Nia tak pernah menduga jika ia akan menikah di usia 20 tahun. Menikah dengan seorang duda yang usianya 2 kali lipat darinya, 40 tahun.
Namun, ia tak bisa menolak saat sang ayah tiri sudah menerima lamaran dari kedua orang tua pria tersebut.
Seperti apa wajahnya? Siapa pria yang akan dinikahi? Nia sama sekali tak tahu, ia hanya pasrah dan menuruti apa yang diinginkan oleh sang ayah tiri.
Mengapa aku yang harus menikah? Mengapa bukan kakak tirinya yang usianya sudah 27 tahun? Pertanyaan itu yang ada di pikiran Nia. Namun, sedikit pun ia tak berani melontarkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Cinta Di Dubai
Hari pertama di Dubai, Nia benar-benar dimanjakan oleh sang suami, kemanapun ia mau Faris akan siap membawanya. Mereka menikmati hari-hari dengan begitu indah.
Nia yang banyak tahu tempat wisata di Dubai yang terkenal tak membuang waktu, ia langsung mengajak Faris pergi ke sana. Tak lupa. Faris yang biasanya memakai setelan jas yang resmi kini diubah oleh Nia memakai celana jeans dan kaos dan di padukan jaket hoodie couple. Faris lagi-lagi hanya pasrah saat Nia mengubah penampilannya.
Jika biasanya mereka pergi ke tempat-tempat yang jauh, kali ini Nia ingin berjalan-jalan di sekitar tempat mereka tinggal.
"Mas, ayo!" ucap Nia yang sudah siap dengan penampilannya, sementara Faris masih enggan untuk pergi dengan alasan ia sangat lelah. Usia tak bisa bohong, di saat Nia sedang lincah-lincahnya dan aktif-aktifnya berjalan ke sana kemari, tubuh Faris meminta untuk istirahat sejenak.
Bekerja seharian dan begitu banyak pekerjaan di kantor ia bisa melakukannya. Namun, berbeda dengan hari ini. Baru 3 hari mengajak Nia berjalan-jalan keliling Dubai sudah membuatnya kelelahan.
Bagaimana tidak, Nia membawanya ke sana kemari dan semalam mereka mengelilingi mall terbesar di Dubai. Mereka mengelilingi mall tersebut, masuk dari satu tokoh dan tokoh lainnya mencoba lebih dari 10 pakaian. Namun, hanya membeli satu pasang, itupun lagi-lagi Nia membeli baju yang couple.
"Nia, tak bisakah kita istirahat sebentar, ini masih terlalu pagi. Kita jalan-jalannya sore saja ya, aku sangat lelah," ucap Faris memasang wajah memohonnya.
Nia memang sangat ingin berjalan-jalan. Namun, melihat kondisi suaminya yang terlihat memelas membuat ia pun mengurungkan niatnya.
"Ya udah deh, hari ini kita di kamar saja," ucap Nia kemudian membuka kembali jaket yang sudah dipakainya, ia ikut bergabung dengan Faris yang duduk di sofa.
Begitu Nia menundukkan pantatnya di sofa, Faris langsung berbaring di pahanya, menutup mata dan membiarkan Nia memijat-mijat kepalanya.
"Emangnya hari ini kamu berencana mau ke mana lagi?" tanya Faris yang memejamkan matanya, menikmati pijatan ringan dari Nia.
"Aku mau mencicipi beberapa makanan khas Dubai, katanya rasanya enak-enak. Aku sudah mencatat beberapa makanan yang ingin aku makan, tapi tak apalah kita wisata kulinernya besok saja," ucapnya memperlihatkan catatan nama makanan incarannya hati ini.
Kini tangan Nia sudah berpindah beralih bermain-main di bulu-bulu halus yang ada di pipi sang suami, mengusap-ngungsap rambut halus itu yang mulai panjang. Tanpa ia tahu apa yang dilakukannya itu memancing sesuatu yang selama ini terpendam dalam tubuh Faris.
