Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berobat.
Selagi papa Heri mencari orang yang bisa mengobati Aira, Aryan masuk ke kamar, duduk di sofa memperhatikan istrinya yang sedang tidur.
Wajah pucat, tubuh yang kurus dengan perut yang sudah semakin membesar. Rasa khawatir itu tentunya ada, apalagi Aira adalah istrinya.
Aryan menghela nafas berat, ia pusing karena merasa semua cobaan semakin datang ketika ia ingin berubah menjadi yang lebih baik lagi.
Entah bagaimana kedepannya nanti, Aryan tak tau apakah ia sanggup atau tidak.
Saat Aryan memejamkan mata, terdengar suara Aira yang minta tolong. Aryan pun dengan cepat mendekati istrinya, takut terjadi sesuatu.
"Saya di sini, Ra? Kamu kenapa?" Aryan menepuk pelan pipi Aira yang terus meminta tolong dengan lirih.
"Aira, bangun. Kamu kenapa?"
Terlihat kedua mata Aira perlahan terbuka, lalu menatap Aryan dengan lama. Setelahnya, Aira langsung mendorong dada Aryan dengan kuat, lalu menjauh dari suaminya itu.
"Pergi! Jangan dekat-dekat!" teriak Aira ketakutan. Aryan pun langsung menjauh, tak mau memperkeruh suasana.
"Minum dulu, biar lebih enakan," seru Aryan dari kejauhan.
"Minum? Kamu pasti narok racun, kan? Iya kan? Kamu mau bunuh aku! Pergi kamu dari sini!"
Aryan menghela nafas pelan, lalu berjalan ke arah pintu kamar. Sebelum benar-benar ke luar, Aryan menatap ke arah Aira yang juga menatapnya dengan tatapan tak suka.
"Saya bakalan coba segala cara buat nyembuhin kamu," ucap Aryan pelan, lalu keluar dari kamar.
Untungnya sebelum Aira masuk kamar waktu itu, kamar sudah dibersihkan dan sudah dipastikan tidak ada benda tajam di sana. Aryan juga akan mengawasi dari CCTV kamar tentunya.
Di sisi lain.
Diana terlihat termenung, memikirkan ucapan ibunya waktu itu. Bagaimana bisa sang ibu bergerak sejauh ini? Apakah Diana boleh senang? Ia takut sebenarnya, tapi ia juga tergiur dengan hasil dari rencana ibunya.
"Na," panggil papanya Diana, membuat Diana langsung menoleh.
"Iya, Pa."
"Udah baikan?"
"Udah lumayan, pa. Maaf udah nyusahin papa, " ucap Diana memeluk papanya.
"Gak nyusahin kok, tapi jangan gitu lagi ya, papa khawatir banget soalnya."
"Iya, pa."
"Oh ya, mama kamu kemana sih? Kok beberapa hari ini sering ke luar gak bilang-bilang?" tanya papanya Diana dengan kening yang berkerut. "Habis itu sering banget celingak-celinguk kayak orang gak bener," lanjut papanya Diana.
"Ih, Papa kok bilang mama kayak orang gak bener sih!"
"Ya habisnya mama kamu aneh, pas semenjak kamu masuk rumah sakit lagi," ucap pak Herman membuat Diana tertegun sejenak.
"Kayaknya gak ada yang aneh deh, pa, cuma perasaan papa aja," sahut Diana pelan. Entah kenapa, perasaannya menjadi tak enak. Antara senang dengan hasil perbuatan sang ibu dan takut akan risikonya nanti.
Malam harinya.
Papa Heri sudah menemui ahli Ruqiyyah, namun, tidak bisa datang hari ini, karena ada lain hal. Pesannya, coba saja dulu Ruqiyyah mandiri, dengan sering mendengarkan lantunan ayat suci. Mana tau dengan begitu, bisa meringankan sedikit gangguan dari jin yang di kirimkan.
Setelah makan malam tadi, Aryan sudah berada di kamar, dengan Aira yang sudah berbaring di atas ranjang. Ia duduk di sofa, menatap istrinya yang hanya terdiam sembari menatap langit-langit kamar.
Aryan memutar lantunan ayat suci khusus untuk Ruqiyyah mandiri. Volume dari laptop-nya ia besarkan, hingga menutupi sunyi-nya malam, di kamar mereka.
