Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Pindah (Rumah)
Pindah, sebuah pemaksaan yang berkedok ajakan lagi-lagi Zain lakukan. Bagaimana tidak disebut memaksa? Malam harinya dia bertanya, Nadin pun masih sedikit ragu tentang iya atau tidaknya, tapi Zain keesokan harinya Zain sudah mendatangkan mobil pengangkut barang tepat di depan gang.
Jika ditanya sebabnya apa? Besar kemungkinan karena sikapnya pada Bu Sarmila tadi malam. Merasa tak enak lantaran sudah bersikap tak sopan, Zain memilih pergi dibandingkan jadi bahan gunjingan.
Tak hanya itu saja, tempat yang sempit dan juga terlalu dekat dengan tetangga membuatnya merasa tak bebas. Terbukti, malam ini Nadin menangis saja sudah membuat orang-orang curiga, lantas bagaimana yang lain? Begitu pikir Zain.
Jika hanya perkara jarak, bisa dibicarakan belakangan. Lagi pula, bukankah akan lebih baik jauh dari kampus? Lingkungan tempat tinggal mereka dipenuhi oleh mahasiswa yang juga kuliah di kampus tersebut, pontensi ketahuan justru lebih besar.
Atas pertimbangan itulah Nadin pasrah pada akhirnya. Namun, sebelum itu dia menyempatkan diri untuk meminta maaf pada Bu Sarmila. Bukan hanya meminta maaf atas sikap kurang ajar Zain, tapi juga meminta maaf karena dia yang sempat berbohong tentang siapa Zain.
"Ah tidak masalah, Nadin ... ibu mengerti."
"Bu Sarmila nggak marah?"
Bu Sarmila menggeleng, mana mungkin dia bisa marah, wajah Zain lebih menakutkan dari suaminya. Dari pada mendapat masalah, lebih baik dia mengalah saja. Bahkan, tidak hanya maaf yang Bu Sarmila berikan, tapi juga satu keranjang jeruk segar sebagai hadiah perpisahan.
"Banyak banget, Bu Sarmila ya ampun?"
"Nggak apa-apa, jeruk bagus buat kesehatan sel telur, Nadin ... biar siap dibuahi."
Nadin mengangguk, wajahnya memerah kala menerima jeruk pemberian Bu Sarmila. Sementara Zain yang sejak tadi menatap datar Bu Sarmila, kini menarik sudut bibirnya tipis.
Bahkan, dia yang lebih bersemangat mengucapkan terima kasih pada Bu Sarmila dibandingkan Nadin. Sementara Nadin hanya tertunduk malu, hingga ketika sudah berdua bersama sang suami juga masih begitu.
Perginya Nadin disaksikan juga beberapa tetangga kostnya. Kepergian Nadin yang tiba-tiba jelas saja menimbulkan tanya, terlebih lagi begitu melihat semua barang-barang Nadin dibawa semua.
Tidak begitu banyak, karena memang fasilitas utama sudah tersedia di sana. Hanya saja, mobil Zain terlalu sempit untuk membawa semua barang Nadin, akan tidak lucu jika di atas mobilnya terdapat sebuah lemari plastik persis seseorang yang hendak mudik.
Cukup lama perjalanan yang mereka tempuh, Nadin merasa jalannya sangat asing dan belum pernah dia lewati. Entah kemana Zain hendak membawanya, tapi jika Nadin ingat-ingat lagi jalan yang tengah mereka lewati bukan jalan menuju apartemen suaminya.
"Mas," panggil Nadin pada akhirnya, sejak tadi dia menahan, tapi penasaran juga.
Zain menoleh, wajah sang istri yang tampak bingung terlihat lucu di matanya. "Iya, Sayang kenapa?"
"Kita mau kemana? Kok jalannya?"
"Pindah, kan kamu sudah tahu," jawab Zain kembali fokus dengan kemudinya.
Sebuah jawaban yang sama sekali tidak ada jelasnya. Nadin benar-benar bingung dengan situasi yang kini dia alami. Semakin lama, dia semakin takut terutama kala sadar jalannya tampak sepi, bukan sepi mencekam, tapi sepi yang menunjukkan aura kekayaan.
Ya, Nadin tahu tempat ini. Dia pernah melihat di iklan-iklan tentang lokasi hunian para konglomerat yang kerjanya hanya diam, sementara uangnya jalan-jalan.
Semakin lama, firasat Nadin semakin aneh. Hingga, dia benar-benar gelisah begitu Zain berhenti tepat di sebuah hunian paling mewah dan paling mencolok di sana.
Bukan rumah, bagi Nadin sudah lebih pantas disebut istana. Sebuah hunian modern klasik yang bahkan tidak berani Nadin cita-citakan itu agaknya benar tujuan Zain. Jujur saja, ketika memasuki gerbang utama, Nadin berharap jika Zain salah alamat, tapi nyatanya pria itu benar-benar turun dan mengitari mobil demi mempersilahkannya untuk turun.
Nadin ingin bertanya, apa benar ini rumahnya? Namun, dia khawatir noraknya terlalu kentara hingga memilih diam saja. Jika sebelumnya bertemu Zain dia panas dingin, saat ini lebih panas dingin lagi.
Apalagi, kala melihat bagaimana orang-orang di sana menyambut Zain. Bak keturunan bangsawan, pria itu terlihat sangat dihormati ketika tiba. Bahkan, barang-barang yang Nadin bawa juga segera diangkut, andai tahu tempat tujuannya begini mungkin Nadin akan menuruti sang suami yang mengatakan agar lemari plastik dan keranjang itu ditinggal saja.
Bukan main malunya Nadin, bak anak yang dipungut dari jalanan, tangannya sampai berkeringat lantaran merasa tidak pantas untuk ikut Zain. Langkah-langkahnya sampai terasa berat, hingga ketika hendak memasuki pintu utama yang tinggi menjulang itu lutut Nadin lemas, dan Zain sadar akan hal itu.
.
.
"Kenapa? Capek?"
Bukan, Nadin bukan sekadar capek, tapi sangat-sangat capek. Dia sempat menerka gaji Zain satu bulan, sempat pula menasihati Zain agar lebih hemat dan lebih parah dia sangat perhitungan perkara sabun dan juga sikat gigi di kost.
Habislah Nadin, seketika dia memerah dan ingin mengubur dirinya sendiri. Tak kuat lagi menahan, dia harus benar-benar bertanya demi memastikan apa yang tengah terjadi padanya.
"Tunggu, Mas ... kata kamu ngajak pindah, 'kan?"
"Hm, lalu kenapa?"
"Kenapa kita kesini?"
Zain tidak segera menjawab, alasan utama kenapa dirinya membawa Nadin ke rumah utama jelas karena tidak ingin membawa sang istri ke apartemen, itu saja. "Sementara kita di rumah Daddy dulu ... aku belum sempat beli rumah untuk kita."
Daddy? Daddy? Mata Nadin membulat sempurna mendengar panggilan Zain. Bisa dipastikan uang jajannya sewaktu kecil berbeda, Nadin frustrasi rasanya.
Masih terdiam, Nadin salah besar tentang Zain. Saat ini, seketika dia berpikir bahwa Zain bekerja mungkin sebatas mengisi waktu luang. Banyak sekali kejutan yang Nadin temui akhir-akhir ini, bak ketiban durian runtuh, tapi jujur saja dia takut sebenarnya.
"Zain, kamu bawa siapa, Sayang?"
Deg
Sedang bingung-bingungnya, Nadin semakin panas dingin begitu seorang wanita cantik menuruni anak tangga. Suaranya terdengar begitu lembut, begitu juga dengan caranya menatap Nadin.
Semakin dekat, Nadin semakin gugup, tatapan wanita itu berhasil membuatnya ketakutan hingga spontan bersembunyi di balik punggung Zain. Jelas hal itu membuat Amara, Mommy-nya bingung.
"Kok dia takut? Siapa, Sayang?" Melihat reaksi Nadin jelas saja Mommy Amarah bingung, dia juga belum sempat mengenali, tapi Nadin sudah lebih dulu menyembunyikan diri.
Genggaman tangan Zain semakin erat, jika Nadin saja gugup dia juga sama, bahkan lebih gugup lagi. Namun, sejak awal tekadnya sudah bulat, dan dengan tegas dia mengatakan. "Istriku, Mom."
"Istri? Ya, Tuhan, Zain? Bagaimana bisa? Siapa namanya, Sayang?"
"Nadin, Ma ... dan kami menikah minggu lalu."
"Apa?! Coba ulangi!! Daddy tidak dengar!!"
.
.
- To Be Continued -