Dua kali Kenan melakukan kesalahan pada Nara. Pertama menabrak dirinya dan kedua merenggut kesuciannya.
Kerena perbuatannya itu, Kenan terpaksa harus menikah dengan Nara. Namun sikap Kenan dan Mamanya sangat buruk, mereka selalu menyakiti Nara.
Bagaimana perjalanan hidup Nara?
Akankah dia mendapat kebahagiaan atau justru menderita selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZiOzil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22.
Dengan telaten Nara menyuapi Kenan sampai bubur buatannya itu nyaris habis.
"Sudah, aku sudah kenyang," tolak Kenan yang merasa perutnya telah penuh.
"Tapi ini sedikit lagi!"
"Kau mau membuat aku muntah lagi?" sungut Kenan.
Nara mengembuskan napas kesal, kemudian beranjak tanpa membalas sungutan Kenan. Dia sedang malas meladeni pemuda angkuh itu.
"Tunggu!"
Nara mengentikan langkahnya dan melirik Kenan dengan dingin, "Apa lagi?"
"Kau beli di mana bubur itu?" tanya Kenan ingin tahu, dia menyukai bubur ayam tersebut.
"Aku buat sendiri," jawab Nara, lalu balik bertanya, "memangnya kenapa?"
Kenan terkesiap, namun gengsinya masih setinggi langit, "Oh, enggak apa-apa. Sudah sana keluar!"
Nara mencibir lalu kembali melanjutkan langkahnya keluar dari kamar, dan Kenan hanya bergeming menatap kepergian wanita itu. Dia merasa heran sebab Nara masih peduli dan mau merawatnya, padahal dia sudah bersikap buruk selama ini. Bahkan saat Nara pingsan tempo hari saja, dia sama sekali tidak peduli pada wanita itu. Kenan menebak jika Nara sengaja ingin mencari simpatinya.
"Dia pasti sok baik biar aku luluh dan mau menerimanya."
Kenan pun mendengus dingin, dia lantas mencondongkan tubuhnya ke arah meja nakas lalu meraih segelas air putih dan sebuah obat penurun panas yang tadi disediakan oleh Bi Ani. Dengan tangan yang masih gemetaran, dia memasukkan tablet obat itu ke dalam mulut lalu menenggak air putih hingga tandas.
Setelah minum obat, Kenan kembali membaringkan tubuhnya dan menarik selimut sampai sebatas kepala. Dia benar-benar kedinginan.
***
Nara sedang menyantap makan malam bersama Hendra, keduanya membicarakan tentang Kenan.
"Mama akan secepatnya pulang kalau kondisi Oma sudah membaik, jadi Papa minta sementara ini kamu merawat Kenan selama dia sakit, ya?" ujar Hendra setelah menelan makanan di mulutnya.
Nara terdiam, sejujurnya dia merasa malas berdekatan dengan Kenan apalagi berinteraksi dengan pemuda sombong dan keras kepala itu.
"Nara, kamu dengar Papa?" Hendra memastikan sebab melihat Nara hanya bergeming menatap makanan di piringnya.
"Iya, Pa," jawab Nara.
"Kenapa, kamu keberatan merawat Kenan?" selidik Hendra yang menyadari ketidaksukaan Nara terhadap putranya.
Nara tersentak mendengar pertanyaan Hendra. Sejujurnya dia memang malas dekat-dekat dengan Kenan, tapi dia juga tak sampai hati melihat bocah manja itu sendirian dalam keadaan sakit begini.
"Nara," tegur Hendra.
"Enggak, kok, Pa," jawab Nara kemudian.
"Papa tahu Kenan sudah bersikap buruk dan memperlakukan kamu dengan enggak baik, kamu pantas marah. Tapi Papa mohon jangan benci dia, ya?"
Lagi-lagi Nara terdiam, dia bingung harus menjawab apa. Jauh di dalam hati, dia memang membenci Kenan karena sudah merusak hidupnya. Tapi dia tak enak jika mengakuinya pada Hendra.
