Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Tak banyak protes ataupun bertanya, aku membiarkan Mas Dirga menghabiskan waktu di luar malam ini. Tak peduli meski dia membohongi ku. Kekecewaan ini sudah terlalu dalam, aku tak akan memperdulikan lagi apapun yang dia lakukan di luar sana.
Benar kata Mas Agam, aku juga berhak bahagia tanpa perlu meratapi kesedihan dan sakit hatiku atas perbuatan Mas Dirga.
"Kenapa.? Dirga nggak pulang.?" Suara berat Mas Agam membuyarkan lamunan. Saat ini Mas Dirga dan wanita itu pasti sedang bersenang-senang dan tertawa bahagia karna bisa membodohi ku. Entah apa yang mereka lakukan dalam cuaca dingin yang mampu menusuk tulang di tengah guyuran hujan lebat.
"Katanya pulang malam," Tak ada semangat saat menjawab, rasa sesak di dada masih menyelimuti.
Memasukkan ponsel kembali ke dalam tas, aku beranjak dari sofa dan berniat untuk pulang. Hawa dingin semakin menusuk bahkan mulai menggigil.
Baju yang basah akibat hujan-hujanan tadi sudah setengah mengering karna berpindah ke handuk yang melingkar di pundak.
"Mau kemana.?" Tanganku di tahan Mas Agam sebelum benar-benar beranjak dari sofa. Aku sedikit kaget, tapi entah kenapa tak menarik tangan dari genggamannya. Justru menatap genggaman tangan Mas Agam yang sepertinya tak akan membiarkanku pulang.
"Pulang, mau mandi. Udah dingin banget."
Aku membuang pandangan saat di tatap lekat oleh Mas Agam. Tatapan itu, entah kenapa membuat jantung ini bergemuruh. Itu bukan tatapan biasa yang sering di arahkan Mas Agam padaku, aku merasa ada sesuatu di balik arti tatapan Mas Agam saat ini yang hampir tak berkedip.
"Bia,, apa bakal kamu lakuin setelah ini.?"
"Apa kamu akan tetap bertahan.?" Nada bicara Mas Agam terdengar serius. Aku memberanikan diri untuk menatapnya lagi.
"Aku nggak mau jadi bodoh cuma karna cinta, tentu saja akan aku akhiri semuanya. Tapi menunggu waktu yang tepat." Mencoba tersenyum di tengah-tengah hati yang hancur karna tak ada harapan lagi untuk mempertahankan rumah tangga ku dengan Mas Dirga. Aku bukan dewi, bukan juga wanita yang memiliki kebesaran hati untuk memaafkan dan menerima perselingkuhan itu. Tidak ada kata maaf dan kesempatan untuk orang yang berkhianat. Mereka bukan anak kecil yang belum tau benar atau salah. Jelas perselingkuhan di lakukan dengan kesadaran penuh. Dan tak bisa bersembunyi di balik kata khilaf.
Mas Agam tampak mengukir senyum teduh.
"Jangan menyiksa diri sendiri dengan tangisan, kamu berhak bahagia,," Sebuah usapan lembut mendarat di pucuk kepalaku. Senyum dan tatapan Mas Agam penuh dengan keteduhan dan perhatian.
Aku mengangguk tanpa mengeluarkan satu katapun. Ada rasa canggung dan malu yang menjadi satu.
"Makasih Mas, Bia pulang dulu,," Kali ini Mas Agam tak menahan ku lagi. Aku buru-buru beranjak dari sofa setelah mengambil tas.
Mas Agam juga ikut beranjak untuk mengantarku ke depan.
Namun baru sampai di pintu, sebuah kilat mengagetkan ku. Tak lama suara petir terdengar menggelegar di iringi lampu yang padam.
Aku berteriak karna kaget dan juga takut karna tiba-tiba jadi sangat gelap.
Memberingsut mundur, aku berhenti saat menabrak tubuh Mas Agam.
"Maa,,,maaf Mas, Bia takut gelap." Bicara dengan suara bergetar, aku memeluk diriku sendiri karna benar-benar takut.
"Jangan teriak Bi,, suara kamu bisa mengundang security." Suara lembut Mas Agam setidaknya mampu mengurangi sedikit ketakutan dalam diriku. Tiba-tiba tangan besar melingkar di pundakku hingga aku terperanjat.
"Biar kamu nggak takut." Ucap Mas Agam yang menyadari aku kaget dengan rangkulannya.
"Ayo, aku antar kamu sampai ke dalam rumah." Mas Agam mulai melangkahkan kaki dan membuatku juga ikut melangkah.
Belum genap pukul 6 sore, tapi keadaan di luar sangat gelap karna lampu padam serta langit yang gelap akibat tertutup awan hitam yang tebal.
Aku mengambil kunci dari dalam tas dan membuka pintu. Di dalam rumah sangat terang karna Mas Dirga menggunakan lampu emergency hampir di setiap ruangan. Dia tau kalau aku paling takut gelap, jadi dia sengaja menggunakan lampu emergency.
"Di sini jarang mati lampu, malah baru 2 kali ini mati lampu selama 3 tahun aku tinggal di sini." Tutur Mas Agam. Aku hanya mengangguk.
Pantas saja Mas Agam tidak memasang lampu emergency di rumahnya.
"Makasih Mas udah di anterin." Aku berdiri di ambang pintu dengan menghadap ke luar. Sementara itu Mas Agam masih berdiri di luar rumah.
"Cuma makasih doang nih.? Kamu nggak ada niat masakin sesuatu.?"
"Paling nggak masak mie instan, buat isi perut sekaligus hangatin badan." Ujarnya dengan ekspresi tenang.
Aku diam sejenak, ragu untuk membuatkan makanan. Tapi melihat wajah Mas Agam dan ingat dengan nasibnya yang menyedihkan, aku tidak tega menolak permintaannya.
Dia pasti lapar karna tidak di urus oleh Mbak Karina. Meski beberapa kali aku melihat Mas Agam memesan makanan secara online.
"Ya udah, Mas Agam tunggu di teras dulu ya. Nanti aku masakin mie, tapi mau mandi dulu." Aku bergegas masuk ke dalam dan membiarkan Mas Agam di luar. Tak mungkin juga aku menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah.
Mengguyur tubuh dengan air hangat, aku mandi dengan buru-buru agar tak membuat Mas Agam menunggu terlalu lama. Lagipula kalau terlalu lama, takut Mas Dirga keburu pulang.
Jangan sampai Mas Dirga punya senjata untuk membela diri atas perselingkuhan yang dia lakukan.
Keluar dari kamar, aku langsung menuju ke dapur untuk membuat 2 mangkuk mie instan kuah dan teh hangat.
"Aku masuk ya, di luar dingin banget." Suara Mas Agam hampir membuatku menjatuhkan sendok yang sedang aku pegang.
"Iih,, Mas bikin kaget aja." Protes ku dengan bibir mencebik kesal. Tapi Mas Agam malah terkekeh kecil dan langsung duduk di meja makan.
"Ehh,,, jangan di dalem Mas, nggak boleh berduaan kayak gini." Aku buru-buru mengusir Mas Agam.
"Nggak ada yang ngelarang, Bia. Mereka aja bebas berduaan di dalam kamar sama selingkuhannya. Kalo cuma makan berdua kayak gini nggak jadi masalah." Jawabnya acuh. Aku hanya bisa bulatkan mata karna syok dengan jawaban Mas Agam. Tak hanya itu saja, karna tiba-tiba saja dada ini terasa nyeri lantaran ingat dengan Mas Dirga. Entah apa yang sedang mereka lakukan saat ini.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong