Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Mendekat
"Aku kerja dengan sistem remote job. Jadi kerja dari sini, bukan dengan aku pergi ke sana. Cukup di depan komputer, program-program yang aku buat dipakai sama mereka. Gajiku lumayan loh. Mungkin lebih besar dari gaji kamu.” Dzaki memperlihatkan slip gaji yang sudah beberapa bulan terakhir diterimanya dari perusahaan yang berpusat di Jerman itu.
Dzaki begitu puas melihat wajah Nabila yang tercengang melihat nominal dengan kurs dollar yang tertera di slip gaji itu. Juga sedikitnya Nabila pernah mendengar perusahaan yang bergerak di bidang informatika itu. Perusahaan itu cukup besar dan sedang naik daun di era digital seperti sekarang.
“Tapi tetep aja.” Nabila mengontrol kembali wajahnya. “Kamu harus selesain kuliah kamu. Orang tua kamu pasti sangat berharap kamu bisa selesai kuliah. Mungkin iya kamu gak butuh gelar sekarang karena kamu udah punya kerjaan, tapi gimana kalau suatu hari kamu berhenti. Kamu bosen, atau bahkan diberhentikan dari kerjaan kamu itu? Gelar itu bentuk penghargaan buat perjuangan yang udah kita lakukan, juga memberikan kita rasa bangga. Kita bangga pada diri kita sendiri, karena bisa ada di titik itu. Orang tua kamu juga akan bangga karena kita sadari atau enggak, gelar itu sangat penting di masyarakt kita.”
Dzaki tertegun mendengar nasehat dari istrinya itu. Ia begitu tersentuh. “Kalau kamu ngomong gitu, aku janji pulang dari honeymoon, aku akan beresin skripsi aku,” tekadnya. Selain karena Nabila, Dzaki juga sudah berjanji kepada kedua orang tuanya untuk menyelesaikan kuliahnya jika mereka memberikan dukungan untuknya menikahi Nabila.
Nabila cukup terkejut semudah itu Dzaki luluh karena kata-katanya. “Serius?”
Dzaki mengangguk pasti. “Iya dong, istri aku udah sarjana. Masa aku enggak? Makasih ya, kamu udah bikin aku semangat buat selesain kuliah aku,” ujarnya tulus seraya tersenyum manis pada Nabila.
Desiran aneh Nabila rasakan di dalam hatinya. Ia berdeham untuk meredamnya.
“Sekarang, ceritain tentang kamu. Semuanya. Aku pengen tahu,” pinta Dzaki.
“Saya cuma perempuan biasa, ibu dari satu anak, wanita karir juga, dan udah 10 tahun sejak saya ditinggal suami. Gak ada yang spesial dari saya,” terang Nabila singkat.
“Umur anak kamu berapa?” tanya Dzaki.
“18 tahun. Saya melahirkan dia di umur saya yang masih 17 tahun waktu itu.”
“Kamu hamil di luar nikah?” tanya Dzaki frontal.
Nabila mengerutkan dahi. “Astagfirullah. Ya enggak dong! Waktu saya lulus SMA ayah saya meninggal. Almarhum adalah tulang punggung keluarga walaupun gajinya sebagai guru gak terlalu besar. Saat beliau gak ada, kami sekeluarga benar-benar kehilangan pemasukan. Tiba-tiba ada murid ayah yang melayat, namanya Mas Hadi. Dia udah sukses hidup di Jakarta. Dia menawarkan bantuan untuk membantu semua biaya keluarga saya asal saya menikah dengan dia. Akhirnya tanpa pikir panjang saya setuju. Setelah itu Mas Hadi membawa saya ke Jakarta. Saya pun kuliah dan gak lama saya hamil dan melahirkan saat saya masih 17 tahun.”
“Oh gitu…” Nabila melihat Dzaki tidak terlalu terkejut. Padahal biasanya orang lain akan cukup tercengang dengan cerita awal pernikahannya dan menjadi ibu di usia 17 tahun. “Kamu masih cinta sama suami kamu itu, Bila?”
Nabila bingung akan menjawab apa. “Saya sangat menghormati Mas Hadi. Beliau adalah orang yang sangat berjasa buat hidup saya.”
"Kamu gak jawab pertanyaan aku. Apa kamu udah gak cinta sama mantan suami kamu itu? Atau mungkin kamu gak pernah cinta dan cuma merasa hutang budi aja?”
