Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vivian Chandra
Keluarga Setiadi menyewa sebuah mobil. Benjamin bersikeras untuk menyetir sampai ke Singkawang.
“Kenapa nggak aku aja, Pak?” Dihyan menawarkan diri.
“Nggak usah. Memangnya Bapak sudah tua sampai nggak mampu nyetir selama empat jam ke Singkawang? Terus, kamu tahu memangnya jalan kesana?” tolak Benjamin.
“Kan ada peta, Pak. Ada GPS,” Dihyan masih mencoba menawarkan diri.
“Lah, mendingan Bapak lah kalau gitu. Nggak perlu pakai GPS malahan. Nggak repot nengak-nengok sana-sini lagi, tinggal gas saja. Santai saja semuanya. Bapak paham rutenya dan masih hapal arahnya.”
“Yakin, Pak? Sudah belasan tahun lho terakhir Bapak ke Singkawang,” kali ini Centhini yang mencari tahu apakah sang ayah yakin akan menyetir selama perjalanan.
“Kalau pun ada perubahan, ya nggak seberapa lah, dibanding Dihyan yang sama sekali belum pernah ke sana.”
Mau bagaimana lagi kalau Benjamin sudah bersabda. Semua ya tinggal menurut titahnya saja. Lagipula memang tidak ada alasan mencegah Benjamin menyetir. Laki-laki itu masih prima, kuat dan cekatan, tidak ada masalah sama sekali. Mungkin juga dengan menyetir, sang ayah ingin menikmati memori tentang kota ini serta pemandangannya dengan caranya sendiri. Benar juga bahwasanya selain Benjamin, tidak ada satupun diantara mereka yang paham benar rute ke Singkawang.
Rasa-rasanya Dihyan malah pengin tidur kalau sudah seperti ini. Ia pengin masuk ke dalam mimpi, bertemu dengan sosok bidadari lain, tidak perlu dengan Stefani Indri yang entah siapa itu. Boleh lah dengan seorang Ling Ling atau Mei Mei, yang penting seorang gadis cantik yang dapat membuatnya kembali merasa bahwa sesungguhnya mimpi yang ia alami lebih baik dibanding kehidupannya yang menyedihkan tersebut.
Perjalanan empat jam ternyata juga tidak terlalu terasa. Benjamin walau sedang menyetir, tak putus-putusnya menceritakan kepada kedua anaknya tentang pengalamannya bertaun-tahun lalu bolak-balik ke Pontianak dan Singkawang.
Sepasang mata sipit Centhini membelalak menyaksikan gerbang selamat datang kota Singkawang yang berornamen merah menyala itu. Sepanjang jalan tadi saja, ia dan Dihyan sudah diperciki ketertarikan atas beragam keunikan kota tersebut. Banyaknya jumlah klenteng yang bertaburan sebelum sampai di pusat kota mewajarkan mengapa kota itu juga digelari dengan Kota Seribu Klenteng.
Altar-altar sembahyang yang tertata rapi di dalam klenteng-klenteng tersebut seakan menyadarkan Dihyan bahwa tradisi hidup dengan baik di kota ini, untuk entah sudah berapa tahun lamanya. Latar belakang Gunung Roban yang berdiri gagah seakan melindungi kota dengan pelukan alamnya yang masih hijau.
“Mbak, kamu lahir di kota ini, lho,” ujar Dihyan.
Centhini tersenyum. Dihyan melihat dengan jelas dari raut wajah kakaknya itu bahwa ada rasa kerinduan yang aneh di dalam dadanya, bercampur dengan rasa asing sekaligus penasaran dengan tempat dimana kedua orang tua dan saudara-saudari kandungnya tersebut berasal.
Ada sebuah warung makan tepat di sebelah kelenteng kecil di pusat kota, meski sedikit tersembunyi di balik bangunan-bangunan pertokoan.
Di tempat itulah Benjamin berhenti dan mengajak keluarganya untuk rehat sejenak dan makan siang.
“Tempat yang kita tuju masih harus naik ke gunung itu. Jadi, mending kita siapkan tenaga dulu saja. Lapar ini, laparrr …,” seru sang ayah.
“Hah? Naik gunung? Maksud Bapak kita mendaki?” seru Dihyan.
Benjamin menepuk jidatnya sendiri. “Ya naik mobil, mengendarainya melewati jalanan beraspal nan berkelok-kelok ke arah atas, sehingga mencapai pemukiman di wilayah gunung sana. Nah, sudah paham kalau Bapak pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar? Makanya, makan dulu, biar nggak kosong perut dan konsentrasi kamu itu.”
