cerita ini masih bersetting di Dunia Globus di sebuah benua besar yang bernama Fangkea .
Menceritakan tentang seorang anak manusia , dimana kedua orang tua nya di bunuh secara sadis dan kejam serta licik oleh sekelompok pendekar kultivator .
Trauma masa kecil , terbawa hingga usia remaja , yang membuahkan sebuah dendam kesumat .
Dalam pelarian nya , dia terpisah dari sang kakak sebagai pelindung satu satu nya .
Bagai manakah dia menapaki jalan nya dalam hidup sebatang kara dengan usia yang masih sangat belia .
Bisakah dia mengungkap motif pembunuhan kedua orang tua nya , serta mampu kah dia membalas dendam ? .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvinoor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pek Tiauw Kong hiap, (Pendekar Muda sang Rajawali putih).
Cin Hai menatap kearah pemuda yang baru saja datang entah dari mana itu.
"Suhu Sin Kai Sian?, suhu juga hadir di tempat ini?" tanya Cin Hai.
"Ya nak, aku menjemput suhu mu ini, aku bersama nya akan berpetualang bersama sekarang, jaga diri mu nak!" ujar Sin Kai Sian tersenyum ramah.
"Ya, kau harus bersikap baik nak, tolonglah siapapun yang membutuhkan pertolongan mu, tidak pandang dia manusia, atau bahkan binatang sekalipun, amalkan semua ilmu yang kami berikan di jalan kebaikan, kami pamit pergi!" ucap Sin Tiauw Giam Lo Ong sambil menyapu kepala murid tersayang nya itu.
Lalu perlahan, tubuh kedua nya mengabur, dan hilang ditelan temaram nya dasar jurang itu.
Belum sempat Cin Hai berpikir macam macam, tiba tiba awan diatas kepala nya berputar seperti puting beliung, dengan lidah petir yang menyambar kesana kemari.
Petir berwarna abu abu itu adalah petir kesengsaraan tingkat kedelapan.
Cin Hai segera melompat keatas batu di tengah telaga itu, berdiri tegak dengan tangan terangkat keatas.
"Bum!" seberkas petir berwarna keabu abuan menyambar kearah tubuh nya.
Kini nampak sekujur tubuh nya menjadi hitam sehitam jelaga.
Namun Cin Hai masih berdiri tegak, menantang petir kesengsaraan tingkat delapan, sebagai ujian kelulusan nya diranah Dewa langit, untuk selanjutnya berada di ranah Dewa Bintang.
"Bum!" .....
Sambaran petir kesengsaraan kedua membuat pakaian di sekujur tubuh nya gosong menjadi abu.
Namun Cin Hai dengan tubuh gosong bagai arang itu, tetap berdiri tegak menahan derita Sambaran petir kesengsaraan tingkat delapan itu, tanpa goyah sedikit pun.
"Bum!" .....
Sambaran terakhir dari petir kesengsaraan berwarna abu abu itu membuat seluruh rambut dan kulit tubuh Cin Hai menjadi gosong seperti arang.
Meskipun tubuh nya sedikit bergetar, tetapi dia tetap tak tergoyahkan.
Petir dengan lidah petir berwarna abu abu nya itu tiba tiba menghilang, dan awan yang berputar seperti angin puting beliung tadi berhenti dengan sendiri nya, lalu dari awan tadi turun hujan lebat.
Itulah yang dinamakan hujan kebahagiaan, karena hujan ini akan merubah sesuatu yang rusak menjadi baik kembali.
Perlahan lahan, jelaga di tubuh Cin Hai larut bersama kulit usang nya yang sudah gosong tadi, berganti dengan kulit baru yang lebih putih dan halus serta lebih indah.
Begitu juga dengan rambut nya yang tadi sudah habis gosong karena Sambaran petir kesengsaraan, kini secara ajaib, tumbuh kembali dengan rambut yang lebih hitam dan lebih lebat serta lebih indah.
Cin Hai segera melirik kearah tengah tengah batu giok besar berwarna biru itu, ternyata di tengah tengah nya ada gagang sebuah pedang berbentuk kepala burung Rajawali.
Perlahan Cin Hai menggenggam gagang pedang itu, lalu dengan hati hati mencabut nya dari celah batu.
Pedang berwarna putih cemerlang itu memiliki panjang hampir satu depa.
Pedang Sin Kiam Pek Tiauw (pedang Sakti Rajawali putih) itu sekelas Tien Cu (Mustika langit) yang sangat langka didapat, salah satu benda pusaka langit tertinggi diatas tingkat Po Thien (pusaka langit).
Cin Hai segera menempelkan pedang Sin Kiam Pek Tiauw di dahi nya, dan sekejap kemudian pedang itu lenyap masuk kedalam tubuh nya.
Seperti kebiasaan pedang sakti , selalu menjadikan tubuh tuan nya untuk menjadi warangka nya.
Karena pakaian nya habis gosong, Cin Hai terpaksa mengambil sisa sisa pakaian sin Tiauw Giam Lo Ong untuk menutupi tubuh nya.
Cin Hai meneteskan darah nya kearah kedua cincin ruang yang di berikan oleh kedua orang guru nya itu.
Setelah itu, barulah dia bisa mengintip kedalam isi cincin ruang itu.
