NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Sofa keluarga telah menduduki perempuan berwajah luntur.

Perempuan berbaju compang-camping duduk memasang wajah lelah setelah menghadapi ganasnya dunia luar akhirnya dapat menghirup atmosfer rumah. Menghadap atas. Plafon rumah menjadi sasaran untuk menatap lama.

Gita malas menanggapi. Karena itu dia bergerak membereskan penyedot debu. Kotoran dihilangkan, merakit ulang yang terjadi. Diletakkan dekat pintu garasi belakang tubuhnya.

Percakapan mereka tidak ada. Sebatas suara bersih-bersih yang dilakukan Gita sebelum ia akan kembali menuju kamar seperti merapikan alat masak setelah pencucian berhasil dilakukan. Mengelap kering, dimasukan lagi dalam rak. 

Suara meredup bersilih berganti hilang karena tidak ada pekerjaan lagi. 

"Dek, mau kemana?" Karena suara bersih-bersih telah leyap, menjadi kewaspadan Nita untuk melihat Adiknya menaiki satu anak tangga. "Tunggu dulu, Kakak memiliki sesuatu."

Gita berhenti, membalik badan. "Ada apa lagi, Kak?"

Ditunjukkan paper bag cukup besar. Mungkin lebih besar dari wajah Gita mungil. Dia sudah lelah tetapi rayuan Kakaknya membuatnya penasaran isi di dalam. Berjalan pelan menyipit mata, dia dapat duduk bersama. Nita dan Gita dalam satu ruangan.

Diberikan langsung tanpa persyaratan, tangannya menerima pemberian.

"Atas dasar apa ini?" Gita memberi curiga.

"Sudah menjaga rumah," kata Nita menyandar kepala pada sofa, dan melirik Adiknya lagi, "kembalikan saja. Kamu tidak mau, kan?" Kemudian membuka telapak tangan, menekuk barisan jari untuk menagih.

"Hei, jangan. Gita menerima." Gita berseru, menarik barang pemberian Kakak. Tidak ingin dikembalikan lagi. 

Sudah selesai bincang sederhana, Gita berdiri membawa hadiah ini. Menunduk dalam jalan kecil menuju tangga-tangga, segera membawa tubuhnya masuk ke sepetak ruangan lain. Menutup pelan, berakhir suara 'klik' menjanjikan bahwa benar-benar tertutup, paper bag diletakkan meja.

Kain penutup jendela dibuka menyamping. Terang satu ruangan. Hemat biaya listrik karena hal ini, maka dengan mudah mengetahui kondisi di dalam tas kertas apa saja. Jika berisi hewan, langsung lempar saja. Jika makanan, sungguh bahagia hidupnya. Pakaian... menurutnya tidak begitu menyukai.

Penuh keringat, cemas memuncak ketika tas kertas dibuka. Mengatup mata, satu tangan diarahkan masuk. Mengambil satu barang untuk memastikan. "Semoga makanan... semoga makanan." 

Bukan makanan. Ternyata pilihan itu adalah salah. Tumpukan baju bekas adalah hadiah utama yang didapatkan. Pantas saja setelah Kakak mendatangi rumah ini terasa beda model pakaian yang dikenakan. Tadinya berwarna biru-biru gelap, setelah pulang menjadi putih bersih tanpa kotoran.

Keinginan kuat untuk mendapatkan makanan adalah salah satu hal kefatalan jika meminta hadiah dari Kakak. Jahil sekali nyatanya. 

"Kak!" Teriakan lancang menyuruhnya membuka pintu.

Kak Nita telah lama duduk pada sofa itu. Santai, kaki diangkat salah satu. Model anak-anak muda sembari menonton televisi berita.  Sepertinya sangat sudah paham apa reaksi Adiknya ketika mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan. 

Geram hatinya. Bibir dikatupkan, gigi disatukan menggigit, tangan menggeram bagian atas paper bag. 

"Bagaimana? Suka, kan, bajunya?" Kak Nita tetap menonton layar berita.

Gita membuka mulut. Sulit dipercaya bahwa Kakak bersikap santai menikmati hiburan itu.

Kak Nita mengayunkan tangan, salah satunya menempelkan kedua tangan menuju bagian belakang atas sofa abu-abu. 

Maka dibuka paper bag yang dibawa, dilemparkan mengenai wajah Kak Nita seluruhnya. 

"Dek!" Nita menggertak, bangun terkejut setelah wajahnya tertutupi oleh kain biru. 

"Mengapa Kakak beri baju kotor itu, huh? Bau juga." Gita meluapkan kekesalan.

Kening Kak Nita memunculkan garis-garis. Tertawa pelan menghadap Adiknya, "kakak minta tolong dicucikan baju Kakak. Besok kan hari minggu. Tugasmu itu." 

"Tidak. Besok jadwal Kakak. Tugas Kakak, bukan Gita. Gita lelah mengurus rumah ini. Hari ini sudah Gita lakukan seperti pesan Kakak tadi pagi." Perempuan tergerai rambut panjang memutar arah. Kaki diinjak kencang, meluapkan kekesalan.

"BRUK!" Pintu kamar terguncang keras menutupi sepetak kamar Gita.

Bahkan Kak Nita tidak memberikan reaksi, serta komentar hanyalah menyimak kencangnya pintu berkayu. Mengais baju biru bekas pemakaian waktu menghadiri teman menikah, Kak Nita menggeleng pusing. Bercandanya kelewatan tetapi menjadi kebahagaian tersendiri karena berhasil mengelabuhi Adik satu-satunya itu.

Tetapi kedekatan mereka berdua bisa saja merenggang. 

...***...

"Bangun, Dek. Makan malam." Ketukan pintu menerpa sepetak kamar.

Karena suara-suara sulit berhenti, anak perempuan terpaksa bangun membuka mata. Kasur berantakan bukan masalah karena rasa malas menyertai di dalam tubuhnya.

Ketika suara ketuka menghilang dan langkah kaki memudar, Gita membuka pintu. Menuruni jalan turun, memunculkan Kakaknya di kejauhan sedang berdiri lama menghadap tungku kompor. Dua tungku digunakan bersama, menghemat waktu malam. Dua alat pemanas memasak bahan makanan sebagai menu makan malam. 

Wajah cemberut diberikan selama berdua dalam area dapur. Menghubungkan langsung menuju meja makan, Gita membuka kursi, menduduki, manyun menatap perempuan tinggi dengan rambut hitam terpotong. Sebahu, sejajar, dan rapi.

Memangku wajah menyaksikan pertunjukan berlangsung sekarang, memangku dagu. Bukan karena dagu terantuk benda keras, tetapi sedang malas menanggapi apa saja, siapa saja. Kak Nita salah satunya. 

Tidak ada pekerjaan selain menunggu makanan siap dihidangkan, segera berdiri mandiri mencari nasi panas. Kehidupan dirinya harus mengutamakan nasi putih. Tidak bisa dihilangkan. Jika teman menawarkan roti, dia tidak mau. Harus selalu nasi, dan nasi.

Membiarkan Kakak bekerja sendiri, Gita alihkan pandangan mengambil nasi. Satu piring cukup. Biarkan orang disampingnya mengambil sendiri karena perbuatan Kakaknya telah mengecewakan. 

Diam lagi tidak mengobrol, dua piring hidang berlauk disajikan. Ikan goreng. Sayur tumis.

Sendok dan sendok selalu bertemu. Nyaring mengelitiki kuping Gita. 

Dua penghuni rumah berdua lantai menikmati bersama tanpa bersuara berbincang. Kunyahan mulut menjadi kendala selama menyantap. Menunduk bersama, menatap bawah. 

Gita memangku rahang wajahnya lagi. 

"Masih kesal tentang tadi?" Kak Nita menatap tingkah Adiknya mengunyah nasi.

Tidak ada suara. Memang sedang marah sampai pertanyaan Kak Nita tidak dijawab.

"Kakak minta maaf ya Dek. Kakak janji besok ini akan bawa Adek ke suatu tempat. Mau?"

Gita menatap bawah. Bosan mendengarkan rayuan palsu. 

"Kakak janji besok kita akan pergi. Kamu mau tidak?"

Anak itu tetap diam. Selalu bergerak aktif menyerok tumisan sayur tersisa sedikit. Karena itu, inisiatif muncul dalam pikiran Kak Nita segera mengambil piring bersayur. Diangkat hampir setara dengan kepalanya.

"Kak?" Tidak percaya Gita melihat tingkah aneh karena Kak Nita mengambil lauk itu. Jatah mengambil sayur harus berhenti karena tidak mau mendengar penawaran.

Kak Nita melihat Adiknya yang menatap datar. "Kakak punya rencana besok. Harus setuju dahulu sebelum dapat sayur ini."

"Kakak pasti akan berbohong lagi. Walaupun Kakak tawar seribu kali, Gita tidak mau. Dan kalau tawaran itu memang benar, Gita tidak akan pergi. Tidur di rumah lebih bagus." Gita meneruskan memotong kecil-kecil lauknya.

Kak Nita menelan ludah, mencoba mempercayakan kepada sang Adik di hadapan. "Kamu yakin ingin melewati tawaran Kakak?" Lalu ditunjukkan menghadap bawah cahaya lampu bohlam, menggeser depan dua lembar kertas. 

Perempuan berkucir kuda membangunkan diri.

"Tiket wahana permainan?!"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!