Dijodohkan? Kedengarannya kayak cerita jaman kerajaan dulu. Di tahun yang sudah berbeda ini, masih ada aja orang tua yang mikir jodoh-jodohan itu ide bagus? Bener-bener di luar nalar, apalagi buat dua orang yang bahkan gak saling kenal kayak El dan Alvyna.
Elvario Kael Reynard — cowok paling terkenal di SMA Bintara. Badboy, stylish, dan punya pesona yang bikin cewek-cewek sampai bikin fanbase gak resmi. Tapi hidupnya yang bebas dan santai itu langsung kejungkal waktu orang tuanya nge-drop bomb: dia harus menikah sama cewek pilihan mereka.
Dan cewek itu adalah Alvyna Rae Damaris — siswi cuek yang lebih suka diem di pojokan kelas sambil dengerin musik dari pada ngurusin drama sekolah. Meskipun dingin dan kelihatan jutek, bukan berarti Alvyna gak punya penggemar. Banyak juga cowok yang berani nembak dia, tapi jawabannya? Dingin banget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Suami Istri
Kebaya putih tradisional itu tersemat sempurna di tubuh ramping Alvyna Rae Damaris. Kainnya jatuh anggun membalut setiap lekuk tubuh gadis itu, berpadu dengan selendang tipis yang menjuntai dari bahunya. Wajahnya yang memang sudah cantik alami, pagi ini tampak semakin memukau dengan sentuhan riasan tipis yang hanya menonjolkan kesan elegan. Rambut panjangnya disanggul ke atas dengan detail bunga melati terselip rapi, memberi kesan tradisional dan suci di saat bersamaan.
Namun di balik tampilan sempurna itu, ada hati yang bergemuruh hebat.
Alvyna, dalam tiga hari terakhir nyaris tidak meninggalkan rumah sakit. Ia tidur di sofa ruang tunggu makan seadanya dan jarang mengganti pakaian. Semua itu ia lakukan demi bisa berada di sisi sang mama Sarena, yang masih terbaring lemah pasca insiden di tangga. Bahkan hari pertamanya sebagai siswi baru di SMA Bintara ia lewatkan begitu saja karena bagi Alvyna, sekolah bisa menunggu tapi mama tidak.
Kemarin, dokter akhirnya memperbolehkan Sarena pulang meski dengan peringatan keras. Kondisinya belum sepenuhnya stabil. Tapi sang mama bersikeras. Ia merasa lebih nyaman di rumah sendiri, dikelilingi orang yang ia cintai.
Dan pagi ini, satu hari setelah mama kembali ke rumah, Alvyna akhirnya menyerah pada permintaan yang tak pernah ia sangka akan terjadi secepat ini ia menikah dengan El.
Baik Alvyna maupun El sama-sama terkejut saat pertama kali mendengar rencana percepatan pernikahan itu. Awalnya mereka pikir masih punya waktu beberapa minggu. Namun, ketika Sarena memohon dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca, semua argumen terasa tak berguna.
Bagi Alvyna, melawan permintaan terakhir orang tua hanya akan meninggalkan penyesalan. Maka, ia pun menunduk pasrah. Menjalani semuanya demi melihat mamanya sedikit lebih tenang meski hatinya sendiri jauh dari tenang.
Ceklek
Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sarena yang melangkah masuk. Ia mengenakan kebaya abu-abu lembut dengan brokat halus dan selendang silver. Meski tubuhnya masih tampak kurus, riasan natural di wajahnya memberi ilusi segar yang menenangkan. Ada senyum kecil di wajahnya saat melihat putrinya duduk di depan meja rias.
Ia menghampiri Alvyna yang masih mematung di depan cermin, lalu berdiri tepat di belakang putrinya.
"Anak mama cantik banget ya," ucapnya lembut sambil menyentuh bahu Alvyna. Sentuhan hangat yang membuat dada gadis itu sesak.
Alvyna mengangkat tangan dan menggenggam tangan mamanya. Tangan itu dingin jauh lebih dingin dari biasanya. Air matanya kembali menggenang, tapi ia mencoba menahan.
"Mama harus janji sama Alvyna buat sembuh. Mama gak boleh jatuh sakit lagi ya? Alvyna nurutin permintaan mama buat nikah sama El, sekarang giliran mama yang nurutin Alvyna buat minum obat teratur dan sembuh." Ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar.
Hari ini harusnya menjadi hari bahagia. Tapi yang Alvyna rasakan justru kebalikannya. Ada banyak ketakutan, ada banyak pertanyaan yang belum sempat ia ajukan. Tapi semua itu ia telan sendiri, demi melihat senyum mamanya hari ini.
Sarena membalas genggaman itu. "Iya sayang mama janji akan berusaha sembuh. Bisa menyaksikan kamu menikah hari ini aja udah bikin mama merasa lebih hidup. Semoga kebahagiaan ini ikut menyembuhkan mama ya." jawab Sarena, matanya juga mulai berkaca-kaca.
Namun dalam hati, ia berbisik lirih “Kalaupun waktuku gak lama lagi, setidaknya aku sudah titipkan kamu pada orang yang bisa jagain kamu sayang.”
