Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
gosip
Calista merasakan jantungnya berdegup kencang saat melangkah menuju toilet. Perasaannya campur aduk; ia ingin cepat-cepat masuk kelas, tetapi kabar pernikahannya dengan Kenneth masih membuatnya tidak nyaman. Setiap langkah terasa berat, dan semua tatapan yang mengarah padanya seakan menusuk-nusuk jiwanya. Di toilet, ia berharap bisa sejenak menyendiri untuk menenangkan pikirannya.
Begitu ia memasuki toilet, suasananya tampak sepi, memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan perasaannya. Calista menuju salah satu bilik dan mengunci pintunya. Dengan cepat, ia menyelesaikan urusannya dan berusaha fokus pada napasnya. Namun, ketenangannya tak berlangsung lama. Tiba-tiba, suara tawa yang nyaring memecah keheningan. Calista terkejut, merasakan tenggorokannya tercekat.
“Oh my god, lo liat kan tadi si Calista beneran nikah!” seru salah satu perempuan dari luar bilik.
Calista tertegun. Suaranya familiar, dan seketika, hatinya bergetar mendengar namanya disebut. Ia berusaha mendengarkan lebih dekat, meskipun setiap kata yang keluar dari mulut mereka seolah-olah mencabik-cabik rasa percaya dirinya.
“Eh wait, kok lo bisa nebak begitu sih? Siapa tau tadi dia sepupu-nya Calista,” balas seorang temannya, penuh ketidakpastian.
“Gak mungkin, lo liat dong cincin mereka berdua!” jelas perempuan yang lebih bersemangat.
Calista meraba cincin di jari manisnya. Kenyataannya, cincin itu memang masih terpasang rapi, menandakan pernikahan yang baru saja mereka jalani. Rasa malu dan cemas mulai melanda dirinya. Ia tidak menyangka hal ini akan jadi bahan pembicaraan.
“Calista tuh pasti hamil di luar nikah, gue liat kok dia waktu itu masuk ke hotel sama laki-laki yang persis kayak laki-laki yang samperin Calista tadi,” lanjut suara itu, menudingnya dengan anggapan yang sangat menyakitkan.
Calista ingin berteriak, tetapi mulutnya terasa terkunci. Ia ingin membela diri, tetapi suara hatinya justru meragukan. Benarkah mereka mengira aku hamil? pikirnya, mengingat betapa mereka bahkan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Iya sih, kalo gak hamil juga Calista kayaknya gak bakalan nikah muda, hahahaha,” salah satu dari mereka menambahkan, dan tawa konyol mereka semakin menyakitkan.
Calista mengerutkan alisnya. Apakah perutku sudah mulai terlihat? Ia meraba perutnya dan, sejujurnya, ia bisa merasakan sedikit tonjolan. Ia baru saja menyadari bahwa serangan gosip yang ia terima bukan hanya sekadar omongan belaka; itu adalah gambaran bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya. Bodoh sekali aku, batinnya. Ia menyadari bahwa pernikahan ini membawanya ke dalam serangkaian prasangka yang tidak ia inginkan.
"Btw, suami-nya Calista ganteng juga ya," puji salah satu perempuan.
“Iya, mukanya kayak pangeran gitu,” sahut temannya yang lain.
Calista menggigit bibirnya. Kenyataannya, Kenneth memang tampan dan memiliki aura yang membuatnya menarik. Namun, apa gunanya semua itu jika hidupnya sekarang terperangkap dalam gosip dan stigma?
“Bisa kali gw rebut dari Calista, pasti dia juga suka-nya paling sama badan-nya si Calista aja. Tapi kalo menurut gw sih, badan Calista gak ada apa-apanya dibandingkan badan sexy gue,” lanjut mereka dengan nada bangga.
Mendengar itu, Calista tidak bisa menahan senyum sinis. Seksi? pikirnya. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada menyadari bahwa penilaian seseorang hanya sebatas fisik. Tanpa berpikir panjang, ia mengingat kembali semua usaha yang ia lakukan untuk tampil baik dan berpenampilan menarik. Namun semua itu seolah tak ada artinya saat orang-orang berbicara dengan cara yang tidak tahu menahu.
“Bisa-bisa… Cari aja Instagram-nya nanti di Instagram si Calista,” salah satu dari mereka berkomentar, seakan memutuskan untuk melanjutkan pencarian informasi lebih lanjut.
“Udah yuk, gue gak betah lama-lama di toilet,” ajak salah satu temannya lagi. Suara mereka semakin menjauh, tetapi Calista masih merasa seolah ada beban berat yang menggelayut di hatinya.
Setelah mereka pergi, Calista membuka pintu bilik dan melangkah ke wastafel untuk mencuci tangan. Di hadapannya, cermin memantulkan sosoknya yang kelihatan lelah. Ia melihat bayangan wanita yang merasa tertekan, dan hal itu membuatnya merindukan hari-hari di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa embel-embel pernikahan yang menyakitkan.
“Halah ganjen! Suka-nya sama suami orang! Enak aja pake bilang badan gue gak ada apa-apa, orang badan gue bagus begini kayak Kylie Jenner,” ia mendumel, berbicara pada bayangannya sendiri. Suara hatinya ingin membela diri, tetapi rasanya sia-sia. Semua perkataan itu berputar di pikirannya, membangkitkan rasa tidak percaya diri yang lebih dalam.
Calista berusaha menahan air matanya. Ia merindukan dukungan yang seharusnya ia dapatkan, bukan cemoohan dan tuduhan dari orang-orang yang tidak mengenalnya. Kenapa dunia ini begitu kejam? Apa yang seharusnya ia lakukan untuk membuktikan bahwa hidupnya tidak seperti yang mereka bayangkan?
Di saat-saat seperti ini, pikirannya kembali ke Kenneth. Apakah ia memahami betapa beratnya situasi ini bagi Calista? Apakah Kenneth merasakan hal yang sama? Kenyataan bahwa mereka terjebak dalam situasi yang sama, saling terikat oleh pernikahan yang datang terlalu cepat, tampak begitu menyedihkan.
“Dia pasti juga merasakannya,” gumamnya pada diri sendiri. Mungkin Kenneth juga tidak nyaman dengan semua ini. Namun, ia tidak bisa berbagi beban emosional itu sekarang. Seharusnya aku lebih tegar, batinnya.
Setelah mencuci tangan, Calista merapikan penampilannya. Ia menata rambutnya yang sedikit berantakan dan berusaha menyingkirkan bayang-bayang kekhawatirannya. Meski begitu, ia tahu perjuangannya belum selesai. Harus ada cara untuk membuktikan kepada dunia bahwa pernikahannya bukanlah kesalahan, dan ia berhak mendapatkan kebahagiaan meski situasi terasa rumit.
Saat meninggalkan toilet, ia bertekad untuk tidak membiarkan komentar orang lain mengubah dirinya. Ia harus menghadapi dunia dengan keberanian. Mungkin hari ini adalah awal dari perjalanan yang panjang, tetapi Calista bersumpah untuk tidak membiarkan gosip dan asumsi mengendalikan hidupnya. Jika ada yang harus diubah, maka itu adalah dirinya sendiri, dengan cara yang lebih baik.
Dengan napas dalam, ia melangkah keluar dari toilet, siap menghadapi kelas dan semua yang ada di dalamnya. Calista tahu satu hal: ia akan berjuang untuk diri sendiri dan membuktikan bahwa cinta dan tanggung jawab adalah bagian dari hidupnya yang lebih besar. Meskipun terasa berat, ia tidak akan menyerah. Hari ini, ia berjanji untuk menjadi lebih kuat.