Faris yang tak tahan dengan apa yang dilakukan Nia menghentikan tangan Nia. "Nia, jangan mainkan bagian itu, kamu bisa dalam bahaya," ucap Faris membuat Nia mengerutkan keningnya mendengar kata berbahaya.
"Apanya yang berbahaya? Ini dipegangnya sangat lembut kok nggak tajam-tajam," ucap Nia kembali mengelus bulu-bulu halus itu, kini dengan tangan satunya lagi karena tangan yang pertama sudah digenggam oleh Faris.
Faris membuka mata yang sejak tadi terpejam dan menatap ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Nia dengan senyum jahilnya. Sepertinya dia sudah mengerti apa yang dimaksud kata berbahaya oleh suaminya.
"Apa kau tak takut padaku?" tanya Faris lagi. Nia menggeleng dengan memasang wajah imutnya.
"Jangan mainkan itu," ucap Faris kemudian mengarahkan kembali tangan Nia untuk memijat rambutnya dan kembali menutup mata.
"Ini kita cukur saja ya, boleh?" ucap Nia kembali ke rambut-rambut halus itu membuat Faris kembali membuka mata.
"Memangnya kenapa kalau dibiarkan seperti ini? Apa kamu tak suka?" tanya Faris yang kini ikut memegang rambut-rambut halus yang ada di dagunya yang menghiasi hingga kebagian pipi.
"Kamu pasti lebih tampan tanpa semua ini, boleh ya? Nanti aku bantu," ucapnya membuat Faris pun duduk dan menatap istrinya, berpikir jawabannya sambil mengelus-ngelus cambangnya.
"Ya sudah," ucap Faris, ia banyak mengalah selama ini pada Nia, mulai dari mengubah penampilannya, membawanya kemanapun Nia mau dan untuk pertama kalinya ia tak masuk kantor selama beberapa hari, semua itu untuk Nia. Apakah ia harus kembali menuruti permintaannya untuk mencukur cambangnya itu.
Melihat sang suami terlihat berpikir dan ragu ingin mencukur cambang kesayangannya itu, Nia pun mendekat ia memainkan jarinya di lengan kekar sang suami.
"Mas, boleh ya? Jika memang nanti tumbuh lagi aku tak akan meminta untuk mencukurnya. Sekali ini saja, kok, boleh ya? Aku hanya ingin melihat wajah kamu tanpa cambang ini," rengek Nia yang sudah semakin berani pada sang suami, tak seperti di hari pertama mereka menikah, bernafas saja ia harus berhati-hati takut jika sampai mengganggu suaminya.
"Ya udah, baiklah," pasrah Faris membuat Nia kegirangan dan langsung melompat ke pangkuan Faris, mengalunkan tangannya di leher sang suami.
Faris majukan wajahnya ingin mengecup Nia. Namun, Nia menghindar, "Dicukur dulu ya, aku geli," ucapnya membuat Faris pun langsung mengangkat Nia ke kamar mandi, mendudukkan Nia di meja yang ada di sana. Kemudian memberikan beberapa alat cukur yang memang disediakan oleh pihak hotel, Nia dengan telaten mulai memberikan krim cukur di dagu sang suami, serta di bagian leher memberikan semua pada bulu-bulu halus yang mengganggu wajah tampan sang suami.
Nia pun mengarahkan alat cukur itu pada wajah Faris. Namun, Faris langsung menghentikan tangannya. "Apa kamu pernah melakukan ini sebelumnya?" tanya Faris ragu. Bagaimana jika Nia malah melukainya.
Mendengar pertanyaan dan melihat ekspresi wajah suaminya, Nia pun tertawa. "Mas tenang saja, aku ini tukang cukurnya ayah, jadi akan kupastikan hasilnya akan memuaskan, kamu akan membayar mahal untuk hasil kerjaku," ucapnya bercanda kemudian ia pun mulai mencukur sedikit demi sedikit cambang dari Faris.