Cincin ruang milik Sin Kai Sian berisikan beberapa puluh ikat herbal langka, dan pil di dalam beberapa tabung bambu kecil, serta beberapa ribu tail emas.
Sedangkan cincin ruang milik Sin Tiauw Giam Lo Ong, ternyata berisi beberapa potong pakaian yang masih bagus yang sangat pas dengan tubuh Cin Hai sendiri, mungkin sang guru memang mempersiapkan itu semua untuk murid nya itu.
Selain itu, ada pula beberapa ikat herbal langka, beberapa tabung kecil pil dan beberapa ribu tail emas.
Cin Hai segera mengganti pakaian nya dengan pakaian yang ada di dalam cincin ruang milik Sin Tiauw Giam Lo Ong tadi.
Setelah mengikat tempat air dari kulit labu tua nya, Cin Hai segera memanjat keatas dengan berlompatan dari tonjolan batu yang satu, ke tonjolan batu yang lain nya, sehingga setelah berusaha beberapa waktu lama nya, akhirnya dia tiba juga di mulut jurang Dewa maut itu.
Kini tujuan utama nya adalah perguruan silat Sin Houw tempat kakek dan nenek angkat nya berada.
Tetapi sebelum ke perguruan silat itu, Cin Hai terlebih dahulu bermaksud pergi ke dusun Angguan, dusun tempat dia dan kakak nya Jiang Bi di lahirkan.
Cin Hai segera melesat kearah selatan dengan mempergunakan ilmu meringan kan tubuh tingkat tinggi milik nya.
Setelah beberapa hari perjalanan, dengan berpedoman pada pegunungan Kwan Lun di sebelah kanan, tibalah dia di sebuah kali kecil.
Sambil melihat kesekeliling nya, Cin Hai berusaha mengingat kembali, kemana arah yang harus dia tuju, maklum saja ingatan nya waktu itu dia baru berusia lima tahunan saja, jadi agak susah mengingat sesuatu secara gamblang, kecuali tentang kematian kedua orang tua nya, yang kadang kadang terbawa ke Dunia mimpi nya.
"kalau ke kanan, ke pegunungan Kwan Lun, berarti ke kiri mungkin yang menuju ke dusun Angguan" pikir Cin Hai sendirian.
Dia segera berjalan kearah kiri nya, yaitu menuju ke arah hilir kali kecil itu.
Akhirnya setelah berjalan beberapa lama nya, di depan nya, dia melihat sebuah dusun kecil.
Di ujung dusun arah ke hulu kali kecil itu, dia melihat sebuah rumah reot berdindingkan bambu yang sudah lapuk serta sebagian sudah rubuh.
Sejenak Cin Hai berdiri terpaku menatap kearah rumah reot itu, berbagai kenangan indah berputar di benak nya, sewaktu dahulu ia dan kakak nya masih bersama kedua orang tua nya di tempat itu.
Di halaman rumah reot itu ada dua buah pusara batu bertuliskan Fu Cai Ong dan satu nya lagi bertuliskan Quon Lian Eng.
Kedua kaki Cin Hai tiba tiba terasa lemah lunglai.
Dia bersimpuh di depan kedua makam itu, air mata nya deras mengalir tanpa terbendung lagi.
Bayangan kedua orang tua nya tewas di tangan para manusia biadab itu. kini berputar kembali.
Dengan tubuh yang bergetar hebat sekali, Cin Hai menatap kearah kedua makam batu itu sambil air mata nya luruh tak tertahankan lagi.
"Ayah!" ......
"Ibu!" ......
"Aku malu berlutut di sini lagi, bila aku tidak bisa membalas dendam dengan manusia manusia biadab yang telah membunuh kalian berdua, tenang lah kalian berdua di alam sana, putra mu akan mencari semua pelaku nya, meskipun mereka lari ke lubang semut sekalipun!" Isak tangis Cin Hai sambil berlutut di pusara kedua orang tua nya itu.
Namun baru saja Cin Hai berdiri, dari arah tengah dusun, terdengar suara orang orang meminta tolong, bersama dengan jeritan beberapa perempuan.
Cin Hai segera menyusut air matanya, lalu dengan sekali genjot, tubuh nya segera berkelebat kearah tengah dusun.
Di tengah dusun itu, terlihat sepuluh orang berpakaian hitam hitam, bersenjatakan golok , sedang menarik beberapa gadis secara paksa.
"Hei!, hentikan ulah biadab kalian ini!" teriak Cin Hai murka.
Seorang laki laki berperawakan tinggi dan gendut, sepertinya adalah pemimpin dari orang orang liar itu menatap kearah Cin Hai.
"Ho hoi, rupanya ada bocah yang sudah bosan hidup, katakan siapa nama mu, agar kami bisa mengukir nya di batu nisan mu nanti!" ujar laki laki itu.
"Kau tidak perlu tahu nama ku, kau cukup tahu jika akulah Pek Tiauw!" sahut Cin Hai.
Orang itu tertawa mendengar perkataan dari Cin Hai itu, "ayo teman teman, kita sembelih Pek Tiauw nya, ayo!" .....
Serentak, kesepuluh laki laki kasar itu bergerak mengeroyok Cin Hai.
...****************...