Centhini tertawa, menertawai ejekan sang bapak kepada Dihyan.
Dihyan melengos. Sudah biasa dijadikan obyek sengsara ayahnya itu.
“Salah kamu sendiri, sih,” tambah Centhini.
Dihyan menjambak rambut kakaknya, pelan saja, tapi lumayan mengganggu seperti ketika Centhini mengacak-acak rambut Dihyan.
“Sudah sana, tolong pesenin. Aku ikut aja, yang enak apa. Mau ke depan sebentar, itu ke mini market.”
“Ngapain, Yan? Minum pesen di warung makan aja.”
“Nggak, ini ternyata kehabisan kuota internet,” ujar Dihyan. Ia tidak meminta persetujuan Centhini lagi untuk kemudian menyeberang jalan menuju ke mini market.
Sepanjang perjalanan di dalam pusat kota Singkawang ini, Dihyan memperhatikan keramaian dan kepadatan penduduknya. Cukup unik ternyata di balik keramaiannya, ada pula ketenangan seperti ini. Padahal tempat makan dan mini market di seberangnya ini terletak tepat di jantung kota, berjajar dengan kompleks ruko atau pertokoan.
Dihyan mendorong pintu mini market yang berderit. Tampak sepi di dalam, hanya dua orang pelanggan yang masih mencari-cari barang yang hendak mereka beli di rak. Dihyan langsung menuju ke kasir.
Gadis itu, menatap Dihyan dengan pandangan antara terkejut, kagum dan tersipu. Dihyan dapat melihat dengan jelas semua emosi tersebut tergambar di air muka dan raut wajahnya yang … cantik. Seorang gadis Tionghoa asli Singkawang yang bekerja sebagai seorang kasir mini market. Itu yang terlintas di pikiran Dihyan.
Jangan sampai ini juga merupakan sebuah mimpi brengsek itu lagi, ujarnya kembali di dalam hati. Bukannya mengapa, tapi ia merasakan rasa percaya diri itu lagi meruap dari dalam tubuhnya. Ia mendadak merasa seperti seorang laki-laki yang sudah kawakan dan berpengalaman menghadapi perempuan. Itu sebabnya, entah bagaimana, Dihyan tahu bahwa si gadis nyata-nyata menunjukkan ketertarikan kepadanya.
“Halo. Siang ce. Saya mau beli kuota,” ujar Dihyan lugas.
Sang gadis hampir tak bisa melepas tatapannya dari wajah Dihyan.
Ia memiliki wajah mungil. Rambutnya panjang dan lurus, dengan semburat warna pirang hasil pewarnaan yang mungkin telah lama luntur dan hilang warna aslinya, serta dikuncir kuda. Sepasang matanya tidak sesipit Centhini, tetapi mengerling dengan gaya yang nakal sekaligus gugup. Tubuhnya cukup tinggi, ramping, dan berdada besar.
Sial! Mendadak keringat mengalir di punggung Dihyan membayangkan hal ini. Tidak mungkin untuk tidak memperhatikan hal yang paling menonjol itu. Ukuran sepasang dada sang gadis itu memang sangat kentara, apalagi dengan caranya membusungkan dadanya tersebut.
“Oh, ok, Sir. How much do you want?” tanya sang gadis.
Dihyan tertawa pelan dan renyah. “Saya bukan bule. Nggak perlu pakai bahasa Inggris. Tadi saya juga sudah pakai bahasa Indonesia, kan? Nggak usah merasa nggak enak juga. Soalnya orang sering salah palam,” ujar Dihyan.
Sang gadis merona. Pipinya memerah. Kulitnya memang tak seputih Centhini, tetapi kehalusan dan kelembutannya tetap menggoyangkan iman Dihyan.
“Eh, aduh, maaf …,” ujar sang gadis.
Dihyan melirik nama Vivian yang tertera di nametag tertempel di dada kirinya.
“Nggak apa-apa, Vivian. Kamu Vivian kan?’
Yang disebut hampir saja terkejut karena si laki-laki bertampang bule itu mendadak mengetahui namanya. Untung ia segera sadar bahwa laki-laki muda itu pasti tahu dari nametag-nya.
“Iya. Vivian Chandra,” ujar amoi yang bernama Vivian tersebut sembari tersenyum malu-malu.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh