Naas, kemarin Ceren memaksa hatinya untuk menerima Gilang, si teman sekolah yang jelas-jelas tidak termasuk ke dalam kriteria teman idaman, karena ternyata ia adalah anak dari seorang yang berpengaruh membolak-balikan nasib ekonomi ayah Ceren.
Namun baru saja ia menerima dengan hati ikhlas, takdir seperti sedang mempermainkan hatinya dengan membuat Ceren harus naik ranjang dengan kakak iparnya yang memiliki status duda anak satu sekaligus kepala sekolah di tempatnya menimba ilmu, pak Hilman Prambodo.
"Welcome to the world mrs. Bodo..." lirihnya.
Follow Ig ~> Thatha Chilli
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDND ~ Bab 22
"Menikahlah dengan masmu, nduk..." lirih ibu, wanita paruh baya yang hari ini memakai stelan sopan celana kulot dan balutan jas pinknya. Terlihat jelas emak-emak karir meski usianya tak lagi muda dan kerutan tetap terlihat saat ia menarik senyuman. Meski tak jarang pula stelan kebangsaannya tuh kebaya modern dipakai untuk menghadiri beberapa acara penting yang ampir saban waktu.
Siang ini, sepulang sekolah, ibu benar-benar mendatangi sekolah, memanggil Ceren ke kantor Hilman padahal ia sudah nyetop angkot untuk pulang ke rumah bapak.
Ingin rasanya Ceren menjedotkan kepalanya...bukan kepala Ceren namun kepala ibu mertuanya itu ke foto berfigura hingga pecah di dekat rak file, saat dengan entengnya wanita paruh baya itu mengatur hidup dan nasib Ceren, untung saja ia masih terlalu waras untuk tidak menenggak pengharum ruangan di pojokan dekat lemari kayu sana.
Lirikan matanya kini menoleh pada kakak iparnya yang anteng di kursi kebesaran kepsek, seolah kegiatannya saat ini tak mau terganggu oleh kehadiran Ceren dan juga ibunya, ia juga nampak tak terkejut mendengar hal ini. Yeah! Sudah pasti ia sudah tau terlebih dulu ketimbang dirinya yang cuma anak bawang, tapi kenapa juga pria matang itu tak menolak usulan gila dari ibunya yang menurut Ceren itu sedikit ngga waras.
"Tap---"
"Sebagai bentuk tanggung jawab kami terhadapmu, nduk." tukas ibu saat Ceren baru saja ingin buka mulut. Fix, ia tipe-tipe mertua yang ngga mau ditentang.
Kembali Ceren menatap Hilman yang masih asik dengan dunianya sendiri, apakah ia tuli atau pura-pura tak mendengar? Padahal Ceren saja sudah ketar-ketir ogah-ogahan. Namun sekali lagi, ia bisa apa disini? Yang satu orangtua egois, dan satu lagi orangtua budeg nan dingin, lengkap sudah penderitaannya, Lang....tolong aku!
"Bu, Saya----" Ceren menggigit bibir bawahnya dan mere mas tangannya sendiri saat kembali ucapannya digunting sang mertua.
"Ibu mohon nduk....sepertinya Kaisar pun sudah mengenal kamu...jangan menolak niatan baik kami, nduk. Jangan membuat statusmu jadi beban hati kami...karena sepenuhnya ini salah kami." bujuk ibu.
Ceren hanya bisa nyengir kuda saja di depan ibu, bukan ia tak berani menentang, tapi wanita tua itu begitu licik....tak memberi Ceren ruang untuk mendebat atau sekedar buka suara. Tau-tau ia sudah pamit untuk berbicara pada bapak. Mamposss! Bisa-bisa kolesterol bapak naik lagi oleh sikap semena-mena keluarga bodo ini. Bpjs mana bpjs!
Sepeninggal ibu, Ceren pun tak mau hanya diam bak patung di depan gedebong pisang, maka ia pun menyusul ibu dengan mencangklok tasnya, "saya juga pulang, pak. Maaf, untuk hal ini saya pikir-pikir dulu...."
Hilman menutup laptopnya, "Bisa ikut saya sebentar? Saya sejak tadi tidak bersuara karena tau ibu akan mendominasi obrolan. Lagipula saya sedikit riskan jika berbicara disini...takut ada yang mendengar," ujarnya akhirnya bersuara.
Ceren mengangkat alisnya sebelah sedikit curiga, namun akhirnya ia menghela nafas menyanggupi permintaan Hilman ditambah memang masalah ini perlu ia bicarakan dengan si gedebong pisang.
Untung saja siang ini tak begitu banyak penghuni sekolah yang masih berada disana, so...ia bisa masuk ke dalam mobil Hilman dengan perasaan tenang.
Beberapa kali Ceren melirik Hilman yang fokus berkendara, memutar stir melewati jalanan kota yang cuacanya begitu panas siang ini.
"Kamu mau ngomong sesuatu?" tembak Hilman sukses membuat Ceren gelagapan, nyatanya sejak tadi ia melirik orangnya tau.
"Itu pak---mas, eh pak kepsek..." jawabnya gelagapan.
Ceren menghela nafasnya demi membuang rasa tak nyaman, kali aja kan rohnya pun ikut terbuang, biar ia mati sekalian.
Ia menunduk sambil memainkan kedua kuku jari jempolnya di atas pangkuan.
"Apa tidak sebaiknya kita sama-sama menolak? Tidak mungkin saya dan bapak..." ia menggeleng, "mas..."
"Panggil saja saya senyaman kamu." Tembak Hilman datar dengan mata yang tak kehilangan fokusnya ke depan jalanan.
Ceren melirik pria matang yang selalu memakai kemeja saat bertemu dengannya, belum pernah Ceren bertemu Hilman dalam balutan casualnya, namun sejauh ini kharismanya terbentuk dari sana.
Tak ada jambang atau kumis yang menghalangi paras dinginnya terkesan rapi dan bersih, begitupun rambut pendek yang selalu ia sisir rapi dan ia bubuhkan pomade, lebih persis Habibie muda di film, pffffttt! Ceren tertawa dalam hati.
Hilman masih dalam kediamannya, bukan ia tidak menanggapi namun ia tidak mungkin menceritakan alasan bapak yang sebenarnya ataupun wasiat Gilang.
"Kenapa kita tidak jalani saja?"
"Bapak gila?!!!" tanya nya refleks membuat Hilman mengangkat alisnya horor menatap Ceren.
"Masa kakak ipar nikahin adik iparnya?! Masa kepala sekolah nikahin muridnya sendiri?! Gilang itu adik bapak loh! Bapak mau tega khianatin dia gituh, tanah kuburannya aja belum kering..."
Mobil memutar lalu berhenti di sebuah rumah makan bernuansa kampung dengan atap rumbia sebagai gazzebo-gezzebo tempat makannya dan konsep makan yang prasmanan macam hajatan.
"Kita bicarakan sambil makan siang saja. Tapi jika kamu tanya apa keputusan saya, maka saya menyetujui jika menikahi istri almarhum adik saya," jawabnya mengejutkan, Ceren tak mengerti dimana otak dan kema luuuan (rasa malu) Hilman, bisa-bisanya ia setuju dengan Ceren yang harus naik ranjang dengannya.
"Bapak ngga malu?!" tanya Ceren mengikuti Hilman yang sudah keluar dari mobil.
Jangankan sakinah mawadah warahmah till jannah, masuk resto aja Ceren berasa digusur Hitler, come on! Dimana toko yang jualan granat sih?!
Hilman menggeleng lalu mengambil nampan dan piring, memilih nasi merah, ayam bakar dan beberapa lauk untuk teman makan, "ngga mungkin saya suapin kan?" tunjuk Hilman dengan pencapit di tangannya pada Ceren sebagai kode agar gadis ini mengambil makan sendiri, si alannn! Memang berbanding terbalik dengan Gilang yang begitu romantis memperlakukannya.
Mau tak mau Ceren mengambil makan mengingat perutnya keroncongan juga, oke kita kesampingkan ego dan emosi, ada orang nawarin makan, sikat!
Setelah menemukan tempat duduk di saung yang berada diantara hiasan resto berupa pancuran berbentuk gentong dan view kolam ikan Ceren memilih duduk di sebrang Hilman bersekat meja kayu kotak.
"Pak." Tegurnya belum selesai dengan obrolan tadi.
"Katakanlah ini wasiat Gilang untuk saya menjaga kamu."
Deg!
Bahkan di akhir hidupnya Gilang masih memikirkan hidupnya yang padahal ia sendiri saja, fine-fine saja tanpa pengganti Gilang.
"Bapak ngga perlu mikirin saya, pak. Saya akan baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja." Ucap Ceren berapi-api. Rupanya gemericik air yang menenangkan tak mampu meredam emosinya.
"Saya tidak bicara tentang kamu. Tapi Gilang..."
Ceren mengatupkan bibirnya, jika berbicara tentang orang yang sudah tak ada maka ia tak bisa berkata apa-apa.
"Anggap saja, saya sedang menjalankan wasiat adik saya. Rasa tanggung jawab keluarga kami atas dirimu."
Bukan pernikahan seperti ini yang ingin Ceren jalani untuk kehidupannya, bukan bersama gedebong pisang ia menjalani masa tua bersama, yang meskipun semasa hidupnya memiliki jantung namun tak punya hati.
Ceren menghela nafas lelah dan mengantukan keningnya dalam lipatan tangan di atas meja.
"Setidaknya hingga kamu bertemu dengan seseorang yang mau menerimamu sebagai janda adik saya, tanpa harus mengatakan jika kamu pernah menjalani pernikahan dengan saya...maka anggaplah pernikahan kita nanti adalah pernikahan sementara...setidaknya kabulkanlah wasiat Gilang," jawab Hilman menatap nyalang lurus ke depan, entah apa yang tengah ia tatap yang jelas bukan mata Ceren.
Hoffftt! Ceren bukan sultan, ia juga bukan presiden atau buronan polisi tapi kenapa hidupnya sepelik ini?
"Saya beri waktu sampai...."
"Habis makan."
Ceren langsung menegakan kepalanya dan melotot, "yang bener aja! Bapak ngasih waktu buat mikir atau lagi kebelet bokeeerr?!"
.
.
.
.
.
.
happy ending buat pasangan mas bodo dan cerenia, happy selalu bersama keluarga...makasih mbk sin, udah bikin novel yg greget kayak maa bodo
next, going to the next novel, gio adik bontotnya mas tama ya
kopi sudah otewe ya..