Semua telah terjadi, imanku rasanya telah kubuang jauh. Berganti Nafsu syahwat yang selama ini selalu kupendam dalam-dalam.
Apakah ini benar-benar keinginanku atau akibat dari sesuatu yang diminumkan paksa kepadaku oleh pria-pria itu tadi.
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Satu yang pasti, aku semakin menikmati semua ini atas kesadaranku sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemandangan Pagi Hari
Pulang dari tempat kerjaku sudah agak malam. Kebetulan hari itu banyak sekali laporan yang harus aku selesaikan dan kantor wilayah sudah memaksa untuk segera mengirimkannya.
Aku sampai di rumah sekitar pukul 9 malam. Suasana sudah sepi tapi lampu masih menyala semua. Lepas dari garasi aku langsung menuju kamar mandi untuk mencuci tangan dan kedua kakiku. Memang itu kebiasaanku sebelum masuk ke dalam rumah.
Bagitu aku masuk, kudapati Tv masih menyala. Hanya ada Rinda saja yang duduk menontonnya. Memang jam segini istri dan mertuaku sudah tidur. Mereka memang tidurnya cepat karena keesokan paginya juga harus bangun cepat juga.
“Nonton apaan sih kamu, Rin?” tanyaku melewatinya.
“Biasa mas.. drama korea, hihihi...” balasnya tersenyum melihatku.
Malam ini Rinda kulihat memakai daster terusan tanpa lengan warna merah bata. Dengan belahan dad4 yang rendah membuat bulatan daging kenyal payud4r4nya tampak menyembul sebagian.
Dengan itu saja aku sudah tahu kalau Rinda sudah tak memakai BH lagi. Bukan suatu hal yang aneh, sudah sering aku melihatnya seperti itu.
“Mau makan mas?”
“Ga usah Rin... aku udah makan di kantor....”
“Ohh, oke mas...”
Aku berlalu meninggalkannya untuk masuk ke dalam kamarku. Langsung saja kutemui Ariefna dan anakku yang sudah tertidur lelap. Tampak anak perempuanku tidur menghadap tembok, sedangkan istriku ada di sebelahnya dalam posisi telentang.
Kebiasaan Ariefna kalau tidur suka memakai daster tipis dan ujungnya cuma sebatas tengah pahanya, berbeda saat pertama kali aku menemukannya di sebuah gubuk tua saat hujan. Dia yang syari dengan cadarnya yang tertutup. Selepas menikah dia bahkan telah berubah, dia melepas cadarnya.
Sama seperti mama mertuaku, istriku juga punya kebiasaan kalau di rumah memang suka tidak memakai BH dan cel4na dalam. Itulah kenapa aku bisa melihat belahan mem3knya ketika istriku tidur telentang seperti saat ini.
“Ugh.. tebel dan anget pastinya,” gumamku melihat gundukan yang bersih tanpa bulu itu.
Tanganku coba mendekati belahan kemalu4nnya, tapi segera kuurungkan niatku karena kasihan nanti dia terbangun dari tidurnya.
Kujauhi saja dia lalu aku pun segera mengganti pakaianku dengan kostum sehari-hari, apalagi kalau bukan celana kolor saja.
Yah, kalau di rumah dan sudah mau tidur aku biasa cuma memakai celana kolor dengan telanj4ng dada.
Sebelum tidur aku kembali memastikan pagar sudah terkunci berikut semua pintu rumah. Kumatikan beberapa lampu yang tak perlu untuk menghemat pemakaian listrik di rumah.
Bukan tanpa sebab karena yang tiap bulan membayar tagihan listrik tentu saja aku. Selesai memastikan semua sudah terkunci aku pun kembali ke ruang tengah.
“Masih nonton, ya, Rin? Emang belum ngantuk yah?” tanyaku pada Rinda yang belum beranjak dari depan Tv.
“Belum mas.. bentar lagi...” ucapnya pelan, matanya tak mau pindah dari adegan film yang dilihatnya.
Karena aku belum terlalu mengantuk, akupun ikut duduk di depan Tv, tepat di seberang posisi Rinda duduk. Karena Rinda mengangkat kedua kakinya di sofa, mataku tentu saja jadi bisa melihat cel4na dal4m warna putih yang menutupi pangkal pah4nya.
Aku tak bereaksi apa-apa, kalau cuma celana dalam saja aku sudah sering melihatnya.
“Eh, Rizal kapan pulang?” tanyaku basa-basi kemudian.
“Bulan depan.. masih lama nih mas...”
“Ohh, yaudah.. sabar aja Rin...” ucapku mengerti apa yang dirasakannya.
“Huhhh... udah sabar terus ini mas... kalo ga sabar mungkin sudah kutinggal saja dia.”
“Ehh... ya jangan dong, suami kamu kan pergi cari uang... gimana sih...”
“Hihihi... canda aja mas,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Mataku ikut tertuju pada layar Tv. Di mana terlihat adegan beberapa orang berpakaian kerajaan korea sedang bertarung. Setelah itu kembali kuperhatikan Rinda, wajahnya nampak serius mengamati apa yang tampil di layar Tv.
“Napa sih kamu suka drama korea, Rin?”
“Wihh.. pemainnya cakep-cakep mas... gantengnya itu imut, hihihi...” Rinda tertawa sebentar, badannya yang ikut berguncang memperlihatkan sepasang buah dad4 yang menggantung bebas di balik dasternya.
“Ohhh.. suka ‘k-pop’ juga dong?”
“Oiya.. pasti..”
“Apa yang paling kamu suka?” sambungku.
“Apanya? Group maksudnya?”
“Iya, apalah itu sebutannya....”
“Wahh... EXO dong mas.. paling demen sama mereka,” balasnya dengan sumringah.
“Tapi sejak member mereka pada wamil aku jadi suka sama NCT Dream,” imbuhnya.
“Dream? Apaan sih?” tanyaku tak mengerti.
“Iihhh.. cowo emang ga pernah ngerti soal boy band Korea... ya sama, cuma mereka itu satu agensi mas,” terangnya.
“Hehehe.. iya.. iya.. emang ga ngerti aku Rin... maaf yaa...”
Wajah Rinda yang ceria menambah kecantikan alaminya. Tanpa riasan macam-macam saja wajah perempuan di depanku ini sudah menarik.
Rambutnya hitam lurus tergerai menutupi pundak putih mulusnya. Matanya yang bulat sayu dengan alis tebal mendatar juga jadi daya tarik tersendiri dari sosok Rinda.
Belum lagi bibirnya yang mungil merah merona membuatnya nampak manis sekaligus centil. Memang pintar sekali sepupu istriku itu mencari pasangan hidup.
“Mas Bima mau dibikinin kopi?” tawar Rinda.
“Eh, ga usah... udah mau tidur....”
“Ohh, kirain mau nemenin aku,” balasnya.
“Lah, nemenin? Emang kamu mau begadang lagi?”
“Ga juga sih.. tapi.. emm....”
Aku melihat kegundahan dalam sorot matanya.
“Udahh.. jangan mikir macem-macem deh, kamu nonton aja drama itu... cari hiburan aja, jangan dibuat susah hidup ini,” balasku coba menghiburnya.
“Hihihi.. iya sih mas....”
“Yaudah.. udah telfon Rizal kan tadi?”
“Udah... tapi dia lagi sibuk katanya... ada meeting sama pekerjanya”
“Iya biasa itu... doakan saja dia selamat, sukses.. bisa kasih kamu uang yang banyak,” ujarku.
“Iya dong mas... pasti”
Wajar kalau seorang perempuan gundah hatinya kala suaminya pergi jauh dan dalam waktu yang lama.
Memang kebutuhan materi itu penting, namun tak kalah pentingya adalah kebutuhan bathin. Itu juga yang mendasariku pindah kerja ke kota ini, supaya aku lebih dekat dengan keluargaku. Meskipun kalau dilihat dari nominal gaji memang kalah jauh dari yang kerja di luar pulau.
“Udah ya, aku mau tidur dulu.. jangan lupa lampunya dimatiin,” pamitku kemudian.
“iya mas..”
Akupun lalu beranjak pergi masuk ke dalam kamarku. Besok masih harus kerja lagi. Daripada begadang lebih baik aku segera tidur dan mengistirahatkan badan serta pikiranku.
...𓀐𓂸ඞ 𓀐𓂸ඞ...
Pagi itu semua berjalan seperti biasanya. Istriku sedang mandi dan aku sudah menyiapkan anakku berangkat sekolah. Namun ada satu hal yang aneh karena Rinda masih belum kelihatan. Biasanya kalau kami sudah sibuk aktivitas di pagi hari pasti Rinda juga ikutan membantu.
