Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Wanita Pelangkah
Setelah mengerjakan semua tugas yang diberikan Ibu Wiwin. Alexander kini mencoba untuk belajar materi pembagian seperti yang diminta oleh Jamilah. Sebenarnya bukan perkara sulit mempelajari materi pembagian bagi Alexander. Hanya saja Alexander tidak ingin mengerjakan apa yang tidak disukainya. Terlebih pembagian sendiri menurutnya, sama seperti dengan kehidupannya. Dimana Emir membagi kasih sayangnya secara tidak adil, timpang, berat sebelah, untuk dirinya dan Joy dan untuk wanita siluman rubah.
"Perkara mudah." Senyum puas Alexander sembari menutup LKS nya.
.
.
.
Sedangkan dikamar sebelah, yang ditempati oleh Emir dan Jamilah.
Malam ini pun Emir meminta Jamilah untuk duduk-duduk di balkon. Jamilah tidak keberatan sehingga dengan cepat keduanya sudah berada di sana.
"Kamu..."
"Kamu...".
Panggil Jamilah dan Emir bersamaan, memanggil nama mereka dengan sebutan kamu.
"Apa?." Tanya Jamilah menatap Emir dengan wajah yang sedikit angker.
"Apa kamu pernah mencintai seseorang?. Em maksud ku, mencintai seorang pria?." Plong, itu yang dirasakan Emir setelah mengajukan pertanyaan itu.
Jamilah menggeleng, tapi ia tidak langsung memberikan alasan kenapa ia menjawab tidak.
"Apa saya bisa percaya?. Jika kamu tidak pernah mencintai seorang pria." Emir menatap tidak percaya pada Jamilah.
"Tidak masalah kalau kamu tidak percaya, saya tidak memintanya." Jawab Jamilah dengan datar.
"Bukan begitu, hanya saja terdengar seperti omong kosong kalau kamu tidak pernah mencintai." Jamilah tidak memberikan tanggapan apa pun atas ketidakpercayaan Emir padanya.
"Lalu bagaimana dengan mu dan Isyana?. Apa itu bisa dibilang kalau cinta pertama mu adalah Isyana?." Dengan cepat Jamilah membalik pertanyaan pada Emir. Emir menatap tajam pada Jamilah yang menatap kegelapan malam.
"Kata mu kita sahabat, jadi apa salah kalau saya bertanya yang sangat pribadi pada mu?." Ucap Jamilah setelah Emir terdiam untuk beberapa waktu.
"Terlalu menyakitkan kisah cinta saya bersama Isyana. Walau pun iya, saya akui Isyana merupakan cinta pertama saya. Bahkan saya sempat berpikir kalau Isyana adalah pelabuhan terakhir saya. Tapi sekarang nyatanya saya sudah menikah lagi dengan mu." Jawab Emir jujur, dunianya berapa tahun silam adalah tentang Isyana, tentang bagaimana membahagiakan wanita itu, mencurahkan segala kasih sayang, perhatian dan waktu untuk Isyana. Hingga tidak ada tempat untuk wanita mana pun selain Isyana dalam hati dan hidup Emir.
"Itu merupakan anugerah yang harus kamu syukuri bisa merasakan hal itu. Jadi kamu tahu banyak rasa dari mencintai." Balas Jamilah.
"Lalu dimana sekarang Isyana?. Kenapa Alexander atau pun Joy tidak pernah kamu ajak menemui mereka?. Memangnya Isyana sendiri tidak rindu dengan kedua buah hatinya yang sekarang lebih tampan dan sangat cantik?. Yang sudah dilahirkan nya. Tidak semua wanita bisa merasakan menjadi Ibu seperti Isyana. Seharusnya kalau pun Isyana memilih berpisah dari mu, bukan berarti Isyana harus menelantarkan Alexander dan Joy?." Ucap Jamilah begitu kritis. Menyuarakan apa yang ingin diketahui oleh Alexander selama ini.
"Isyana tidak pernah sedikit pun menelantarkan Alexander dan Joy." Ucap Emir lirih sambil menundukkan kepalanya.
Jamilah menoleh pada Emir yang sudah tertunduk lemas.
"Isyana begitu menyayangi Alexander dan Joy, sampai ia rela menjauh dari hidup mereka." Suara Emir sudah terdengar berat.
