Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Biang Onar
Anak buah Amox berpencar cepat, menyisir setiap sudut aula yang kini porak-poranda. Langkah mereka terlatih, senyap namun efektif, tidak ada kepanikan di wajah-wajah itu, hanya kewaspadaan dingin.
Ethan berdiri di tengah kekacauan, wajahnya tetap datar.
“Bagaimana?” tanyanya singkat.
Hans mendekat, rahangnya mengeras. “Tuan, kami menemukan ini.”
Ia menyerahkan sebuah benda kecil berbentuk silinder pipih, logamnya hangus di beberapa sisi. Ethan menerimanya, menimbang sebentar di telapak tangannya. Matanya menyipit halus.
“Smoke dispersal charge.” gumamnya.
Ia mendecak pelan. “Sial.”
Benda itu bukan dirancang untuk membunuh, melainkan melumpuhkan. Menghasilkan asap tebal bertekanan tinggi, memicu kepanikan massal, dan memecah konsentrasi. Sebuah sabotase bersih untuk bisa disebut kebetulan.
Ethan mengangkat pandangan. “Ini disengaja.”
Hans mengangguk. “CCTV utama down sejak lima menit sebelum ledakan, Tuan. Jalurnya diputus dari dalam sistem.”
Ethan tersenyum tipis, senyum seseorang yang menemukan pola permainan.
“Buka backup.” katanya dingin.
Hans ragu sesaat. “Backup gedung juga…”
“Drone, Hans.” potong Ethan tajam. “Otakmu perlu direset ulang!”
Hans menunduk gemetar, “Maaf, Tuan.”
Sejak awal, Ethan sudah memperhitungkan hari ini sebagai hari berisiko tinggi. Nama Montgomery membawa terlalu banyak kepentingann dan Amox membawa terlalu banyak musuh. Maka di dalam dan luar aula, drone keamanan berputar senyap. Bukan merekam pengantin seperti yang dipikirkan orang-orang, melainkan perimeter untuk akses darurat.
Layar tablet dibuka, rekaman muncul di layar. Asap, kerumunan, lalu satu sosok yang bergerak berlawanan arus dengan tenang dan mengenakan penutup wajah. Tangannya terlihat melempar sesuatu, sebelum asap pertama menyembur.
Rahang Ethan mengeras.
“Bajingan ini,” gumamnya pelan, nyaris tanpa emosi.
Ethan melangkah maju satu langkah, aura dinginnya menekan seluruh ruangan.
“Bersiaplah,” katanya datar pada semua anak buah Amox.
Hans menegakkan badan. “Siap, Tuan.”
Mansion itu berdiri tenang di balik pagar besi hitam. Tidak sebesar mansion utama Montgomery, namun cukup untuk menegaskan satu hal: uang dan nama besar tetap bersemayam di sini. Pilar-pilar marmer menopang fasad bangunan bergaya klasik, lampu gantung kristal memantulkan cahaya kekuningan yang dingin, sementara halaman luasnya terawat rapi oleh tangan-tangan professional. Segalanya terlihat teratur.
Mobil hitam berhenti di depan pintu utama. Penjaga gerbang tergeletak di lantai tanpa suara. Anak buah bersenjata turun lebih dulu, formasi mereka rapi dan efisien meski ini eksekusi mendadak.
Ethan Solomon Montgomery melangkah masuk di antara mereka. Bunga hidup di jasnya masih tersemat indah, kontras dengan wajahnya yang dingin.
Brak!
Pintu utama mansion didobrak tanpa basa-basi. Kayu mahal itu berderit keras sebelum menghantam dinding. Ethan masuk lebih dulu, langkahnya mantap, senjata di tangannya terangkat setinggi dada. Anak buah Amox menyebar otomatis, membentuk formasi rapi.
Sepasang suami istri paruh baya di ruang tamu tersentak.
“Angkat tangan,” perintah Ethan singkat, tajam.
Pria itu refleks bergerak ke depan, melindungi istrinya yang pucat pasi. “Ada apa ini?” suaranya bergetar, berusaha terdengar tegas. “Ethan, apa maksud semua…”
“Aku sudah memperingatkanmu,” potong Ethan dingin. “Paman.”
Bryan Montgomery, saudara seayah Sean, mengeraskan rahangnya penuh amarah tertahan. Ia tahu, sejak Ethan menyebut kata peringatan, segalanya sudah melewati batas keluarga.
“Mana bocah itu?” tanya Ethan tanpa emosi.
Bryan menghembuskan napas berat, frustasi merayap di wajahnya. Putra tunggalnya sekali lagi, mengambil jalan cerita yang salah dalam kehidupan keponakannya.
“Dia baru saja pulang.” Katanya pelan.
Tidak ada satu detik pun terbuang. Ethan berbalik dan melangkah menuju tangga, anak buahnya mengikuti tanpa diperintah. Langkah-langkah sepatu kulit menggema di anak tangga, ritme dingin yang membuat jantung siapa pun di rumah itu berdegup tak karuan.