“Paaahh.. bangunin Rinda dong, suruh bantuin masak,” teriak istriku dari dalam kamar mandi.
“Ogah ahh.. ga enak kalo aku masuk kamarnya,” tolakku.
“Udah cepetan... sama saudara sendiri aja pake ga enak...”
“Dihh.. mama aja lahh...” teriakku lagi.
“Rinda suruh bikinin jamu buat mama ya, Bim, kamu bangunin aja kalo masih tidur,” kali ini mertuaku yang bicara. Aku tak bisa menolaknya.
“Hh.. iya Ma, baik...” balasku melangkah pergi.
Dengan sedikit rasa malas aku pun naik ke lantai dua tempat kamar Rinda berada. Kuhampiri pintu kamarnya dan kuketuk beberapa kali sambil memanggil nama Rinda.
Sampai kuulangi beberapa kali namun tak ada jawaban yang kuterima. Nekat saja aku membuka pintu kamarnya karena aku bingung mau menjawab apa pada mertua kalau sampai Rinda tidak segera bangun.
...‘Klekk!’...
Kubuka pintu kamarnya pelan.
“Rinda... Rin, bangun dong.. udah pagi nihh...” ucapku mendekatinya.
“Hhhh.. emmhh.. napa sik? Aahh.. masih ngantuk nih masss...” ucapnya dengan mata terpejam.
Rinda kutemui masih memakai daster pendek tanpa lengan yang tadi malam dipakainya. Ujung bawah pakaian itu sudah tersingkap sampai di pinggangnya hingga celana dalam putih yang dipakainya terlihat olehku.
Pada titik ini aku sudah tak nyaman berada terus di ruangan kamar Rinda. Kalau ada orang lain tahu pasti aku dikira berbuat cabvl padanya.
“Eh, bangun dong.. udah pagi nihh...” kataku sambil menggoyang pundaknya.
“Aahhh.. bentar aja maass.. hooaaahhmmm....”
Kali ini dia menepis tanganku yang menyentuh pundaknya. Karena gerakannya itulah, tali daster yang sebelah kiri jadi melorot turun melewati lengannya.
Mendadak aku disuguhi pemandangan bulatan payud4r4 putih mulus dengan put1nk coklat kemerahannya. Ukurannya pun tak mengecewakan, hampir sama dengan punya Ariefna ketika dia masih menyusui.
“Eehhh.. gimana sihh? Itu lho mama minta dibikinin minuman.. ayo dong bangun...” pintaku lagi.
“Hoaahhhhhmmm.. ahh.. iya deh mas.. tunggu bentar...” balasnya malas.
“Hhh.. yaudah.. pokoknya aku udah ngebangunin kamu yah, ntar kalo mama marah kamu tanggung aja sendiri.”
“hadeuhh.. iya.. iya.. aku bangun...”
Rinda dengan perlahan mulai duduk di tepi tempat tidur. Tali dasternya yang melorot masih tak dia pedulikan, atau mungkin dia belum sadar sepenuhnya. Daripada aku dikira macam-macam mending aku segera keluar dari kamarnya.
“Udah bangun dia pah?” istriku rupanya ikutan naik ke lantai dua, tapi begitu melihatku turun dia malah berhenti di tengah tangga.
“Udah.. tadi malam dia tidur kemalaman, habis nonton drama korea sih...” balasku.
“Huuhhh.. yaudah.. sarapannya udah siap pahh...”
“Makasih mah.. ayo makan aja kalo gitu.”
Aku dan Ariefna langsung menuju meja makan. Tak lama berselang Rinda turun dari lantai atas dan melewati kami yang sedang menikmati sarapan.
Seperti hari biasanya dia hanya memakai selembar handuk saja untuk menutupi tubuhnya. Kulihat dia sudah menenteng daster dan celana dalamnya untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci.
“Tuhh.. dicariin mama tuh...” ucap istriku pada Rinda.
“Eh, iya kak....”
“Udah cepetan kamu bikinin minuman buat mama...”
Rinda berlalu meninggalkan kami berdua menuju dapur.
Baik aku maupun istriku sama-sama tak pernah komentar pada penampilan Rinda ketika pagi begini. Mungkin bagi istriku pemandangan perempuan hanya memakai handuk saja sudah biasa, namun buatku tentu saja itu adalah sesuatu yang menyenangkan.