"Kenan hanya belum dewasa dan terlalu egois saat ini. Tapi percayalah, suatu saat nanti dia pasti berubah dan menyayangi kamu. Papa yakin kalian akan hidup bahagia," lanjut Hendra.
Nara tetap bergeming, dia tak tahu apa yang membuat Hendra begitu yakin sang putra akan berubah dan kelak mereka akan hidup bahagia.
Sesungguhnya Nara sendiri ingin secepatnya mengakhiri semua ini, dia sudah muak dengan kelakuan menyebalkan Kenan, ditambah lagi sikap Windy yang sama kasar dan angkuhnya dengan sang putra.
***
Setelah selesai makan malam, Nara kembali ke kamar. Dia masih terpikir ucapan Hendra saat mereka makan malam tadi, Nara pun tersenyum kecut.
"Aku yakin dia itu egois dan sombong dari lahir, sudah mendarah daging, mana mungkin bisa berubah," gerutu Nara sambil melangkah pelan.
Saat di depan kamar, dia menekan handle pintu lalu mendorongnya perlahan. Nara berjalan memasuki kamar mewah itu, dia melirik ke arah tempat tidur, tampak Kenan masih berbaring di bawah selimut tebalnya.
Nara penasaran dengan kondisi Kenan, dia ingin memastikan apakah pemuda itu masih demam atau tidak. Dengan hati-hati Nara mendekati ranjang, dia mengamati apakah Kenan sudah tidur atau belum.
Saat melihat mata Kenan terpejam, Nara lantas mengulurkan tangan dan meletakkannya di dahi pemuda itu dengan hati-hati.
"Sudah enggak terlalu panas, syukurlah kalau begitu." Nara menarik kembali tangannya dan bergerak menjauh dari ranjang, tapi tanpa dia duga, dengan gesit Kenan mencekal lengannya. Rupanya pemuda itu pura-pura tidur.
Nara terperanjat, dia terkejut melihat Kenan membuka mata dan menahan lengannya.
"Kau mau apa? Lepaskan aku!" tanya Nara panik sembari berusaha melepaskan diri, tapi tidak bisa.
"Aku akan lepaskan kalau kau jawab pertanyaan ku?" ujar Kenan dingin.
Nara mengernyit menatap suaminya itu.
"Kenapa kau lakukan ini?"
"Karena aku ingin memastikan kau masih demam atau enggak," dalih Nara.
"Bukan itu!" bantah Kenan.
"Lalu apa?"
"Maksudku kenapa kau peduli dan perhatian padaku? Kenapa kau mau merawat ku? Kau pasti ingin mencari simpati dariku. Iya, kan?" tuduh Kenan seenaknya.
"He, jangan sembarang menuduh! Aku melakukan semua itu karena aku masih punya hati dan rasa kasihan, bukan seperti kau yang enggak punya perasaan!" ujar Nara menohok.
Kenan sontak melotot dan semakin kuat mencengkram lengan Nara, "Berani sekali kau mengatai aku seperti itu!"
"Memang itu kenyataan! Kenapa? Kau enggak terima? Kalau kau punya perasaan, kau enggak akan menghancurkan hidupku dan menyakiti aku!" balas Nara dengan mata berkaca-kaca.
Kenan seperti tertampar dengan kalimat telak istrinya itu, dia pun melepaskan lengan Nara dan mengembuskan napas sembari memalingkan wajahnya.
Nara buru-buru menjauh dari Kenan dan keluar dari kamar itu dengan berlinang air mata. Hatinya kembali terluka mendengar tuduhan Kenan, dia hanya berusaha bersikap baik, tapi bukannya berterima kasih, pemuda angkuh itu malah menuduhnya macam-macam.
Sementara Kenan hanya tertegun, entah mengapa dia merasa sedikit bersalah telah menuduh Nara seperti tadi.
***
beruntung papa Hendra bersikap tegas