NovelToon NovelToon
The Ceo'S Heart Subtitute

The Ceo'S Heart Subtitute

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Pengganti / CEO / Chicklit
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: flower

--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**

--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 21 Mencari Cara

Bryan mengusap rambutnya dengan kasar, rahangnya mengeras saat matanya mengikuti langkah Luna yang menjauh. Jarak itu terasa nyata, bukan sekadar beberapa meter di halaman kampus, melainkan jarak yang tercipta oleh ketakutan yang ia tanam sendiri semalam. Hatinya mencelos.

*Mungkin aku sudah keterlaluan,* batinnya. Bayangan Luna yang meringis, menangis, dan terkunci di kamar kembali menghantam kesadarannya. Ia menyesali perbuatannya jujur, sepenuh hati. Amarah dan cemburu yang dulu ia kira bentuk kepedulian, kini tampak jelas sebagai luka yang ia torehkan sendiri.

Bryan menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Ia tahu satu hal, jika ia ingin Luna kembali merasa aman, ia harus berubah, bukan dengan janji kosong, melainkan dengan sikap. Memberi ruang, menahan diri, dan belajar mendengar.

Bryan melajukan mobilnya menuju kantor dengan kecepatan yang tak wajar. Pikirannya kacau, dadanya dipenuhi penyesalan dan amarah pada diri sendiri. Beberapa kali klakson kendaraan lain terdengar nyaring ketika mobilnya nyaris bersinggungan, membuat adrenalin memuncak, namun tak cukup untuk menenangkan gejolak di benaknya.

Ia menggenggam setir lebih erat, lalu akhirnya mengendur. Napasnya memburu. Bryan menginjak rem perlahan, menepi sejenak. Mesin masih menyala, namun ia menutup mata, menarik napas panjang untuk menahan diri. *Aku tak boleh kehilangan kendali lagi,* pikirnya.

Beberapa detik kemudian, ia kembali ke jalan kali ini lebih pelan. Penyesalan masih ada, berat dan nyata, namun di antara itu tumbuh kesadaran, jika ia ingin memperbaiki keadaan, ia harus terlebih dulu mengendalikan dirinya sendiri.

Di gedung kantor, Bryan melangkah masuk dengan sikap tenang. Para karyawan yang berada di lobi segera menyambutnya dengan hormat. Bryan membalas dengan anggukan singkat dan senyum tipis, senyum profesional yang tak pernah berubah, lalu berjalan lurus menuju lift tanpa menoleh ke kiri atau kanan. Begitu ia berlalu, bisik-bisik pelan mulai terdengar.

“Dia tampan sekali,” ujar salah satu karyawan perempuan, suaranya dibuat rendah namun penuh kekaguman. “Kau jangan macam-macam,” sahut wanita lain dengan nada percaya diri. “Suatu saat aku akan menjadi istrinya.”

Mereka terkekeh kecil, larut dalam khayalan masing-masing, tanpa menyadari bahwa di balik sikap dingin dan wibawa Bryan, pikirannya sama sekali tidak berada di kantor, melainkan tertinggal pada seorang wanita yang pagi itu memilih memberi jarak. “Kembali bekerja. Jangan berbisik-bisik,” suara asisten Jhon tiba-tiba terdengar tegas di belakang mereka.

Beberapa karyawan tersentak, wajah mereka seketika memucat. Tanpa berani membalas, mereka segera membubarkan diri dan kembali ke meja masing-masing, pura-pura sibuk dengan layar komputer dan berkas pekerjaan.

Jhon melirik singkat ke arah lift yang baru saja tertutup, memastikan tuannya telah naik. Ia menghela napas pelan. Ia tahu, di balik sikap tenang dan wibawa Bryan yang selalu terlihat sempurna di hadapan karyawan, ada badai yang sedang berkecamuk di dalam dirinya, badai yang bahkan jabatan dan kekuasaan pun tak mampu meredakannya.

Di dalam ruangannya, Bryan duduk di kursi kerjanya dan menyalakan komputer. Layar menyala, namun fokusnya jelas bukan pada pekerjaan. Ia bersandar sedikit, menatap kosong ke depan sebelum akhirnya bersuara, nadanya datar namun sarat kebingungan.

“Jhon… apa kau tahu cara membujuk seorang wanita?”

Pertanyaan itu membuat Jhon terkejut. Ia menatap tuannya sejenak, jelas tidak menyangka. “Bukankah seharusnya Anda lebih tahu, Tuan?” jawabnya hati-hati. “Anda pernah berhubungan dengan Nona Bella.”

Sekejap, ekspresi Bryan mengeras. Tangannya berhenti di atas mouse. “Berhenti mengingatkanku padanya,” ucapnya dingin, ada kesal yang tertahan. Ia menghela napas tajam sebelum melanjutkan, suaranya lebih rendah. “Dan satu lagi, dia tidak pernah merajuk. Bahkan… dia selalu jauh.”