Ucapan Dzaki betul-betul tepat sasaran. Nabila memang tidak pernah benar-benar mencintai Hadi. Bertahun-tahun menikah bahkan sampai memiliki anak, sosok Hadi bagi Nabila hanyalah sebagai orang yang berjasa baginya dan keluarganya.
"Bagi saya, Mas Hadi selalu menjadi orang yang spesial bagi saya," pungkas Nabila. "Udah malem, saya udah ngantuk banget. Kita pulang yuk."
Tanpa menunggu persetujuan Dzaki, Nabila meninggalkan meja dan membuat Dzaki mau tak mau mengikuti sang istri.
Tiba di villa Nabila segera pamit menuju kamarnya. "Makasih ya untuk makan malamnya. Selamat beristirahat."
"Kita gak akan tidur sekamar?"
Sontak pipi Nabila memerah. "Kita tidur di kamar berbeda. Saya gak bisa tidur bareng kamu. Permisi."
Dzaki terkekeh, "ya udah beberapa hari ini tidur sendiri-sendiri dulu aja gak apa-apa. Tapi nanti harus mulai tidur sekamar ya?"
Nabila tak menggubris ucapan Dzaki. Ia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Ia menenangkan detak jantungnya yang menggila. "Ya Allah, kenapa aku deg-degan gini? Apa harus aku nurut sama maunya Dzaki?"
Keesokan harinya, di sore hari, Nabila selesai dengan pekerjaan work from anywherenya. Nabila keluar dari kamar untuk mengambil minum sekaligus melihat apa yang sedang dilakukan oleh Dzaki karena sejak makan siang mereka tak saling bertemu lagi.
Ternyata suaminya itu masih berada di kamarnya. Iseng-iseng Nabila mengecek isi kulkas dan juga peralatan yang ada di kabinet dapur. Tidak ada apa-apa. Nabila ingin sekali memasak karena mereka selalu makan yang sudah disediakan oleh petugas villa.
“Lagi apa?” tiba-tiba Dzaki ada di belakang Nabila.
Nabila terlonjak kaget karena kehadiran Dzaki yang tiba-tiba itu. “Kamu, ngagetin aja. Kok dateng gak ada suara sama sekali sih?” protes Nabila.
“Kamunya aja terlalu fokus lihatin kulkas. Ngapain emangnya kamu buka kulkas? Kamu lapar?” tanya Dzaki.
“Gak juga, sih. Cuma rasanya pengen masak aja," ungkap Nabila.
“Aku takutnya kamu cape, jadi aku minta petugas villa buat bikin makanan buat kita selama kita di sini."
“Masak itu gak bikin cape sama sekali, Dzaki. Malah biasanya setiap pulang kerja saya pasti masak buat saya sama Hazel makan malam. Gimana kalau nanti malam saya masak buat kamu, gimana?”
Dzaki tersenyum salah tingkah. “Kamu mau masakin buat aku? Kalau gak ngerepotin sih, boleh."
“Gak repot kok. Ya udah kita belanja bahan-bahannya dulu yuk. Deket sini ada supermarket 'kan?” tanya Nabila dengan semangatnya.
“Boleh. Aku ganti celana dulu ya,” ucap Dzaki.
Dzaki ke kamarnya dan mengganti celana pendek rumahannya dengan celana panjang. Kemudian ia dan Nabila pun pergi menuju supermarket dan membeli bahan-bahan yang diperlukan. Dzaki dengan sabar mendorong troli dan mengikuti Nabila yang tangannya terus menyambar beberapa barang dari rak-rak yang berjajar rapi itu.
“Kamu mau masak segimana banyak, Bil?” Dzaki melihat troli mereka yang mulai penuh.
“Buat seminggu cukup kali ya.”
"Seminggu?"
“Iya. Selama kita di sini kita masak aja ya. Biar saya juga ada kegiatan. Kadang saya bosen cuma diem aja pas waktu senggang. Nanti minggu depan kita belanja lagi buat minggu depannya lagi."
“Duh, kita jadi beneran kayak udah berumah tangga jadinya,” gumam Dzaki tersipu.
“Apa sih, kamu?” Nabila salah tingkah mendengar kata-kata dari suaminya itu.
"Abis kalau kamu masakin tiap hari buat aku jadi beneran kerasa nikahnya."
"Kamu jangan berlebihan deh. Aku cuma pengen ada kegiatan aja," ujar Nabila berusaha terlihat biasa. "Udah cukup kayaknya. Yuk kita ke kasir."