“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DHIEN ~ Bab 35
Setelah hujan badai, muncullah sang pelangi.
......................
Dalam keremangan cahaya lampu Cublik, terlihat sosok wanita ber mukena putih, dirinya bersimpuh dengan tangan menengadah, memanjatkan doa, merayu Sang Maha Pencipta.
Dhien terus menutup mata, bibirnya bergetar menahan isak tangis agar tidak lolos. “Ya Rabb, izinkan kali ini hamba menambahkan satu nama dalam doa. Dimanapun ia berada, semoga Engkau senantiasa menjaganya, melindungi serta memudahkan setiap urusannya.”
Dhien menyudahi bercengkrama dengan Sang Maha Esa, hatinya sedikit tenang walaupun masih diselimuti kegundahan.
“Apa sebenarnya yang kurasakan? Mengapa belum juga merasa tenang? Kenapa pula kau mengatakan sesuatu yang membuat ku jadi kepikiran Dzi?” ucapnya begitu lirih, netranya melirik Meutia yang tertidur pulas di buai mimpi.
***
Setelah 9 hari berlalu, akhirnya Dhien pulang ke rumahnya sendiri, bekas lukanya pun sudah pulih, hanya sedikit meninggalkan bekas yang ditutupi dengan make-up pemberian Dzikri.
“Mengapa lama betul kau pergi, Dhien? Emak sampai berpikir apa tak ingat jalan pulang, atau kesasar lalu dibawa makhluk Bunian.” Emak Inong memukul pundak sang anak, yang langsung dibalas pelukan hangat.
“Yang ada, tu hantu takut ku banting, Mak! Daripada mengoceh terus, lebih baik kita makan enak saja, ini ada Dhien bawa Asam pedas ikan laut kesukaan, Emak!” Dhien menuntun ibunya ke amben dapur, lalu membuka bungkusan plastik yang dia pesan dari Meutia, kemudian dirinya terlebih dahulu mencuci tangan.
Bersama, ibu dan anak itu menikmati menu mewah bagi mereka. Biasanya sebulan sekali belum tentu dapat makan ikan laut, begitu pun dengan daging ayam, bila lebaran saja baru tersedia, ataupun jika ada ayam peliharaan yang tidak sehat, maka akan segera dipotong sebelum menjadi mubazir.
.
.
Dhien sedang berada di ruang tamu rumah Agam Siddiq, ia dipinta datang tanpa tahu maksud dan tujuan dirinya disuruh hadir.
Agam yang baru keluar dari ruang kerjanya, memilih duduk di seberang meja, mengeluarkan sesuatu dari dalam amplop. “Ini sertifikat rumah mu sudah jadi, Dhien. Kau satu-satunya pemilik sah bangunan dan tanahnya.”
“Mengapa cepat sekali prosesnya, Bang?” tanyanya heran, tangannya mengambil dan membuka lembaran kertas bertinta hitam.
“Kalau soal tu, saya kurang paham. Mungkin memang sudah rezeki mu,” jawabnya singkat.
“Alhamdulillah.” Dhien memeluk sertifikat rumah miliknya, sebelumnya dia dan sang ibu meminta bantuan Agam untuk mengurusnya.
“Dhien, apa kau berminat menderes getah di kebun saya?” Agam bertanya tanpa menatap lawan bicaranya.
Sertifikat tadi terjatuh di atas meja, Dhien begitu terkejut oleh perkataan Agam Siddiq. “Abang tak salah ucap ‘kan? Bukankah kapan hari, jumlah para pekerja sudah pas?”
Agam mengangguk mengiyakan. “Betul, tapi ada yang mengundurkan diri, dikarenakan hendak kembali ke pulau Jawa. Jadi, apa kau bersedia menggantikannya?”
Tanpa berpikir panjang, Dhien langsung mengangguk. Bisa bekerja di keluarga Siddiq, sungguh hal luar biasa, ibarat kata mendapatkan durian runtuh. Pembagian hasil yang adil, belum lagi diberikan bonus lainnya, bila hasil getah melimpah.
‘Ya Allah, apa ini yang dinamakan ‘Pelangi setelah hujan badai berlalu?’
'Dzi ... saya sudah memenuhi permintaan mu. Nya begitu senang sesuai harapan mu.'
“Nyak! Abang mana?!”
Suara menggelegar layaknya terompet itu begitu tidak enak di dengar.
Meutia masuk ke dalam rumah, napasnya pendek-pendek, bahu naik turun, dia kehilangan kendali dikarenakan emosi yang menguasai.
“Abang tu, apa-apaan?!”
“Tia, Abang hanya ingin memberikan yang terbaik. Semua tu demi kebaikan mu.” Agam berdiri, melangkah mendekati sang adik.