Alvyna menarik napas panjang. Ia tau ada hal-hal yang tak bisa ia ubah. Dan hari ini ia memilih percaya percaya pada restu mama, percaya pada takdir yang entah kenapa begitu cepat berbelok.
“Ayo kita turun. Keluarga calon suami kamu sudah datang dan ijab qabul sebentar lagi dimulai. Senyum dong masa pengantin cemberut?” goda Sarena, mencoba mencairkan suasana sambil menarik sudut bibir Alvyna dengan dua jari.
Alvyna pun akhirnya tersenyum kecil. Meski matanya masih sembab, senyum itu terlihat tulus. Ia berdiri, lalu menggandeng sang mama menuju lantai bawah.
Acara pernikahan mereka berlangsung di rumah keluarga Alvyna. Sederhana dan hangat hanya dihadiri keluarga inti dan beberapa tetangga dekat. Tak ada dekorasi mewah, tak ada pelaminan megah. Sebuah karpet merah digelar di ruang tengah dan meja tamu hanya satu, diisi oleh penghulu dan para saksi.
Teman-teman sekolah mereka bahkan tidak tau bahwa dua siswa SMA ini akan menjadi pasangan sah dalam hitungan menit. Semuanya dilakukan diam-diam. Hanya demi satu hal yaitu memenuhi permintaan seorang ibu yang sedang berjuang dengan waktu.
Di ruangan itu El duduk tegang di kursi depan. Baju koko putih bersih dan sarung tenun berwarna biru laut membalut tubuh jangkungnya. Rambutnya tertata rapi, wajahnya sedikit pucat karena gugup. Ia langsung menoleh saat mendengar suara langkah kaki dari arah tangga.
Dan di sanalah Alvyna. Langkah gadis itu pelan namun mantap. Kebayanya memantulkan cahaya lampu gantung, menciptakan siluet anggun yang membuat jantung El berdetak lebih cepat. Ia bahkan lupa cara bernapas sesaat. Sosok gadis yang biasa ia lihat dengan hoodie dan celana jeans itu, kini tampak begitu berbeda. Terlalu cantik untuk diucapkan dengan kata-kata.
Saat Alvyna duduk di sebelahnya, El masih menatap. Alvyna yang merasa risih, menoleh dengan alis terangkat.
"Apaan sih? Ngeliatin gue gitu amat. Jangan-jangan alis gue panjang sebelah?" batinnya sambil sedikit merapikan poni.
Di belakang mereka Manda mama El, membisik pelan dengan ekspresi puas.
“Cantik banget ya calon istri kamu? Mama emang gak pernah salah pilih!” ucapnya sambil menepuk punggung putranya pelan.
El hanya bisa berdehem, berusaha tetap kalem, meski dalam hati sudah panik luar biasa. Namun matanya tetap tak bisa beralih dari Alvyna.
“Baik kalau semua sudah siap, mari kita mulai acaranya,” ujar pak penghulu memecah keheningan. Semua perhatian langsung tertuju ke depan.
Raditya ayah El, memberi aba-aba singkat. “Silakan bisa dimulai Pak.”
Pak penghulu mengangguk, lalu menatap El. “Silakan saudara El jabat tangan saya.”
Dengan napas yang tertahan dan tangan sedikit bergetar, El meraih tangan sang penghulu.
Di sebelahnya, Alvyna menegakkan punggung. Ia menutup mata sejenak, lalu menarik napas panjang.
“Tuhan ini bukan keinginanku. Tapi kalau ini jalan untuk mama sembuh, tolong bantu aku ikhlas menjalani semuanya.” Detik berikutnya, kalimat sakral itu terdengar.
“Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Elvario Kael Reynard bin Raditya Reynard dengan Alvyna Rae Damaris binti Rehan Damaris, dengan maskawin berupa uang sejumlah satu milyar rupiah dan seperangkat alat salat, dibayar tunai.”
Semua mata tertuju pada El.
Dengan napas yang sedikit tertahan, El mengucapkan lantang, “Saya terima nikah dan kawinnya Alvyna Rae Damaris binti Rehan Damaris dengan maskawin tersebut, dibayar tunai.”
Hening sejenak. Lalu…
“SAH!” seru para saksi.
“Alhamdulillah.”
Tepuk tangan kecil pun terdengar. Sarena tersenyum lebar. Wajahnya terlihat sangat bahagia, meski matanya basah. Ia menatap anak gadisnya dengan penuh cinta.
Sementara itu…
Alvyna melongo.
“Baru aja beberapa menit dan gue udah sah jadi istri orang? Gitu doang? Secepat ini?” batinnya, nyaris tak percaya.
Di sisi lain El juga terdiam. Bibirnya tersenyum kecil, tapi otaknya masih berusaha menerima kenyataan.
“Gila gue udah resmi jadi suami orang sekarang. Yang bener aja? Gue udah punya istri dong? Padahal Lyra aja masih suka bikin gue stres dan ini nambah satu lagi. Apa gak makin stres gue?” Tapi entah kenapa, saat menoleh dan melihat Alvyna yang menatap kosong ke depan El justru tersenyum.
Karena walaupun mereka memulai semua ini tanpa cinta, mungkin hari ini adalah awal dari sesuatu yang belum bisa mereka pahami.