya denganmu seperti dulu"
Tulis Anin. Undangan lewat chat WA itu dikirimnya tadi sore.
Dia tahu benar, Bowo, suami Ratna masih di papua sampai setengah tahun ke depan karena tugasnya.
Semua keluarga Ratna ada di Jogja dan Malang, dia di sini karena ikut suaminya saja awalnya, yang kebetulan rumahnya ada di Jakarta.
Ratna tak punya anak, tetapi untuk ikut ke Papua dia tidak mau, alasannya dia tak pandai menyesuaikan diri dengan tempat yang baru. Dan lagi Bowo bertugas paling lama dua tahun di suatu daerah, setelahnya dia bisa pindah tugas ke mana saja tergantung perintah atasannya.
"Wah, gimana ya, Nin..." Akhirnya tadi Ratna menelponnya. Terdengar berat dan bingung.
"Kamu ada rencana ketemu orang lain?" tanya Anin penuh selidik.
"Tidak eh...sebenarnya iya..."
"Ooooh, kamu sudah ada janji sama siapa?" Pertanyaan itu terdengar kecewa dan di lontarkan seperti setengah iseng.
"Aaaaa...itu..."
"Mas Bowo pulang?" Tanya Anin berpura-pura menebak saja meski dia tahu tak ada Bowo di sana.
"Kalau begitu bawa sekalian mas Bowo ke rumah, kan' lama juga tidak ngobrol sama papanya Gita."
"Eh, mas Bowo belum pulang, kok. Cuman aku rencana mau belanja kebutuhan rumah ke supermarket malam ini."
"Oh, ku kira mas Bowo pulang, merayakan ultahmu besok. Laaaah, kok belanjanya malam-malam. Besok saja, bareng aku. Aku juga mau belanja, isi kulkasku juga kosong." Anin berdalih.
"Tapi..."
"Ya sudahlah kalau begitu, aku mau bawa makanan yang ku masak ini ke kantor Mas Galih saja kalau memang kamu tidak bisa. Sayang, sudah sebagian masak, sebagian lagi hampir siap. Katanya mas Galih dia sibuk sampai mungkin lembur. Dia pasti senang ku buat suprise dan ditemani kerja sambil makan malam di sana..." Kalimat itu di rangkai Anin seolah kecewa tetapi tentu saja memaksa Ratna untuk datang.
'Kamu kira, kamu bisa mengambil kesempatan berduaan dengan suamiku malam ini? Ratna, mari kita lihat seperti apa buruknya dirimu sebagai teman bagiku.' Bisik Anin dalam hati dengan dingin.
"Akh, okey...sepertinya setelah ku fikir-fikir urusan belanja bisa di tunda sampai besok, rasanya berat melewatkan dinner special darimu, Nin. Apalagi kamu sudah bela-belain masak. Masakanmu itu ngalahin semua resto." Akhirnya kail di sambar, Anin tahu benar, jika Ratna tak akan menolaknya. Apalagi saat mengancam akan ke kantor Galih.
Pastilah Ratna berfikir, janji temu mereka malam ini akan berantakan juga jika dia menolak undangan Anin. Pilihannya cuma satu, memenuhi undangan Anin sembari menghilangkan celah kecurigaan yang mungkin terjadi dan paling tidak, bukankah dia bisa melihat Galih di sana nanti?
Jika mungkin itu yang terlintas di fikiran Ratna, berbeda dengan Anin, dia punya rencana berbeda selain membubarkan janji bertemu sang suami dengan sahabatnya yang mulai membuatnya jijik itu.
Sekitar sepuluh menit kemudian suara bell rumah berbunyi, Bi Irah tergopoh-gopoh dari belakang hendak membuka pintu,
"Biar saja Bi, aku yang akan membukanya." Anin berdiri dari duduknya, dress floral tanpa lengan yang di kenakannya terlihat cocok di tubuhnya yang cukup semampai.
Bi Irah mengurungkan niatnya dan mengangguk, lalu berbalik lagi ke belakang. Dia sedang menggoreng perkedel tempe.
Ratna dengan pakaian modis berdiri sambil memamerkan senyum di bibirnya di depan pintu, gaun yang di kenakannya berwarna merah jambu muda.
"Hai, Nin..." Sebuah pelukan segera di terima Anin, seperti biasa, salam saat mereka berjumpa.