“Berhenti di situ! Tak mau Tia di rayu, hati ni begitu kesal, macam bara api neraka yang siap melahap kaum Pendosa!” Meutia berjalan mundur, dia betulan marah.
‘Sandiwara apa lagi yang kau mainkan Tia? Tapi, sepertinya ni sungguhan.’ Dhien juga ikut berdiri, dia begitu penasaran.
“Meutia, kali ni keputusan Abang tak bisa diganggu gugat! Demi keselamatan mu, terimalah pengganti motor pembawa bencana sebelumnya!”
“Abang sedikit PAOK! Sudah Tia katakan ... kalau diri ni tak cinta dengannya! Mengapa tetap memaksa, hah?!” Meutia menghentakan kakinya, lalu memilih keluar memungut batu hendak melempar sesuatu yang sedari tadi membuatnya meradang.
“Tia cuma mau jadi induknya Samson, bukannya si Banci kayak Sisri!” Meutia melempar batu, yang berakhir masuk ke dalam keranjang motor.
Sisri pengganti Samson.
Dhien tertawa terpingkal-pingkal sampai air matanya keluar. “Astaga Tia, ya Tuhan. Sungguh aku tak bisa berkata-kata, Meutia!”
“Kembalikan si Samson! Apa pulak motor ni, tak ada jantannya, tak jua bisa di ajak lompat-lompat apalagi terbang. Nyak! Abang jahat.” Meutia berguling-guling diteras rumah, dirinya tidak mau menerima motor modifikasi pengganti si Samson.
“Bagus loo Kak, bila musim hujan, tak payah membuka payung, terus tempat duduknya empuk. Jadi, kalau Kak Tia balap, pantat kami pun aman.” Ayek mengelus tempat duduk yang seperti becak bermotor.
“Tia, ini bisa kita bawa buat nyolong buah loo, tak payah memanjat apalagi menggunakan gala, tinggal naik di payung nya … sudah bisa panen mangga Pak lurah.” Dhien memberikan masukan, meskipun sekuat tenaga menahan tawa.
“Betul tu, Kak. Nanti kalau banjir lagi … kita bisa duduk di atas nya, biar tak tenggelam.” Rizal pun ikutan menghibur Meutia.
“Mohh! Tak mau! Tia, cuma ingin Samson … huwwaaa.”
.
.
Hari-hari berlalu begitu cepat, bulan terus berlalu, dan tahun telah berganti.
Kini umur Dhien sudah 22 tahun lebih, dirinya berhasil melewati badai, menjalani hari-harinya dengan tetap menjadi wanita tangguh, merancang rencana secara matang demi membalas dendam pada mereka yang sudah menorehkan luka.
Di balik semak-semak perbatasan perkebunan karet milik bang Agam dan rawa-rawa, Dhien menguping pembicaraan sepasang manusia yang sedang memadu kasih.
“Mampus kau, Winda! Kali ini tak kan kubiarkan dirimu menang lagi. Nek Blet titisan Fir'aun, siap-siap lah senam jantung!” Dhien meremas rumput, telinganya tetap menguping dan tatapan matanya begitu awas memperhatikan sekitar.
“Ah … sungguh menjepit rasamu, Win. Ayo kita ulangi lagi dan lagi! Jangan sia-siakan kesempatan yang hanya tersisa sedikit ni!” Si laki-laki terus memacu.
“Iya, Bang. Walaupun sudah bersuami, aku tetap berharap, masih bisa kau puaskan. Terus, Bang! Aku mau sampai!” Winda yang berada di bawah kungkungan si pria, terus meracau, mendesah, melupakan bila sebentar lagi dirinya akan menikah.
Malas meneruskan menguping, Dhien mengendap-endap pergi dari sana, yang terpenting dia sudah membawa sesuatu sebagai barang bukti kuat.
***
Dhien datang ke rumah neneknya, menghadiri acara syukuran si Winda yang diterima bekerja menjadi perawat puskesmas desa. Baru saja dirinya melangkah masuk, sudah di hadang Nek Blet.
“Kau tengok cucu kebanggaan ku tu! Sekarang nya sudah menjadi seorang perawat, dan tak lama lagi akan dipersunting anggota aparat kepolisian. Sedangkan kau, hanya bisa melempar aib di wajah ku! Status tak jelas, mantan suami pun minggat entah kemana! Betul-betul Wanita Pembawa Sial kau, Dhien!”
“Ya ya ya, cucumu memang terbaik, sungguh luar biasa, sampai-sampai macam Anjing kawin nya di balik semak-semak!”
“Maksud kau apa, Dhien ..?!”
.
.
Bersambung.
katanya puasa ini
duh Abang Agam bikin diriku malu🤭
Kumenanti BONCHAP nya
Sehat selalu thor