(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!)
Demi mendapatkan uang untuk mengobati anak angkatnya, ia rela terjun ke dunia malam yang penuh dosa.
Tak disangka, takdir mempertemukannya dengan Wiratama Abimanyu, seorang pria yang kemudian menjeratnya ke dalam pernikahan untuk balas dendam, akibat sebuah kesalahpahaman.
Follow IG author : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan Buruk
"Permisi, Bu! Boleh saya masuk? Saya mau bicara dengan Ibu," ucap Via sesaat setelah mengetuk pintu sebuah ruangan yang terbuka setengah. Sebuah ruangan dimana pemilik butik tempatnya bekerja sedang asyik dengan pekerjaannya.
" Masuklah Via ... Ada apa?" tanya Bu Lany. Wanita paruh baya itu terlihat sedang membuat pola busana dengan selembar kertas. Via duduk di sebuah kursi. Ia tampak ragu berbicara.
Seketika ruangan itu menjadi senyap. Via meremass ujung pakaian yang dikenakannya. Walau bagaimana pun, ia telah bekerja di butik itu selama lima tahun lamanya, sejak tamat sekolah. Bu Lany sudah dianggap Via seperti ibu sendiri.
"Kamu kenapa?"
"Bu, saya mau minta izin berhenti bekerja dulu. Maaf, kalau keputusan ini buru-buru dan saya mendadak memberitahu ibu."
Bu Lany menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menatap wajah wanita muda di depannya. "Kenapa harus berhenti? Kamu ada masalah? Kenapa tidak bilang?"
"Tidak, Bu! Saya cuma ada urusan penting. Kalau semuanya sudah selesai, saya boleh kan Bu, kembali bekerja di sini."
Dengan senyum ketulusan, wanita paruh baya itu mengangguk pelan. Ia benar-benar menyukai sosok Via yang baginya seorang wanita muda yang sempurna. Sangat cocok dijadikan menantu. "Baiklah. Tempat ini akan selalu terbuka untukmu. Tapi kalau ada apa-apa, hubungi ibu, ya."
"Iya, Bu!"
****
Hari itu setelah berpamitan pada Bu Lany dan beberapa orang teman yang bekerja di butik itu, Via menuju rumah Tuan Gunawan dengan naik bus. Dalam hati ada rasa bahagia. Kini, Via memiliki harapan besar bahwa Lyla kecilnya dapat berobat dengan teratur. Terbentur biaya besar membuat Via kadang harus berhutang kesana-kemari saat tak memiliki uang untuk berobat Lyla.
Setibanya di rumah Tuan Gunawan, Via mulai menjalankan tugasnya merawat wanita paruh baya yang duduk di kursi roda itu. Dengan penuh kelembutan, ia mengajak mengobrol, walaupun wanita itu hanya merespon dengan deheman, Via juga menyuapi makan dan membawanya berjalan-jalan di taman yang terdapat di belakang rumah itu, bersama seorang wanita yang menjadi kepala pelayan, Bibi Arum.
_
_
_
_
_
_
_
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, sebulan sudah Via merawat istri Tuan Gunawan. Wanita paruh baya itu mulai menunjukkan banyak kemajuan. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa merespon ucapan seseorang.
Tuan Gunawan pun sangat senang. Ia merasa keputusannya meminta Via merawat sang istri tidak salah. Via adalah seorang wanita yang sangat lembut. Sangat berbeda dengan menantu mereka, Shera.
Malam itu, setelah wanita paruh baya itu sudah tertidur, Via hendak berpamitan pada Bibi Arum yang sedang membersihkan salah satu kamar di rumah itu. Via harus segera pulang untuk menemani Lyla. Gadis kecilnya itu sedang demam tinggi.
"Bibi, nyonya sudah tidur. Aku akan pulang dulu," ucap Via pada Bibi Arum.
Wanita itu tersenyum tulus menatap Via. "Kau akan datang lagi besok, kan?"
"Iya, Bibi. Semoga Lyla tidak rewel. Jadi aku bisa kemari lebih pagi."
"Baiklah. Terima kasih Via."
Wanita muda itu hendak keluar dari sebuah kamar tempat Bibi Arum sedang mengerjakan aktivitasnya. Namun, saat telah di ambang pintu, ia menoleh pada sebuah foto pernikahan yang menggantung di dinding. Rasanya Via ingin pingsan menyadari siapa yang ada di dalam foto itu. Ragu-ragu, ia bertanya pada Bibi Arum.