“Ayah…” Sinta, istri Bryan, akhirnya berani bersuara dalam kecemasan.
“Orion….”
Bryan meraih istrinya, memeluknya menenangkan. “Tenanglah,” katanya lirih namun berat.
Ia menatap punggung Ethan yang menjauh. “Anak itu harus bertanggung jawab,” lanjutnya pahit. “Ethan tidak akan datang sejauh ini kalau Orion tidak melewati batas.”
Langkah Ethan berhenti di depan sebuah pintu kamar di lantai dua.
Brak!
Satu tendangan dan pintu terhempas ke dinding tanpa peringatan. Seorang remaja berusia sembilan belas tahun tersentak di atas kursi gaming-nya dengan headphone yang melingkari telinga.
Orion menoleh. Begitu melihat sosok di ambang pintu, wajah santainya runtuh seketika. Jemarinya refleks menekan tombol pause, lalu melepas headphone dan berdiri setengah gugup.
“K-kakak,” katanya spontan.
“Aku bukan kakakmu,” suara Ethan jatuh dingin, berat, dan mematikan.
Orion terkekeh canggung, berusaha mencairkan suasana. “Tapi kau kakak sepupuku.”
Ethan melangkah masuk. Setiap langkahnya membuat ruangan itu terasa menyempit. Aura pria itu menekan, membuat udara seolah menipis.
Orion mundur selangkah. “T-tunggu… apa ini?”
“Kenapa kau membuat kekacauan di hari pernikahanku?”
Ethan sudah berdiri tepat di depannya. Dalam satu gerakan tenang, ia mengangkat senjata dan menarik pelatuk ke posisi siap, ujung pistolnya menempel di kening Orion.
Orion membeku, tangannya gemetar. Walau begitu matanya berkilat, ada kekaguman tersembunyi di balik ketakutan itu.
“A-aku cuma bermain-main,” katanya mencoba terdengar santai, meski suaranya bergetar.
Ethan tersenyum miring.
“Bermain-main?” desis Ethan rendah.
Dor!
Satu tembakan dilepaskan mengenai dinding. Peluru melesat cepat, nyaris menyambar bahu Orion.
“Aaaaaaaa!” Orion menjerit, tubuhnya melorot ke lantai. “Ini tidak adil, Kak. Harusnya kau memberiku aba-aba sebelum menembak!”
Ethan menaikkan senjata lagi, wajahnya nyaris tanpa ekspresi. “Aku tidak tertarik bermain dengan bocah ingusan sepertimu.”
Orion panik, kakinya melangkah mundur namun punggungnya membentur dinding. Kini, tak ada lagi ruang untuk mundur.
“Kak…”
Jari Ethan kembali menekan pelatuk tanpa ragu.
“I-istrimu…” katanya terengah. “Istrimu yang menyuruhku, Kak!”
Ethan tertegun, sekilas ada yang berubah dari sorot matanya.
“Celine…” batinnya.
Dor!
Tembakan terakhir menggema di seluruh mansion.
“Aaaaaaargh!”
Teriakan kesakitan memecah malam.
Ethan berbalik bahkan sebelum gema tembakan menghilang. Ia melangkah cepat keluar tanpa menoleh sedikit pun. Panggilan panik Bryan dan Sinta di ruang keluarga tak ia hiraukan.
Begitu pintu depan tertutup, Bryan dan Sinta berlari ke lantai atas.
“Orion!” Darah yang bercecer di lantai kamar membuat Sinta menjerit histeris.
“Orion, dimana kau!” Bryan berteriak, matanya menyapu ruangan dengan panik.
“Ssshh…”
Ringisan nyeri terdengar dari atas lemari.
“Astaga…” Bryan mendongak.
Orion terikat di atas lemari dengan wajah pucat. Bryan buru-buru menyeret kursi, memanjat, dan menurunkannya dengan susah payah.
“Di mana yang ditembak?” tanyanya tergesa.
Orion perlahan menurunkan tangannya dari telinga kiri. Darah langsung mengucur seketika. Sinta menutup mulutnya, tangisnya pecah. Bryan menyambar handuk kecil di lemari lalu menutup telinga Orion.
“Tekan,” perintahnya tegas pada Sinta.
Bryan mengangkat tubuh Orion. “Kita ke rumah sakit sekarang.”
Sinta mengangguk, menekan luka di telinga Orion sesuai perintah suaminya.
Bryan meletakkan putranya ke dalam mobil. Wajah Orion begitu pucat, napasnya berhembus lebih cepat.
“Kau baik-baik saja?” kata Bryan, mengunci sabuk pengaman dengan tangan gemetar.
“Ayah…”
“Ya?”
“Kenapa…” suara Orion melemah, tapi matanya berbinar samar. “Kak Ethan keren sekali?”
Bryan kehilangan kata. Ia menggantikan tangan Sinta, lalu meremas telinga kiri Orion dengan keras.
“Arrrrgh!” Orion menjerit lagi.
“Rasakan,” kata Bryan dingin, penuh amarah yang tertahan.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk