novel ini karya Mei Indriyani
bercerita tentang Hasan dan wati. menikah karena dijodohkan oleh orang tua mereka. ketika pernikahan mereka berusia 10 tahun, mereka diuji. hasan jatuh cinta kepada seorang gadis yang berkenalan dengannya di bus pada usia pernikahan mereka 1 tahun. dan bertemu kembali pada usia pernikahan mereka sudah 10 tahun. hati sudah tidak memperhatikan penampilan nya yang membuat Hasan jadi ilfeel. sehingga ketika bertemu dengan angel dia jatuh cinta. Hasan dan angel berbeda agama. tetapi cinta yang mempertemukan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei Indriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Molunggelo
Hari ke tiga aku dan bayiku sudah di perbolehkan pulang. Setiap hari rumah ramai, bunda ku dan bunda mertua ku setiap pagi sudah datang ke rumah kami untuk memandikan dan menjemur anak kami. Hari ke empat bundaku yang memandikan mila. Hari ke lima ibu mertua ku yang memandikan mila. Hari ke enam bundaku lagi yang memandikan mila. Ketika hari ke tujuh ibu mertuaku mau memandikan mila ternyata tali pusatnya sudah tidak menyatu dengan pusarnya atau dikenal tali pusar sudah jatuh.
Genap seminggu, tali pusar anak kami sudah jatuh. Maka besoknya kami mengadakan adat melunggelo. Molunggelo adalah kebiasaan turun-temurun masyarakat Gorontalo mengayunkan pertama bagi bayi yang baru lahir. Tradisi ini tak lepas dari wujud kasih sayang dari keluarga usai tali pusat sang bayi jatuh. Molunggelo juga dikenal dengan sebutan Mopota’e to Lulunggela, atau menaikkan bayi pada buaian.
Semua dari persiapan hingga acara di urus oleh orang tua kami berdua. Kami juga belum mengundang tetangga dan kerabat. Yang hadir hanya kakek, nenek, paman dan bibi dari pihak istri maupun pihak suami, dan tetangga terdekat, Para pemuka agama seperti guru ngaji hatibi (imam), hulango (biang kampung), asisten (biang kampung) atau ibu tua.
Dahulu kala, untuk menjaga bayi agar lebih aman, orang tua memilih ayunan sebagai wadah atau tempat untuk menidurkan anak dan untuk tempat bermain anak. Posisinya yang tak langsung bersentuhan dengan lantai, membuat sang bayi aman dari gangguan hewan seperti serangga, kucing, dan hewan lainnya.
Prosesi Molunggelo, terdapat syair dan atribut adat yang digunakan dalam pelaksanaannya. Syair dan atribut adat tersebut memiliki makna dan nilai-nilai tertentu yang dipercaya membawa kebaikan.
Syair ini berupa lafalan doa-doa yang diucapkan oleh hulango atau bidan kampung pada saat pelaksanaan molunggelo. Syair ini akan dilantunkan pada saat bayi akan dimandikan, bayi akan diayunkan ke buaian atau Lulunggela, dan terakhir pada saat hendak menaburkan beras lima warna.
Atribut adat yang digunakan adalah sebuah lulunggela (ayunan) sebagai peralatan utama, juga seperangkat hulanthe yang berisi telur, cengkeh, pala, lemon swanggi, uang koin, dan beras. Selain itu ada ayam 1 pasang, dan seperangkat baki yang berisi polutube (tempat membakar dupa), segelas air dan kemenyan atau alama.
Seperangkat hulante berisi : Beras 3 liter berlambang Rezeki, Pala dan cengkih berlambang keteragaraan hidup dan perlindungan, Telur berlambang asal kejadian manusia, Limutu atau lemon swanggi atau limau purut berlambang keharuman negeri.
Makna atribut adat yaitu Tohetutu atau sejenis lampu damar bermakna cahaya kehidupan, Yilonta bermakna keharuman alamiah setiap pribadi, Pale yilulo makanan hantaran bagi penjaga rumah (gaib), Seperangkat baki berisi polutube sarana penghubung doa insani
Semua atribut adat tersebut sering digunakan oleh para orang tua dahulu dalam melaksanakan tradisi molunggelo. Oleh karena itu, untuk menghormati dan mempertahankan Molunggelo, sampai saat ini kami masyarakat Gorontalo termasuk aku sekeluarga masih mempertahakan Molunggelo anak pertama hingga anak terakhir.
beberapa makna dan fungsi Molunggelo atau mopota'e to lulunggela adalah kewajiban, menjaga kesehatan sang bayi. Di dalam lulunggela, sang bayi bebas bergerak, sehingga pembentukan fisik lebih terarah, jika dibandingkan dengan tidur di gendongan. Molunggelo juga memiliki manfaat bagi sang ibu untuk menggunakan waktunya membenahi pekerjaan rumah tangga yang lain di saat sang bayi tidur, tidak ada kekhawatiran sang bayi jatuh dari tempat tidur, sebab begitu ia bergerak terayun kembali seolah-olah ditimang-timang.
