Wanita, seorang insan yang diciptakan dari tulang rusuk adamnya. Bisakah seorang wanita hidup tanpa pemilik rusuknya? Bisakah seorang wanita memilih untuk berdiri sendiri tanpa melengkapi pemilik rusuknya? Ini adalah cerita yang mengisahkan tentang seorang wanita yang memperjuangkan kariernya dan kehidupan cintanya. Ashfa Zaina Azmi, yang biasa dipanggil Azmi meniti kariernya dari seorang tukang fotokopi hingga ia bisa berdiri sejajar dengan laki-laki yang dikaguminya. Bagaimana perjalanannya untuk sampai ke titik itu? Dan bagaimana kehidupan cintanya? Note: Halo semuanya.. ini adalah karya keenam author. Setiap cerita yang author tulis berasal dari banyaknya cerita yang author kemas menjadi satu novel. Jika ada kesamaan nama, setting dan latar belakang, semuanya murni kebetulan. Semoga pembaca semuanya menyukainya.. Terimakasih atas dukungannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Acara
“Sepulang kerja ini ada acara di kafe cinta, Bu. Azmi mungkin pulang sedikit larut.” Kata Azmi yang sednag menghubungi sang Ibu.
“Ada acara apa?”
“Acara perpisahan, Bu. Mas Pur akan dipindahkan ke Sungai Danau.”
“Apa admin yang kamu gantikan itu?”
“Iya, Bu.”
“Hati-hati. Nanti kalau terlalu malam, hubungi ayah!”
“Terima kasih, Bu.”
Azmi mengakhiri panggilannya. Saat dirinya menatap keluar, sekilas dirinya melihat Priyo. Sebulan ini waktu yang cukup baginya untuk mengubur perasaan yang ia pupuk untuk Priyo. Tetapi tak lantas membuatnya melupakan bulan-bulan yang ia lalui. Sesekali Azmi masih ingat sikap lembut dan sekaligus kaku dari Priyo.
“Kamu ikut malam ini?” Tanya Dino yang membuyarkan lamunan Azmi.
“Ikut, Kak. Kakak sendiri bagaimana? Kata Mas Budi, Kakak ada training besok.”
“Aku ikut. Kamu bawa motor?” Azmi mengangguk.
“Katakan kalau tidak berani pulang nanti.”
“Aman saja, Kak. Aku bisa minta jemput Ayah nanti.”
“Apa kamu masih anak ayah ibu?”
“Tentu saja masih, Kak! Kalau bukan anak mereka, anak siapa?”
“Memang anak mereka. Tapi bukan itu maksudku!”
“Maksud Dino, kamu itu sudah dewasa dan sudah pernah menikah. Kenapa sedikit-sedikit masih mengandalkan ayahmu?” Kata Ipit menimbrung.
“Sudah terbiasa seperti itu, Kak. Apa salahnya?”
“Tidak salah.” Jawab Dino singkat.
Berbeda dengan Ipit yang mengatakan kalau itu keterlaluan. Paling tidak Azmi sudah harus bisa mandiri. Minimal tidak bergantung dengan kedua orang tuanya.
Azmi hanya menganggukkan kepala. Orang tuanya tidak membatasi atau mengekangnya, jadi tak ada masalah untuk bergantung kepada mereka. Jika nanti ia menikah lagi, tentu tak lagi mengandalkan kedua orang tuanya.
“Menikah lagi?” Batin Azmi yang terkejut dengan pemikirannya sendiri.
Segera Azmi menggelengkan kepala menepisnya. Ia masih belum ingin melangkah kesana karena ia merasa masih belum bisa menilai laki-laki.
Azmi kembali ke pekerjaannya yang sudah menggunung. Ia akan ada waktu santai di jam 4 nanti sampai waktu pulang kerja jika menyelesaikan semuanya. Sayangnya, apa yang diperkirakannya tidak sejalan dengan kenyataan.
“Mi, tolong bantu Budi bongkar barang!”
“Mi, tolong kirimkan laporan ini sekarang!”
“Mi, berikan data bulan kemarin!”
Ada saja pekerjaan yang diberikan Pak Suwito untuknya, membuat Azmi kesana-kemari. Hal ini disebabkan Awi dan Agus izin, sehingga Ipit dan Romi yang seharusnya berjaga di Warehouse menggantikan mereka mengemudikan fuel truck ke pit stop. Tak hanya Azmi, Budi dan Dino juga terlihat kuwalahan karena kurangnya manpower.
“Akhirnya selesai juga!” Seru Budi sambil meregangkan tubuhnya.
Disusul Dino dan kemudian Azmi. Tetapi ketiga tak bisa bersantai karena sebentar lagi bus jemputan datang. Segera ketiganya merapikan meja dan mematikan komputer.
“Kamu pakai motor, langsung ke kafe saja. Tahu tempatnya, kan?” Tanya Pak Rudi.
“Tahu, Bos.”
“Oke.”