"Saya juga tidak pernah berniat dan ingin berpisah dari Isyana. Tapi Isyana sendiri yang meminta dan memohon pada saya untuk melepaskannya. Saya masih sangat mencintainya dan sampai kapan pun akan selalu mencintainya." Tiba-tiba saja Emir berlutut didepan Jamilah lalu memeluk tubuhnya erat. Tiba-tiba juga kedua mata Jamilah sudah berair, entah untuk hal apa ia menangis?. Kedua tangan Jamilah tidak berani untuk membalas pelukan suaminya, dibiarkannya kedua tangannya menggantung begitu saja.
Jamilah mengigit bibirnya kuat supaya tidak ikut menangis bersama Emir. Pria itu begitu lemah, cintanya begitu besar untuk sang mantan istri. Lalu bagaimana dengan dirinya?. Apa iya, ia juga ingin dicintai?. Terlalu muluk-muluk untuk Jamilah sehingga ia dengan cepat menghapus air mata yang sudah lolos. Jangan sampai hatinya jatuh pada orang yang salah karena tidak akan pernah bisa untuk membalasnya.
"Menangis lah jika itu bisa meringankan beban hati mu. Sekarang ada saya yang bisa kamu ajak bicara, bertukar pikiran dan akan selalu mendengar keluh kesah mu tentang Isyana, Tiffani, Alexander dan Joy." Jamilah melerai pelukannya, lalu Jamilah menghapus air mata Emir yang begitu deras mengalir melewati kedua pipinya. Pria itu begitu lemah pada cintanya Isyana, Isyana dan Isyana.
"Maafkan saya, maaf." Emir menghapus air matanya sendiri. Sebab Emir melihat ada jejak air mata dikedua pipi Jamilah.
"Saya akan membawa mu pada orang yang tepat, orang baik, sempurna. Kamu pasti akan bahagia bila bersamanya. Kalian berdua sama-sama orang baik dalam hidup ku." Emir kembali memeluk Jamilah saat tadi merasakan ketenangan untuk beberapa lama berada dalam pelukan Jamilah.
Mau bersama siapa pun nantinya, saat ini Jamilah akan tetap fokus pada Emir yang sudah berstatus menjadi suaminya. Dan Alexander, ia akan segera memenuhi janjinya untuk membuatnya bahagia dengan membawa Isyana kembali dalam hidup Alexander.
"Berat rasanya berada diantara mereka, tapi berilah aku kekuatan untuk bisa membuat mereka bahagia walau aku yang harus terluka." Batin Jamilah menangisi jalan hidup yang sepertinya semakin berliku setelah menjalani pernikahan. Padahal niatnya sudah benar ingin beribadah, menyempurnakan agamanya. Tapi sungguh berat jalan yang harus ditempuhnya.
"Maaf air mata saya sudah membasahi ini." Emir memegang hijab Jamilah yang lepek akibat perpaduan air mata dan ingusnya.
Jamilah mengangguk lalu menarik hijab dari tangan Emir. "Iya tidak apa-apa. Saya masih ada banyak untuk ganti."
"Sekarang lebih baik kita cuci muka, terus tidur. Besok saya harus mengajar." Ajak Jamilah menarik lembut tangan Emir dan membawanya ke kamar mandi.
"Kamu saja duluan, nanti saya belakangan."
Emir mengangguk dan segera masuk kedalam kamar mandi.
Emir mengingat dengan sangat jelas bagaimana wangi tubuh Jamilah yang sangat menganggu pikirannya. Hatinya begitu nyaman, saat berada dalam pelukan Jamilah.
"Aroma wangi tubuh mu sangat menenangkan. Saya sangat beruntung sudah bisa merasakannya." Gumamnya lirih.
Tidak lama Emir keluar dari kamar mandi, bergantian dengan Jamilah yang kini berada di dalam kamar mandi.
Hanya sepuluh menit saja Jamilah berada di sana, ia sudah mengganti hijabnya dengan yang baru. Jamilah langsung saja menuju kasur empuknya.
"Apa boleh saya tidur bersama mu di atas sana." Emir meminta izin pada Jamilah untuk bisa tidur satu ranjang.
Jamilah mengangguk dengan cepat, "Bukannya ini memang tempat mu?. Kenapa harus meminta izin segala?."
Jamilah menggeser tubuhnya, lalu Emir naik ke atas ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya.
"Menghadap lah tidurnya pada saya!." Pinta Emir saat Jamilah merapikan posisinya.
Jamilah segera melakukan apa yang diminta oleh suaminya. Tatapan kedua matanya saling mengunci, hingga tidak terasa Jamilah yang lebih dulu memejamkan kedua matanya dengan sempurna yang dibarengi dengan suara dengkuran halus.
