Between Blood, Sin, And Sacrifice
"Buka isi di dalamnya bila terjadi hal buruk padaku." Marchioness Rose de Moonstone menggeser sepucuk surat kecil pada pelayan dekatnya, Miss Eve.
Sebelum Evelyn pergi, wanita itu segera menarik pergelangan tangan pelayannya. Marchioness Rose memperbaiki serbet di pinggang Miss Eve, menyisipkan sebuah karcis kecil. Tiket untuk pergi dari sini melalui jalur kereta api.
"Cepat kabur sekarang, laksanakan rencana yang sudah kubeberkan beberapa hari lalu. Aku akan menanggung apapun yang akan terjadi di malam ini, baik atau buruk," titah Marchioness Rose.
Jemarinya menggenggam telapak tangan Miss Eve erat.
"Tapi Nyo-"
"Shush, jangan melawan. Cepatlah berkemas, tunggu aku di bar biasa. Masih ingat kataku?"
"J-jika anda tidak datang... Di jam 9 saya akan pergi melapor ke kediaman mendiang Duke Chris," ungkap Miss Eve, kelopak matanya sudah basah.
Marchioness Rose menyeka air mata bawahannya. Miss Eve adalah pelayan yang sudah berada di sisinya sedari kecil. Tentulah ikatan antara keduanya sudah dalam, tidak sebatas status pelayan dan majikan.
Sekarang sudah waktunya mengalihkan tugas terakhirnya. Kunci kedudukan Marquess Evan dialihkan ke Eve, berjaga jaga bila... malam ini ia binasa.
"Apakah nyonya benar benar yakin? Saya tidak sanggup meninggalkanmu sendirian disini." Air mata Miss Eve semakin deras.
"Semuanya akan baik baik saja, memang sudah tugasku untuk membalaskan dendam mereka. Terima kasih Miss Eve," bisik Marchioness Rose. Menunggu pelayannya berangsur tenang. Ketika pintu merapat, sosok ringkihnya menggapai tepi jendela..
Sorotnya kosong, menandakan pikirannya yang tengah berkelana lagi. Sudah ratusan kali lamanya hembusan berat terdengar, seolah terdapat hal yang menahan Marchioness Rose agar tidak kembali melakukan kesalahan. Apa itu..?
'Huh... Aku menyesali keputusan bodoh ini'
'Namun tiada jalan kembali lagi,' batinnya sembari menutup mata.
Selama 7 bulan dia dikurung dalam kamar terkutuk ini. Bosan sekali. Sosok yang mencintai dan dicintai olehnya mengabur, suaminya ataukah selingkuhannya? Dulu ia terlalu naif, berani menyerahkan kehormatannya pada dua pria sekaligus.
Sama sekali tidak terpikirkan bahwa sikap sembrononya membuatnya berakhir dihukum. Kata terakhir Duke Chris, selingkuhannya sebelum dipacung menjadi beban pikiran belakangan ini.
Aku bersumpah bahwa kalian semua akan mendapat ganjarannya. Terutama kau, Ella pelacur, aku telah dibutakan oleh topeng kepolosanmu. Aku mengutuk engkau dan suami laknatmu di kehidupan ini dan selanjutnya!!
Maniknya terbuka, jemarinya gemetar membayangkan hal itu. Marchioness Rose berjalan bolak balik hingga terduduk di ranjang reotnya. Tremor yang diidapnya bertambah parah, semua tindakan busuk yang ia lakukan agar berdiri di posisi sekarang menghasilkan rasa bersalah berkepanjangan.
*****
Jangkrik berdecit, menandakan malam sudah tiba. Marchioness Rose menyembunyikan pisau di balik ranjang seraya berupaya menekan kegelisahannya. Kabar Miss Eve pasti sudah terdengar di telinga suaminya. Ujung jari wanita itu berdarah dan kulitnya terkelupas kecil akibat garukan di satu tempat dengan tempo pengulangan yang lama.
Brak..!!
Pintu didobrak keras. Marchioness Rose berdiri tegap, menatap mata hijau lelaki di hadapannya. Aroma cendana bercampur wiski memenuhi kamar kedap udara tersebut. Tubuh kekarnya tertutupi dengan siluet abu abu dan hitam, menyamarkan beberapa bagian tubuh. Kunci kamar dibuang serampangan ke almari.
Pergerakan dari pria berstatus suami, Marquess Drevan tertangkap oleh Marchioness Rose. Langkah kaki pria tersebut cepat, segera tangan kapalan nya menyentuh leher jenjang milik Rose.
Wanita itu berusaha menghindar namun gagal, ia tercekik. Tubuhnya terdorong ke dinding, kaki kecilnya berusaha meronta, Tangan kanannya terus menggetarkan lonceng panggilan pelayan. Lambat laun ia menyadari darimana asal aroma tadi.
"Kenapa kau bersikeras melakukan hal kotor itu, Huh?" Tekan Marquess Evan. Bau tidak sedap menerpa wajah Marchioness Rose
"T-tidak, le-paskan." Tubuh Marchioness Rose menggeliat, nafasnya tercekik.
Ekspresinya menggelap. Genggamannya semakin menguat. "Ingin lepas? Mimpi," Sahut lelaki itu retoris. Tak dipungkiri sekali lagi ia menambah kekuatannya, leher istri kesayangan di depannya bisa saja patah.
Rintihan dan lonceng yang ia goyangkan dari tadi tidak mendatangkan bantuan dari luar. Tentu saja tiada yang dapat menyelamatkan dirinya, toh lelaki di depannya adalah suaminya sendiri. Ironis sekali.
Apakah ini akhir hidupku..?