Terlihat Aira menatap ke arah Aryan, namun Aryan pura-pura tak melihat itu. Ia menatap layar ponselnya, padahal di layar ponselnya hanya ada gambar pemandangan saja.
"Aku mau tidur," ucap Aira pelan sembari masih menatap ke arah Aryan.
"Iya? Mau tidur? Yaudah, tidur aja."
"Tolong jangan berisik!"
"Iya." Meski begitu, Aryan tetap tak mengecilkan volume laptop-nya.
Lama Aryan memperhatikan Aira yang berbaring gelisah di ranjang. Ia rasa usahanya sedikit membuahkan hasil, mungkin.
"Aku bilang, aku mau tidur! Bisa gak sih jangan berisik!" bentak Aira menatap tajam suaminya. Ia pun melempar guling di dekatnya, ke arah Aryan.
"Kalau mau tidur, ya tidur aja. Saya masih mau dengar lantunan ayat suci," sahut Aryan cuek dengan kemarahan Aira.
Aira tampak semakin marah dan mulai melempar barang-barang di atas nakas, termasuk gelas, ke arah Aryan. Beruntungnya Aryan duduk jauh dari posisi tempat tidur, hingga lemparan istrinya tak mengenainya satupun.
"Berisik!" teriak Aira menutup kedua telinganya. Wanita hamil itu menangis sejadi-jadinya, lalu turun dari tempat tidur.
Aryan pun langsung mengambil posisi, takut Aira melakukan sesuatu yang aneh.
Terlihat Aira berlari ke arah pintu dan berusaha membukanya, namun pintu sudah Aryan kunci. Aira semakin tak karuan, membuat Aryan khawatir dengan kondisi kandungan istrinya itu. Pergerakan Aira benar-benar agresif.
"Mau ngapain kamu?" Aryan langsung berlari menarik istrinya yang sudah membuka pintu balkon. Ia takut Aira melompat atau melakukan hal aneh lainnya.
"Lepasin!" teriak Aira memberontak bahkan sempat menggigit tangan Aryan, membuat laki-laki itu meringis kesakitan.
Aryan pun mencoba melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah ia hafalkan sore tadi.
"Istighfar, Aira."
Beberapa menit kemudian.
Situasi nampak mulai membaik, Aira terlihat mulai tenang. Aryan pun segera menggendong istrinya, lalu membaringkan di ranjang.
Besok, ia benar-benar akan membawa Aira berobat. Ia tak mau begini terus, sangat tidak nyaman.
Keesokan harinya.
Aryan dan keluarga membawa Aira untuk berobat. Meski awalnya ada penolakan, tapi mereka berhasil juga membawa Aira, walaupun tangan dan kaki wanita itu di ikat.
Sesampainya di tujuan, Aryan langsung menggendong istrinya dan membawanya masuk ke pondok pesantren tempat ustad yang akan mengobati Aira.
Beberapa jam kemudian.
Pengobatan telah selesai dan kondisi Aira berangsur membaik. Meski begitu, Aira harus sering-sering Ruqiyyah mandiri, agar bersih total dari gangguan jin kiriman itu.
"Gimana perasaannya? Udah mendingan?" tanya Mama Elisa menatap menantunya yang bersandar di sampingnya. Kini mereka sedang di perjalanan menuju rumah.
"Iya, ma." Aira merasa aneh dengan dirinya sendiri, ia merasa lelah, padahal tidak melakukan kegiatan yang berat. Ia ingin tidur.
"Kalau ngantuk, tidur aja. Nanti mama bangunin kalau udah nyampe rumah," ujar Mama Elisa mengelus lembut tangan Aira. Mama Elisa berharap, semoga setelah ini semuanya kembali membaik.
Di sisi lain.
Diana menatap ibunya yang sedari tadi bernyanyi di dapur. Sepertinya suasana hati ibunya sedang bagus.
"Ma, masak apa hari ini?" tanya Diana mendekati kulkas, lalu mengambil buah apel.
"Mama gak denger aku nanya apa? Kok malah nyanyi terus sih?" gumam Diana berjalan mendekati sang ibu.
"Ma, mama masak apa? Hah! Mama!"
Aryan udah tobat
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak
emak sama anak sama aja
si aryan pun ngk ada tegasnya