Semua orang naik kedalam bis dan Azmi berjalan menuju parkiran. Ia mengemudikan motornya. Sebelum menuju kafe, Azmi menyempatkan singgah sebentar ke minimarket untuk menumpang ke toilet. Ia memperbaiki makeup nya disana dan merapikan hijabnya. Sampai di kafe, semua orang sudah menunggunya.
“Lama sekali? Kamu pulang dulu?” Tanya Pak Rudi.
“Mampir toilet tadi, Bos.” Jujur Azmi.
“Baiklah! Kamu mau pesan apa?”
“Sambal gami cumi saja, Bos. Minumnya lemon tea.” Pak Rudi mengangguk dan memberi tahu waiter yang ada di sampingnya.
Menunggu pesanan datang, acara dibuka dengan sambutan dari Pak Suwito dan Pak Rudi, kemudian Pur selaku pemeran utama malam ini. Pesanan yang banyak membuat mereka minggu lama, sampai terdengar adzan magrib. Mereka memutuskan untuk sholat lebih dulu di mushola dekat kafe. Saat kembali, pesanan mereka sudah tertata rapi di meja. Segera mereka menikmati makanan mereka.
“Jangan kangen ya, Mi?” Goda Pur.
“Bisa dilabrak nanti aku, Mas!” Jawaban Azmi membuat orang-orang tertawa.
“Santai saja, Mi. Perawan memang menawan, tetapi janda lebih menggoda!” Seru Pak Suwito.
Tetapi serun itu justru membuat suasana menjadi hening. Termasuk Azmi yang merasa ucapan Pak Suwito melewati batas.
“Hahaha.. Bos Wito bisa saja! Di mataku Azmi tidak terlihat seperti janda. Ia masih Azmi 5 bulan yang lalu.” Kata Pak Rudi mencoba mencairkan suasana.
“Iya, benar! Status itu tidak mempengaruhi Azmi.” Kata Ipit menimpali.
Pembahasan pun berubah seputar pekerjaan yang akan Pur lakukan disana karena selain mutasi, Pur juga mendapatkan promosi jabatan.
“Jangan dengarkan!” Bisik Dino.
Azmi hanya menganggukkan kepalanya. Satu bulan ini sudah membuatnya terbiasa menerima kritik atau cacian. Ia tak lagi mendengarkan hinaan akan statusnya.
Sekitar pukul 7 acara selesai. Azmi yang bersiap pulang, dihentikan Dino.
“Aku akan mengantarmu.”
“Aku bisa sendiri, Kak! Lagipula masih jam segini.”
“Bahaya anak gadis pulang sendirian!” Kata Dino yang naik keatas dan kembali lagi dengan kunci motor ditangannya.
Dino mengatakan jika ia meminjam motor Romi untuk mengantarnya, karena ia tidak membawa motornya sendiri. Azmi tak lagi menolak. Dino mengikuti motor Azmi dari belakang. Sampai dirumah, Dino tidak seperti tukang ojek yang begitu sampai tujuan langsung pergi. Ia mengantar Azmi sampai didepan rumah dan bertemu dengan Ayah Azmi yang menyambut anaknya.
“Maaf, kalau kemalaman, Pak.” Kata Dino.
“Ya. Saya memaklumi. Anda?”
“Saya Dino, teman kerja Azmi. Karena Azmi sudah sampai rumah, saya pamit.”
“Terimakasih.”
“Sama-sama, Pak.”
Dino meninggalkan rumah Azmi dengan perasaan tenang. Sementara Ayah Azmi ditinggalkan dengan tanda tanya besar.
“Ada hubungan apa kamu dengan Dino?” Tanya Ayah Azmi setelah Azmi selesai membersihkan tubuh.
“Tidak ada, Yah. Kak Dino yang memaksa mau mengantar, padahal aku sudah bilang aku bisa sendiri.”
“Benar tidak ada hubungan?”
“Iya, Yah.”
“Kamu masih masa idah, kurangi berhubungan dengan laki-laki.”
“Baik, Ayah.”
Masa idah yang mengekang Azmi membuatnya sedikit tidak nyaman. Ia hanya bisa keluar rumah saat bekerja. Mungkin jika ia diizinkan tidak bekerja selama masa idah, ia hanya akan diam dirumah sampai masa indahnya selesai.
“Andai Ayah tahu aku tidak memiliki masa idah, apa Ayah masih tetap bersikap protektif sepeti sekarang?” Gumam Azmi saat sendirian dikamar.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Azmi. Ia yang sudah menyimpan ponsel di meja, bangun kembali dan mengambilnya.
“Uang dari Mas Priyo.” Gumam Azmi yang melihat notifikasi dari mbanking.
Azmi memasukkan uang itu ke rekening yang ia buat sebelum menikah untuk menyimpan uang nafkah dari Priyo. Hal ini ia lakukan untuk memisahkannya dari uangnya sendiri.
Azmi: Terima kasih, Mas.
Priyo: Sama-sama. Apakah kamu sudah sampai dirumah?
Azmi: Sudah, Mas.
Priyo: Kalau kamu memerlukan bantuan, katakan saja. Aku masih memiliki tanggung jawab atasmu.
Azmi: Iya, Mas. Terima kasih.