Perlahan tangan kakinya melemas, matanya terasa berat. Hingga cengkeraman itu membawanya dalam kegelapan tak berujung. Bayangan dimana mendiang orang tua dan Duke Chris, selingkuhannya dibantai membuat Marchioness Rose membuka matanya sedikit. Semangatnya berangsur kembali.
Marchioness Rose berusaha mengingat dimana ia menyimpan senjatanya tadi. Tangan kiri yang tadinya ia gunakan untuk memukul Marquess Evan bertalu menuju pojok bawah ranjang. Setelah menggapai benda tajam tadi, diayunkannya ke paha pria mabuk itu.
Argh...!!
Teriakan dari suaminya membuat Marchioness Rose sadar seutuhnya. Gaun peach favoritnya ternoda darah. Ketika Marquess Evan sibuk mengurusi tubuhnya yang ditusuk, dengan cepat dia merebut kunci di meja dan berlari keluar. Nafasnya terengah-engah serta lengannya dipenuhi darah. Senjata tajam tadi digenggamnya dengan kuat.
Klik!
Selengah apapun itu, dia tetap ingat mengunci pintu kamar. Gedoran menggema di sepanjang lorong menemani ketukan langkah kakinya, wanita itu belum menyadari bahwa ajudan yang biasa berjaga tidak berada di tempat. Rasa takut telah menguasai Marchioness Rose, wanita itu tidak bisa lagi berpikir jernih.
Satu-satunya hal yang terbersit di benaknya sekarang adalah.. lari.
Saat telapak tangannya menemukan kenel pintu, ditarik dengan cepat. Matanya hampir keluar dari tempat karena menyaksikan seluruh ajudan dan pelayannya bersimbah darah.
Emph !!
Mulutnya dibekap dari belakang, Evan menyusul dari belakang. Lampu yang berkedip mati hidup membuat suasana kian mencekam. Rosella mencicit, ia terlalu takut untuk menoleh ke belakang.
"Diam disini." Titahnya penuh penekanan. Leher Rose mendingin.
Tumpukan mayat bergelimpangan, mata Rose memindai jejak yang mungkin tertinggal. Menyadari gadis pelayannya lolos, hatinya mencelos. Darah kembali mengalir dari paha suaminya, meninggalkan tetesan pada lantai marmer coklat. Kekangan dari lengan pria jangkung itu mulai melemah, halilintar terus menggelegar di luar.
"Maaf," bisiknya namun tersamarkan oleh sambaran petir di luar dan ketakutan dalam diri Rose.
Marchioness Rose berbalik menggunakan gerakan pamungkasnya. Gerakan pembelaan diri yang diajarkan oleh Marquess Evan malah menjadi jejak maut bagi diri sendiri. Marchioness Rose menusukkan pisaunya tepat di perut.
Tanpa terduga, pria di hadapannya malah tersenyum. Darah keluar dari mulutnya, lengan yang awalnya ia gunakan untuk membekap mulut istrinya bergerak meraih rahang wanita itu.
"Huh... Rosie, t-tidak apa. Ter-bunuh di-"
"Tangan wa-wanita yang kucintai, se-padan." Mulut Marquess Evan berlumuran darah.
Senyuman pria itu, mengapa terasa penuh kasih sayang? Juga, ia mencintainya?
Sebelum Rose berhasil menguasai dirinya, tiba tiba Marquess Evan menariknya ke belakang. Teriakan lolos dari bibir wanita tersebut, melihat Miss Eve yang menusuk tepat di dada Marquess Evan. Suaminya mengambil alih pisau di tangan Rose dan menusuknya ke tengkuk Miss Eve.
Kejadiannya berjalan begitu cepat, Marquess Evan tumbang ke lantai. Sedangkan Miss Eve yang awalnya wanita itu kira sudah kabur ke kereta api malah bertengger dan meraba area ayunan pisau dari lelaki itu. Matanya membelalak sebelum ia terjungkal ke belakang.
Marchioness Rose memapah tubuh Marquess Evan, berusaha menekan pendarahan. "Jangan, bertahanlah," raungnya putus asa.
Mata Evan terbuka dan tertutup, telapak tangannya yang penuh darah ia arahkan ke pipi Rose. Sedangkan perempuan itu menggeleng kuat, tidak menerima apa yang terjadi begitu saja.
"...senyum, wajahmu je-lek." Tangan Evan jatuh ke bawah. Menyisakan Rose yang berdiri sendiri.
Warna merah tidak lagi disukai wanita bergaun peach itu. Tumpah darah dan balas dendamnya sudah terlaksana. Namun, dia tidak merasa bahagia dan puas sama sekali. Marchioness Rose meratap ke segala penjuru. Darah antara tubuh Evan dan Eve bercampur, aroma amis tersebar ke seluruh penjuru. Ketakutan dalam dirinya telah sirna, hanya menyisakan rasa perih.
Basuh wajah di ember kecil. Hembuskan nafas dengan teratur. Samarkan noda ini.
Sewaktu Marchioness Rose berniat keluar, ia melihat 1 surat. Mengira itu miliknya, langsung saja wanita tersebut merogohnya. Pintu keluar sudah di depan, penungguannya selama 6 bulan dalam masa kurungan tidak sia sia.
Bukan main, nyawa yang dihabisi adalah suami dan pelayan 'setia' nya. Pintu dibuka lebar, tetesan hujan dan udara segar mendekati Rose. Mengikis anyir darah di badannya.
Marchioness Rosella de Moonstone yang melekat semenjak ia berstatus istri Marquess Drevan de Moonstone kembali menjadi Mrs. Rosella Zen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
ona
bjir ikut tegang rasanya /Gosh//Gosh/
2024-06-17
1
Bening
ch.1 udah di sajikan dengan bunuh-bunuhan omg
2024-06-17
1