Faris hanya bisa menatap nanar cambang kebanggaannya, memelihara cambang di wajahnya membuat dia semakin berwibawa, sesuai dengan usianya yang sudah menginjak 40 tahun.
Memiliki itu seperti sesuatu yang wajib untuknya. Namun, demi membahagiakan sang istri ia pun rela melihat tangan Nia mulai membabat habis kebanggaannya itu.
Setelah berkutat beberapa menit, akhirnya pun selesai. Ia memandang wajah suaminya yang bersih tanpa bulu yang selama ini mengganggu penglihatannya, ia tersenyum melihat hasil kerjanya. Ternyata suaminya memang benar-benar tampan, usia kepala 4 sama sekali tak nampak padanya.
"Apa kau puas?" tanya Faris, sebenarnya ia juga puas melihat hasil kerja Nia, wajahnya memang terlihat lebih segar, sudah sangat lama ia melihat wajahnya bersih seperti saat ini. Namun, tetap saja ia merasa lebih pantas memakai cambang dengan usianya yang sekarang.
Namun, kembali lagi, sekarang ia memiliki istri yang baru berusia 20 tahun dan dia sudah bertekad untuk mengikuti usia Nia.
"Apa sekarang aku boleh menciummu?" tanya Faris, Nia terdiam.
"Kenapa? Aku sudah berkorban melepaskan cambangku, apa aku tak boleh mendapat satu kecupan?"
Nia dengan ragu-ragu pun mengangguk membuat Faris tak membuang kesempatan itu. Satu kecupan pun mendarat di bibir Nia, bibir yang audah menjadi incarannya, sebuah kecupan yang berubah menjadi ciuman. Sebuah ciuman yang berubah menjadi ******* bahkan sukses membangkitkan gairah keduanya.
Namun, daringan ponsel di saku Faris membuat mereka harus menghentikan apa yang baru mereka mulai, Faris menunduk mengambil ponselnya dan kesempatan itu digunakan oleh Nia untuk turun dan berlari keluar dari kamar mandi. Faris ingin mengejarnya. Namun, ia melihat jika itu adalah telepon dari ibunya, membuat ia pun mengangkat dan berjalan santai menyusul Nia yang sudah kembali ke sofa, di mana tadi mereka duduk.
Nia mengambil remote TV dan mulai menyalakan siaran televisi, sesekalinya melirik ke arah Faris yang berjalan ke arahnya sembari menelpon. Begitu Faris mendudukkan diri di sofa, ia pun langsung mengaktifkan pengeras suara pada ponselnya. Nia yang mendengar jika yang menelpon sang suaminya adalah ibu mertuanya, ia ikut berbicara. Mereka pun menceritakan bagaimana pengalamannya di Dubai dan ibu ikut sangat bahagia mendengarnya, mendengar mereka terdengar sangat akrab dan bahagia.
"Dengar ya Nak! Ini permintaan dari Ibu, sepulang dari sana bawakan Ibu oleh-oleh ya," ucap Agatha.
"Tentu saja, Bu. Ibu mau beli apa?" tanya Faris.
"Ibu nggak butuh apa-apa, Ibu hanya ingin oleh-olehnya kamu membawakan kabar gembira untuk kami," ucap Agatha membuat keduanya langsung mengerti dan saling tatap.
"Iya, Bu. Tentu saja," jawab Faris membuat Nia pun tersipu.
Mereka pun mulai membahas masalah lain dan kali ini Faris memberikan ponselnya pada Nia, membiarkan Nia berbicara pada ibunya yang belum ingin mematikan ponselnya.
Sambil menunggu kereka mengobrol Faris memesan beberapa makanan yang tadi disebut oleh Nia, jika Nia hanya ingin berwisata kuliner mereka saja, mereka bisa memesan dan makan di dalam kamar tanpa bersusah payq mencari tempat dan antri.
Setelah memesan, Faris kembali duduk di samping Nia, memperhatikan istrinya itu berbicara dengan ibunya. Mereka terlihat sangat akrab dan itu membuat Faris sangat bahagia, tak salah istri pilihan ayahnya.