WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Kita, Dan Tentang Al
#21
“D-dua bulan, Mas?!”
Agnes segera bangkit dari baringnya, berita ini membuat Agnes tak hanya kehilangan kantuk, tapi juga mendadak ia memiliki tenaga untuk bangun dari tidurnya.
“Iya, para tetua bilang, semakin cepat akan semakin baik,” imbuh Rama senang, jelas ia bahagia, karena tak lama lagi keinginannya menyanding Agnes dalam ikatan pernikahan, akan segera terwujud.
“Bagaimana menurutmu? Apakah itu terlalu cepat?”
Bukan hanya terlalu cepat, tapi Agnes harus kembali memikirkan hatinya yang belum sepenuhnya bisa menerima Rama. Ditambah Leon yang tiba-tiba hadir, ya walaupun belum tentu juga Leon masih memiliki rasa padanya.
“Tidak, Mas. Aku setuju.”
Ya, Agnes harus meyakinkan diri, karena kelak Al akan melihat dan mencontoh perbuatannya. Jika sekarang ia tak memberikan cerminan yang baik, maka kecil kemungkinan jika kelak Al juga akan menjadi pribadi yang baik.
Tak boleh lagi ada kebimbangan, karena Rama sudah yakin menerima Agnes beserta putranya.
“Baiklah, aku akan segera mencari gedung yang pas untuk perhelatan pernikahan kita.”
“Iya, Mas atur saja, aku sedang tak punya waktu saat ini.”
•••
Tak lama setelah panggilan dari Rama berakhir, Agnes membantu para asistennya mengemas brownies dalam box khusus yang akan membuat kue hitam manis tersebut sampai di tempat tujuan dengan selamat tanpa cacat.
Sesudahnya ia pun kembali ke rumah dengan berjalan kaki, untunglah jarak rumah dan toko tak terlalu jauh, jadi Agnes tak perlu risau selama mobilnya mogok.
“Aaaa, Nggak Mau! Mau sarapan bareng Uncle!” jerit Al pagi itu, ketika Rika membujuknya untuk sarapan pagi.
“Iya, Den, tapi Uncle-nya sudah pulang, gimana dong?” bujuk Rika.
“Ya sudah, Al nggak mau sarapan.” Al melengos sembari melipat kedua lengannya di dada.
“Ehem!”
Suara deheman Agnes membuat Al menoleh padanya. “Mom! Kenapa Uncle diizinkan pulang? Kan aku masih mau main bareng Uncle.”
Al segera mengadu pada Agnes, karena sejak bangun pagi tadi, ia tak mendapati Leon di sampingnya seperti semalam.
Agnes tersenyum lega sekaligus sedih, karena mungkin akan sulit mengabulkan permintaan putranya. Wanita itu dengan sabar memutar tubuh Al kembali menghadap meja makan, baru kemudian bicara dengan suara lembut.
“Uncle Leon, bukan suami Mommy, juga bukan suami Mbak Rika. Uncle juga bukan anak laki-laki Oma. Jadi satu-satunya laki-laki yang boleh tinggal atau menginap di rumah ini, hanya Al.”
“Uncle Rama juga nggak boleh?”
Agnes mengangguk, “Nah, sekarang habiskan pisang dan melon kamu, lalu Mommy antar ke sekolah.”
“Iya, Mom,” jawab Al lesu. Ada kecewa, namun tak bisa berbuat apa-apa.
Agnes mengusap kepala Al dengan sayang, tak lama kemudian Rika datang dari arah dapur. “Bu, ini bekal Den Al, sudah benar?” Rika menunjukkan kotak bekal sekolah milik Al.
“Iya, terima kasih, ya.”
“Sama-sama, Bu.”
Mama Wina ikut bergabung setelah menyiram tanaman hiasnya. “Sudah selesai brownies-nya?”
“Sudah, Ma. Sekarang Arsen dan Widi yang mengantar ke lokasi pemesan.”
“Syukurlah, Mama pikir kamu akan keteteran menerima pesanan sebanyak itu.”
“Itulah gunanya tim, Ma. Kami harus solid jika ingin sukses bersama.”
Mama Wina tersenyum lega, merasa bangga ketika Agnes berkata demikian, artinya dia punya semangat juang yang bagus, untuk menghadapi kerasnya hidup di Ibu Kota Jakarta.
Ditatapnya wajah cantik putri satu-satunya tersebut, wanita itu tampak lelah, tapi ada guratan bahagia di wajahnya. Dia berusaha membuat dirinya jadi tangguh dan hebat, agar bisa membuktikan bahwa hidup tanpa suami dan seorang papa, bisa ia lakukan asal punya kemampuan, tekad dan semangat baja. Itulah Agnes.
Seperti baru kemarin sore Mama Wina membujuk Agnes yang ngambek, karena Papanya tak datang di hari ulang tahunnya. Walau hatinya sendiri seperti di sayat sembilu tajam akibat fitnah dan siasat licik orang lain, tapi ia tahu bahwa ia harus mengabaikan rasa sakit itu demi putri semata wayangnya.
Tak lama kemudian, Al sudah menyelesaikan sarapan, Agnes mengemas kotak bekal serta botol minum di tasnya. “Ayo, salim dulu sama Oma dan kita berangkat.”
“Oma, Al sekolah dulu, ya. Jangan kangen, jangan nangis selama Al pergi.”