Molunggelo juga mengandung nilai pembentukan fisik, perlindungan kesehatan, bentuk kasih sayang dan rasa tanggung jawab dalam membesarkan anak. Sebelum molunggelo dilaksanakan, kami harus menyiapkan perangkatnya, antara lain limu tutu (jeruk purut), humopoto (kencur), bawang putih, daun onumo yang diberi minyak kelapa, pale yilulo atau beras lima warna, bulewe (mayang pinang) yang baru mekar, seperangkat baki yang berisi polutube (tempat bara api), segelas air, baskom berisi dupa (totabu).
Dalam molunggelo untuk wilayah adat Gorontalo, yan harus di siapkan adalah seperangkat makanan berupa labiya yilepa'o (sagu yang dimasak di atas pembakaran) dan bongo tilutu (kelapa yang dicungkil).
Kelapa ini nantinya dikunyah-kunyah oleh anak-anak umur 7-9 tahun, lalu ditiupkan pada setiap sudut buaian. Anak-anak yang kami panggil adalah keluarga kami berdua. Di samping itu ada sejenis makanan yang namanya Alupepege yaitu bubur sagu yang di masak dengan santan, bumbunya bumbu alimbuluto (nasi kuning) yang diberi warna hijau. Juga ada tempurung bermata (bu'awu ta'uliyo) yang agak kecil, dibersihkan luar dalam, yang akan digantungkan pada gantungan kelambu, Mbaya-mbaya atau sejenis permainan anak yang akan digantungkan pada bagian atas kepala sang bayi dan Eluto (baladu) senjata tajam tradisional yang diletakkan di bawah bantal sang bayi. Dalam prosesnya, seorang hulango atau biang kampung akan membersihkan buaian (lulunggela), ia dibantu seorang wanita tua menyiapkan perangkat ayunan dan kain putih sebagai kelambu. Di Gorontalo terdapat 2 macam ayunan, yang digantung dan yang duduk. Kami memakai ayunan gantung. Ayunan tersebut terbuat dari rotan. Supaya tahan lama dan lama di pakai. Kalau perlu sampai cucu kami.
Lulunggela yang sudah dibersihkan dimasukkan ke dalam kamar kami untuk digunakan. Di depan lulunggela (ayunan), diatas tikar, diletakkan Hulante yang berisi telur, cengkeh, pala, lemon swanggi, uang koin, dan beras. Anak laki-laki 5 buah atau biji per macam hulante dan anak perempuan 7 buah atau biji per macam hulante. Di tengahnya terpasang lampu tohetutu (lampu dari gerah damar atau minyak tanah), serta pale yilulo atau beras 5 warna di atas piring. Proses ini diiringi doa dan shalawat yang dipimpin seorang hatibi (imam). Saat memimpin doa, imam akan membakar dupa dalam polutube. Biasanya di samping polutube ini terdapat segelar air putih serta yilonta. Doa salawat pun dimulai yang di ikuti undangan.
Kemudian anak kami dimandikan berbusana putih. Ngadi salawati yang di pimpin hatibi (imam) pun di mulai. Selesai ngadi salawati, hulango (biang kampung) menjemput anak kami yang sudah ganti pakaian lalu mengayunkan 3 kali ke lulunggela (ayunan). Setelah anak kami sudah ada dalam lulunggela (ayunan) maka hulango (biang kampung) menaburkan pale yilulo (beras lima warna) di seluruh ruang dalam rumah kami. Para tamu selesai minum teh dan kue basah disuguhkan mereka saling berjabatan tangan mengucapkan terima kasih kepada kami pihak keluarga.
Imbalan jasa berupa sedekah berdasarkan keikhlasan dari kami sepasang suami istri untuk hulango (Buang kampung). Berupa sedekah berdasarkan keikhlasan dari kami sepasang suami istri juga untuk hatibi (imam) yang ditokohkan untuk membaca selawat. Berupa sedekah berdasarkan keikhlasan dari kami sepasang suami istri untuk ibu tua yang membantu hulango.
---
Bersambung.
tpi klo buat selirnya.... g ada pelit2nya...