"Hai, selamat ulang tahun ya. Aku harap aku yang pertama kali mengucapkannya." Anin menyambut pelukan Ratna, sembari menepuk punggungnya. Tepukan itu hanya alakadarnya, jika menuruti hatinya mungkin sudah di remukkan hingga patah tulang punggung sahabatnya ini.
"Kamu terlihat cantik sekali." Puji Anin, membalas senyum Ratna saat mereka saling melepaskan pelukan.
"Terimakasih, Nin. Tentu saja kamu yang pertama, ultahnya masih besok." Sahut Ratna sambil tertawa kecil.
Anin tersenyum seadanya, 'Setidaknya, suamiku bukan yang pertama membuatmu merasa istimewa!' Ucapnya dalam hati.
"Masuklah. Aku sudah lama menunggumu." Kata Anin tanpa basa basi lagi, Anin menarik pergelangan tangan Ratna, menuntunnya menuju meja makan.
"Waaaaaah, kamu bener-bener niat banget..." Ratna terpesona dengan sajian di meja makan, hidangan yang lumayan banyak di sana. Tapi yang membuat Ratna terpesona bukan masalah banyaknya hidangan hingga mengernyit dahi, semua masakan di depannya adalah hidangan yang menurutnya begitu sederhana, untuk ukuran kemampuan mereka sekarang.
Nasi bakar, ayam suir pedas, lalapan, perkedel tempe, ikan asin tomat hijau, sambal goreng ceker pedas dan acar kol. Tak ada yang benar-benar istimewa di atas meja itu, dan kau Ratna boleh jujur, beberapa dari jenis menu ini bahkan lama tak pernah di cicipinya lagi sejak dia lulus kuliah dan bekerja.
Dia sekarang lebih suka semua menu makanan jepang dan eropa.
"Aku masih ingat kamu paling suka ikan asin tomat hijau dan sambal rawit terasi, jadi ku buatkan yang banyak." Anin tersenyum sambil mempersilahkan Ratna duduk di kursi saat bik Irah muncul dengan satu mangkok sambal pedas dengan terasi, baunya yang khas langsung menguar.
Ratna menelan ludahnya, sungguh menu yang tak di sangka-sangkanya dan juga tak biasa mengingat mereka berdua sekarang cukup berada.
"Terimakasih, lho Nin, sudah bikin surprise begini padahal ulang tahunnya kan' baru besok." Ratna duduk dengan sedikit tak nyaman, terasa berbeda penyambutan Anin kali ini.
"Tidak apa-apa kita rayakan lebih awal, besok mungkin kamu ada rencana merayakan dengan keluargamu. Jadi, aku tidak kebagian nanti. Kita kan' sudah teman sejak lama."
"Sekali lagi, makasih ya , Nin. Kamu memang teman ter best lah." Sambut Ratna sambil menyeringai salah tingkah.
"Mas Galih belum pulang?" Pertanyaan Ratna tiba-tiba membuat Anin mengangkat wajahnya. Pertanyaan itu terdengar di buat-buat.
"Dia lembur katanya, kalau tak salah dengar ada kerjaan yang harus di selesaikan hari ini juga, jadi mungkin pulang agak malam." Anin menyunggingkan senyum.
"Tapi, kita tunggu saja, dia tak akan bisa lama. Sebentar lagi dia akan tiba." Anin mengangsurkan piring ke depan Anin dengan sikap percaya diri.
Dan benar saja, tak berselang lima menit dari kalimatnya bell berbunyi.
"Bik Irah, tolong bukakan pintu, sepertinya bapak pulang." Tanpa sedikitpun beranjak, seperti halnya ketika Ratna tiba, Anin meminta Bik Irah yang membukakan pintu.
Galih benar-benar muncul dengan tas jinjingnya dan baju yang sudah sedikit acak-acakan.
"Sayang, kamu pulang..." Anin segera berdiri dan tanpa sungkan menyalami Galih, mencium punggung tangannya kemudian sebelum mengambil tas jinjing yang di bawa suaminya dia sempat-sempatnya mencium sekilas bibir Galih. Yang di ciumi terlihat salah tingkah, sementara Ratna dengan jengah membuang wajahnya yang merona seketika.
Kecemburuan itu sekilas menghias pias wajah cantiknya.