Oma Wina terkekeh gemas, “Pasti, nanti Oma akan minta Mbak Rika mengingatkan Oma agar tak menangis karena kangen,” kelakar Oma Wina.
Setelah bersalaman, Oma Wina memeluk Al sejenak. “Baik-baik di sekolah, ya,” pesan Oma Wina pada Al.
“Oke, Oma.”
“Ma, aku antar Al dulu, ya?”
Mama Wina mengangguk, “Hati-hati, ya?”
Agnes pun menyusul Al yang sudah berlari ke teras rumah dan memakai sepatunya.
“Sudah?” tanya Agnes memastikan.
“Sudah, Mom. Let's go!”
Agnes menggandeng tangan Al, kemudian melangkah menyusuri jalan setapak menuju pagar. Namun, belum sampai keluar pagar sebuah mobil berhenti di depan rumah.
Al terkejut, tapi seketika sumringah karena mengenali mobil tersebut, “Uncle!”
Leon turun dari mobil, dengan wajah tak kalah cerah dari Al. Diangkatnya tubuh mungil Al dengan mudah. “Hai, jagoan! Sudah siap sekolah?”
Al mengangguk penuh semangat, “Good. Came on.”
“Uncle sengaja jemput Al?”
“Iya, bukan hanya Al, tapi lihat di dalam mobil ada siapa?”
Kaca belakang mobil terbuka, “Al!” Rupanya di dalam sana ada Mayra.
Leon segera membawa Al ke kursi belakang, setelah memasang seatbelt untuknya, Leon pun membukakan pintu untuk Agnes.
“Kamu saja yang antar, aku mau tidur.”
Leon tak mau mendengar penolakan, pria itu menghampiri Agnes yang masih mematung, kemudian mendorong wanita itu agar segera naik ke mobilnya. “Nanti kamu bisa tidur di mobil, tapi sekarang ada yang harus aku bicarakan denganmu.”
Agnes pun pasrah ketika Leon memasang seatbelt untuknya kemudian menutup pintu mobil. Di kursi belakang sudah ramai dengan celotehan Mayra dan Al, Agnes tersenyum lega melihatnya. Walau Al belum tahu Mayra adalah saudara sepupunya, tapi kedua anak itu terlihat berbicara akrab.
“Hali ini Nnda bawain baaanaak bekal, ada loti dengan keju, ada muscat, ada puding, ikan clispy, bola naci lumput laut, dan telol gulung. Tenang caja, da ada coklat kok, bial nanti kita bica tukal-tukal makanan.”
“Iya,” jawab Al singkat khas anak laki-laki yang tak banyak bicara. “Ngomong-ngomong bekalmu banyak sekali, kamu mau ke sekolah, atau mau buka warung.”
“Hihihi, Cengaja minta bekal banak, bial bica bagi-bagi cama teman-teman, kan aku da cuma tantik, tapi juga peli baik hati,” celoteh Mayra membanggakan dirinya sendiri.
Al hanya meng-iyakan saja jawaban Mayra, sudah mulai terbiasa dengan kenarsisan kawan barunya tersebut. Al fokus menatap dua orang dewasa yang duduk bersebelahan di kursi depan, walau semalam Agnes sudah mengatakan mereka berteman. Tapi Al tetap merasa curiga.
Perjalanan ke sekolah Al dan Mayra berlangsung singkat, karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Agnes. Leon menahan diri tidak membicarakan masalah mereka di depan anak-anak, walau baru beberapa kali berinteraksi dengan Al, tapi Leon langsung tahu, anaknya sangat pintar membaca situasi.
Bel masuk sekolah hampir berbunyi ketika mereka tiba, dengan sigap, Leon membuka pintu mobilnya untuk Al, dan juga Mayra. Agnes turun sendiri, lagi pula ia risih diperlakukan seperti istri, sementara mereka sudah berpisah sekian lama.
Sepasang mantan pasutri itu mengantarkan Mayra dan Al hingga ke depan gerbang, “Bye, Onty, Bye, Uncle, tencu comat,” ucap Mayra menirukan Al berbahasa Inggris.
“Bye, Mom, Bye, Uncle,” ucap Al, yang mampu menerbitkan senyum di bibir Leon, walau terpaksa. Karena Al masih menyebutnya Uncle.
Leon dan Agnes membalas lambaian Mayra dan Al, mereka mirip seperti pasutri sungguhan. Padahal cuma mantan.
Setelah Al dan Mayra masuk kelas, Agnes pun berbalik tapi Leon menahan lengannya, “Ayo, kita harus bicara.”
“Bicara lagi, memang mau bicara apa?” tanya Agnes malas, ia ngantuk dan juga lapar.
“Tentang kita, dan tentang Al.”
Agnes mengerutkan keningnya, “Tentang kita sudah usai, jangan lagi dibicarakan.”
“Siapa bilang, dulu memang usai, tapi sekarang ada Al yang harus kita urus bersama—”
ikutan perih ei.....
Apa Leon baru tersadar jika Agnes duduk di pelaminan sama Rama
kasihan kali kau leon, gak tahu apa-apa tapi seolah semua kesalahan tertimpa padamu... kamu yg ditinggalkan, ditolak, dan harus menanggung rasa sakit sendirian... huhuhu, sakit sakit sakitnya tuh di sini... kezaaaammm kezaaaammm, othor tega bikin ibu menangisss😭