"Sungguh beruntung orang yang bisa memilki mu secara utuh." Batin Emir dengan tangan yang menggantungkan tangganya di udara. Tidak berani menyentuh wajah teduh Jamilah yang bisa ia pandangi selagi Jamilah tertidur.
.
.
.
"Dah Dad..." Pamit Alexander sebelum keluar.
"Ibu, aku duluan. Aku tunggu didalam kelas ya." Ucap Alexander sambil menutup pintu mobil. Meninggalkan Jamilah dan Emir.
"Saya masuk dulu, Assalamu'alaikum."
"Iya, kamu hati-hati. Wa'alaikumsalam."
"Oh ya, nanti Bapak mau kesini. Nganterin makanan untuk saya." Jamilah kembali menoleh pada Emir.
"Iya" Emir mengangguk dan tersenyum.
Baru setelahnya Jamilah keluar dari mobil mewah Emir. Dimana semua pasang mata tertuju padanya.
"Ibu guru Jamilah." Panggil Ibu Zahra dan Ibu Wiwin.
Ketiga saling bersalaman, ini hari pertama Jamilah mengajar dengan status barunya, istri dari Emir.
Bapak pun datang, saat Jamilah masih di parkiran sekolah bersama kedua rekannya.
"Assalamu'alaikum Milah..."
"Wa'alaikumsalam Bapak..." Jamilah menyalami tangan Bapak.
"Ini makanan dari Emak. Bapak tidak bisa lama-lama mau bantu Pak Harun bikin saung lagi." Pamit Bapak setelah menyerahkan makanan dari Emak.
"Iya Pak, terima kasih banyak." Balas Milah.
Bapak pun meninggalkan Jamilah dengan mengendari sepeda motornya.
"Bagaimana rasanya pengantin baru?." Goda Ibu Wiwin, Jamilah hanya tersenyum menatap mereka bergantian.
"Sakit enggak?, sakit-sakit enak kan?. Nambah berapa kali?, berapa ronde?, berapa gaya?." Ocehan Ibu Zahra mengenai malam pengantin.
Ketiganya tertawa renyah, tanpa Jamilah menjawab satu pun pertanyaan yang terlontar dari mulut mereka.
.
.
.
Jamilah langsung mengajar dikelas Alexander. Pertama Jamilah menjalankan amanah dari Ibu Wiwin, mengumpulkan LKS. Selagi Jamilah mengecek tugas anak-anak. Anak-anak sendiri menghapal perkalian dari 1 sampai 10 yang nantinya akan maju ke depan kelas satu persatu.
Sampailah pada LKS milik Alexander, Jamilah tersenyum senang saat Alexander mengisi semua soal pembagian dengan benar.
"Ibu guru Jamilah harus menepati janji." Ucap Alexander pelan sambil mengacungkan Jempolnya. Jamilah pun mengangguk.
Bel istirahat sudah terdengar, Jamilah masih berada di kelas Alexander. Merapikan beberapa buku pelajaran yang akan dibawanya keruangan guru.
"Mari aku bantu ibu guru Jamilah." Alexander mengeluarkan tangannya untuk membantu Jamilah. Dan dengan senang hati Jamilah menyerahkan empat buah buku paket pada Alexander.
"Terima kasih Alexander." Ucap Jamilah setelah sampai di ruangan guru.
"Sama-sama ibu guru Jamilah." Lantas Alexander pun segera pergi dari sana.
Drt Drt Drt
Ponselnya berbunyi.
Jamilah menatap layar ponsel yang sedang menampilkan pesan singkat dari Emir. Yang mengatakan jika Alexander akan pulang dijemput sulit Pak Utomo. Sedangkan dirinya dijemput oleh Emir, karena Emir ada pertemuan dengan rekan bisnisnya di daerah kawasan pundak. Jamilah membalas iya pada pesan singkat tersebut.
"Ibu guru Jamilah pelit berbagi ilmu nih?." Ibu Zahra duduk di kursi dekat Jamilah.
"Ilmu apa?." Jamilah menoleh pada Ibu Zahra.
"Malam pertama lah ibu guru Jamilah, apa lagi?." Jawab Ibu Zahra sambil cemberut.
Jamilah menggeleng sambil tersenyum, "Tidak baik, jika saya harus menceritakan hal pribadi seperti itu." Balas Jamilah dengan bijak.
"Panas dingin enggak?." Ibu Zahra kekeuh ingin mengorek Jamilah, tapi Jamilah tetap memegang teguh pendiriannya.
Y
hhh