Jhon terdiam. Ia mulai memahami. Hubungan Bryan dengan Luna jelas berbeda lebih dekat, lebih nyata, dan karena itu lebih rapuh. “Justru karena itu, Tuan,” kata Jhon pelan, “Nona Luna berbeda. Dia bukan wanita yang bisa dibujuk dengan perintah atau kendali. Dia butuh merasa aman.”

Bryan menutup mata sesaat. Kata *aman* terasa menghantam. Ia membuka mata kembali, menatap layar komputer yang masih kosong. “Lalu apa yang harus kulakukan?”

“Mulai dengan meminta maaf.” jawab Jhon jujur. “Tanpa pembelaan. Tanpa alasan. Lalu… beri dia waktu. ”Bryan terdiam lama. Untuk pertama kalinya pagi itu, ia tidak menyangkal. Ia hanya mengangguk kecil, sebuah pengakuan diam bahwa ia tahu, kali ini, ia yang harus belajar.

“Kalau begitu, Jhon… apakah dia suka makanan? Bukankah perempuan dominan suka makan?” tanya Bryan, nadanya terdengar sungguh-sungguh meski sedikit kaku.

Jhon terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis, bukan mengejek, melainkan memahami kebingungan tuannya. “Tuan,” katanya hati-hati, “tidak semua perempuan sama. Dan Nona Luna… saya rasa bukan soal ‘suka makan’ atau tidak.”

Bryan mengernyit, menoleh.

“Namun,” lanjut Jhon, “makanan bisa menjadi cara yang baik, jika tujuannya bukan membujuk, melainkan merawat. Bukan makan mahal, bukan kejutan besar. Sesuatu yang sederhana, yang menunjukkan Anda memikirkannya dan menghormati keinginannya.”

Bryan terdiam, mencerna. “Jadi… bukan soal mendominasi?”

“Justru sebaliknya, Tuan,” jawab Jhon tenang. “Biarkan dia memilih. Tanyakan apa yang dia inginkan. Hadir tanpa menekan. Itu lebih berarti daripada apa pun.”

Bryan menyandarkan punggung ke kursi, menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, raut wajahnya melunak. “Aku tidak ingin membuatnya takut lagi,” gumamnya. Jhon mengangguk. “Kalau begitu, Anda sudah mulai dari tempat yang benar.”

“Baiklah,” ujar Bryan setelah hening sejenak. “Cobalah pesan beberapa makanan… dan bawa dia ke sini kalau dia sudah pulang.”

Jhon tidak langsung bergerak. Ia menatap tuannya dengan hati-hati. “Dengan izin Nona Luna, Tuan,” katanya tenang namun tegas. “Lebih baik saya bertanya lebih dulu. Jika dia bersedia.”

Bryan terdiam. Ucapannya sendiri terasa berlebihan di telinganya. Ia menghela napas panjang, lalu mengangguk kecil. “Iya… pastikan dia mau,” katanya lebih pelan. “Aku tidak ingin memaksanya.”

“Baik, Tuan,” jawab Jhon. “Saya akan menghubunginya dengan sopan. Untuk makanannya ada preferensi?”

Bryan berpikir sejenak. “Yang sederhana. Hangat. Tidak berlebihan,” katanya. “Aku hanya ingin dia merasa… nyaman.” Jhon mengangguk dan melangkah keluar untuk menjalankan perintah. Bryan kembali menatap layar komputernya, namun kali ini ada tekad yang lebih tenang: memperbaiki, bukan menguasai.

.

.

.

Hari sudah menjelang siang. Luna baru saja keluar dari gedung kampus, langkahnya ringan meski pikirannya masih penuh. Namun langkah itu terhenti ketika pandangannya menangkap sebuah mobil mewah yang begitu ia kenali. Di sampingnya berdiri seorang pria yang tak asing. “Asisten Jhon…” gumamnya pelan.

Pria itu menunduk sopan. “Nona.” Luna mengernyit sedikit, kebingungan. “Kenapa kau ke sini?” tanyanya jujur. “Dan… di mana Mark? Biasanya dia yang menjemput.” Jhon tersenyum tipis, tetap menjaga jarak yang sopan. “Mark sedang ada urusan lain hari ini, Nona. Saya diminta langsung oleh Tuan Bryan.”

Nama itu membuat bahu Luna menegang refleks. “Diminta… untuk apa?” tanyanya hati-hati. “Tidak ada paksaan,” jawab Jhon cepat, seolah membaca kekhawatirannya. “Tuan Bryan hanya ingin bertemu Anda. Ia menunggu di kantor. Jika Nona tidak berkenan, saya akan langsung mengantar Anda pulang atau ke mana pun yang Anda inginkan.”

1
Anto D Cotto
menarik
Dwi Winarni Wina
kasian luna diperlukan kayak pembantu sm orgtua angkatnya...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!