"Bibi, itu yang di foto siapa?" tanya Via sembari menunjuk foto itu.
"Oh, itu Den Wira. Anak tunggal Tuan Gunawan."
Tiba-tiba Via merasa seluruh tubuhnya meremang, sendi-sendinya terasa lemas mengetahui pria yang sudah dua kali bertemu dengannya itu adalah anak dari Tuan Gunawan.
Kalau Den Wira itu tahu aku merawat nyonya, dia pasti akan meminta Tuan Gunawan memecatku.
"Apa Den Wira tidak pernah kemari, Bi? Aku sudah sebulan merawat nyonya, tapi belum pernah melihat Den Wira," tanya Via.
"Tidak! Den Wira tinggal sendiri di rumahnya. Sejak kejadian itu, Den Wira jarang pulang ke rumah ini."
"Kejadian apa, Bibi?"
Bibi Arum menatap Via sekilas, lalu menuju pintu dan menutupnya. Wanita berusia setengah abad itu pun mengajak Via duduk di sebuah sofa panjang yang terdapat di dalam kamar itu.
"Den Wira menikah dengan Mbak Shera lima tahun lalu. Mereka menikah karena terpaksa. Mungkin Den Wira mencintai Mbak Shera, tapi tidak dengan Mbak Shera. Empat tahun lalu, Mbak Shera kabur dengan laki-laki lain dari rumah sakit setelah melahirkan anak pertamanya. Lalu beberapa bulan kemudian menuntut cerai. Setelah, proses perceraian selesai, Mbak Shera menghilang, dan tidak ketemu sampai sekarang. Tuan dan Den Wira sudah cari Mbak Shera kemana-mana, mereka mau minta hak asuh anaknya Den Wira. Tapi sampai sekarang tidak diketahui kemana Mbak Shera pergi. Nyonya depresi karena masalah itu sampai akhirnya menjadi seperti sekarang. Keluarga ini jadi hancur. Nyonya sakit, Den Wira jadi suka mabuk-mabukan. Mbak Shera itu keterlaluan, padahal nyonya dan Tuan sangat menyayanginya, mereka memberikan apapun pada mbak Shera, tapi tidak pernah cukup bagi Mbak Shera. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Mbak Shera akan tega berbuat begini. Dan nyonya... setelah kejadian itu jatuh sakit sampai sekarang."
Via masih mematung. Teringat pertama kalinya bertemu dengan Wira, saat lelaki itu dalam keadaan mabuk. Dunia memang tak selebar daun kelor. Mungkin itulah ungkapan yang cocok. Tak disangka, selain Wira adalah teman dari Ivan, anak pemilik butik tempatnya bekerja, Wira juga adalah anak dari Tuan Gunawan, rumah yang kini menjadi tempatnya bekerja.
"Jadi karena masalah itu nyonya sampai seperti ini, Bi?"
"Iya, Via. Ini pertama kalinya nyonya tidak menolak dirawat seseorang yang baru dilihatnya. Biasanya nyonya tidak mau disentuh oleh orang baru. Dengan perawat saja, nyonya tidak mau. Semoga kamu bisa membantu nyonya untuk cepat sembuh."
Sekali lagi Via melirik foto yang menggantung itu, sambil membayangkan tatapan kebencian Wira setelah dua kali pertemuan mereka. Dalam pikirannya, entah akan semarah apa Wira jika tahu dirinya merawat ibu laki-laki itu.
"Tapi aku tidak bisa bantu banyak Bi, selain merawat nyonya."
"Itu saja sudah sangat membantu. Semoga kamu betah di sini, ya. Kalau ada apa-apa beritahu bibi."
Sambil mengangguk pelan, Via bertanya, "Bibi sudah lama bekerja di sini, ya?"
"Sejak Den Wira masih kecil."
" Oh, begitu ya ... Ya sudah, Bi. Kalau begitu Aku mau pulang dulu."
"Hati-hati di jalan."
Via beranjak keluar dari kamar itu, menuju ke lantai bawah. Saat hendak membuka pintu, kedua matanya membelalak, lalu seketika menunduk. Wira tiba-tiba ada di depan pintu.
Sama seperti Via, Wira pun terlihat begitu terkejut melihat Via ada di rumah itu.
"Sedang apa kau di sini?" bentak Wira.